Dulu..
dulu sekali aku akan tertawa meliahat orang lain menangis karna cinta. Setiap kali
aku dipaksa jadi tong sampah cerita diluar makanan itu, selalu kata sindiran
terselubungi pengertian sebagai balasanku. Sumpah aku gagal paham. Mereka menangis,
tentunya sedih, tapi aku tak tahu sedihnya itu dimana. Aku bingung dengan
respon hatiku yang cendrung sensitif tak mampu menelaah sakit yang membuat
mereka tersedu sedu tiga malam. Full.
Lalu,
saat aku di hadapkan pada kondisi sulit seperti “beri saran atau aku mati
dehidrasi kehabisan cairan karna air mata ini”, aku mengalah. Kucerna pakai
satu satunya yang bagian diriku yang mampu merespon keluhan mereka. Logika.
“sudahlah..
toh putus dengannya gak bakalan bikin stok beras habiskan?”
Atau
“hus
hus, buang tuh ke parit. Gak penting. Kalo dia udah bikin jarimu ilang, trus
gak tau sekarang keberadaannya dimana, oke! Baru deh ku kejar, kucincang, trus
ku kasih ke ayam. Gak sampai gitu kan? Ya udah, diem”
Bahkan
saat itu, kata kata paling klise seklise ‘masih banyak cowok lain, mungkin dia
bukan yang terbaik buatmu’ saja tak terlintas dalam fikiranku. Haha.. entahlah.
Jangan tanya respon mereka yang mendapat nasehat terpaksa dariku. Sebagian, ada
yang terpengaruh haluanku. Manggut manggut.
Berehenti nangis. Trus ulang lagi dua jam berikutnya. Sebagian, bahkan langsung
mem-black list namamku sebagai daftar orang yang harus dijauhi saat patah hati.
Ini pencapain. Aku bangga, setidaknya tak ada yang mamaksa otakku bekerja
diluar jalurnya.
Eits..
tunggu, tunggu. Bukan berarti aku tak peduli temannya. Aku peduli banget. Cuma memang
ada beberapa hal yang tak bisa menyentuh rasa peduliku. Meski nangis darah
sekalipun. Itu rasanya gimana sih? Kayak kelilipan bukan? Atau kayak jerawatan
di lubang hidung? Atau kajatuhan martil pas kena jempol? Itu pertanyaan konyol.
Beneran. Terakhir kali nanya begitu, aku langsung dicap sebagai manusia tak
punya hati. Sadis. Tak punya
perasaan. Tambah sadis. Teman nggak
pengertian. Oke, sadis dan pedas. Makanya
jomblo. Okesip, aku pergi!
Aku
punya pacar kok! Punya! Tapi nggak gitu. Kami sering telfonan juga. Sama juga
seperti telfonan para non jomblo. Pertanyaan yang paling aku suka dan bikin aku
melayang adalah:
“udah
makan belum?”
Yap.
Ini dia.
“belum,
bawain makanan kesini ya”
Lumayankan,
dapet makanan gratis. Nah belajar dari pengalaman ini, aku paling anti
memberikan pertanyaan kayak gitu. Pada siapapun! Aku sudah lihat efek
pertanyaan itu pada dia yang meringis nggak rela membawakan makanan. Jelas kali
tersiksanya. Jadi, aku tak ingin ikutan tersiksa seperti itu.
Iya
aku pacaran. Tapi tetap saja. Ogah ah,
nangis karana cowok kayak gitu!
Yah..
mungkin karna cowokku ini bukan level cowok
yang pantas ditangisi kali ya. Hehe.. (aku sadis..)
Pacaran
ini bahkan berakhir entah kapan. Aku nggak tahu persisinya. Tahu kami udah
putus karna kami nggak sengaja pertemu satu tahun kemudian. Gandeng cewek lain,
disitu baru ku tahu jika kami putus. Dan baru nyadar jika sudah satu tahun kami
tak berkomunikasi. Itu pacaran ala aku dulu. Jadi bukan hal aneh jika tiba tiba
aku ngenalin cowokku hari ini, trus besoknya aku lupa yang mana orangnya. Catet,
bukan karana banyak trus akunya cantik, tapi karana bagiku pacaran itu gak ada
asiknya (kecuali makanan gratis), dan hal kuanggap tak penting sering kali
kulupakan, meski berjarak 1 jam sekalipun.
Dari
pembandingan pacaran ini, dapat ku tahu inilah perbedaanku dengan mereka yang
mewek 3 malam karna cinta. Entahlah..
Tapi
sekali lagi.. itu dulu sekali.
Sekarang?
Hmmm...
kalau sekarang?
BalasHapussi "aku" bisa galau hanya karena (gagal) nikah. *oops
aku memang sadis. hahaha
pakai ketawa lagi!
hahaha.. kamu setingkat lebih sadis dari "aku"
BalasHapus