Minggu, 28 Agustus 2016

seklise 'masih banyak yang lain"



Dulu.. dulu sekali aku akan tertawa meliahat orang lain menangis karna cinta. Setiap kali aku dipaksa jadi tong sampah cerita diluar makanan itu, selalu kata sindiran terselubungi pengertian sebagai balasanku. Sumpah aku gagal paham. Mereka menangis, tentunya sedih, tapi aku tak tahu sedihnya itu dimana. Aku bingung dengan respon hatiku yang cendrung sensitif tak mampu menelaah sakit yang membuat mereka tersedu sedu tiga malam. Full.
Lalu, saat aku di hadapkan pada kondisi sulit seperti “beri saran atau aku mati dehidrasi kehabisan cairan karna air mata ini”, aku mengalah. Kucerna pakai satu satunya yang bagian diriku yang mampu merespon keluhan mereka. Logika.
“sudahlah.. toh putus dengannya gak bakalan bikin stok beras habiskan?”
Atau
“hus hus, buang tuh ke parit. Gak penting. Kalo dia udah bikin jarimu ilang, trus gak tau sekarang keberadaannya dimana, oke! Baru deh ku kejar, kucincang, trus ku kasih ke ayam. Gak sampai gitu kan? Ya udah, diem”
Bahkan saat itu, kata kata paling klise seklise ‘masih banyak cowok lain, mungkin dia bukan yang terbaik buatmu’ saja tak terlintas dalam fikiranku. Haha.. entahlah. Jangan tanya respon mereka yang mendapat nasehat terpaksa dariku. Sebagian, ada yang terpengaruh haluanku.  Manggut manggut. Berehenti nangis. Trus ulang lagi dua jam berikutnya. Sebagian, bahkan langsung mem-black list namamku sebagai daftar orang yang harus dijauhi saat patah hati. Ini pencapain. Aku bangga, setidaknya tak ada yang mamaksa otakku bekerja diluar jalurnya.
Eits.. tunggu, tunggu. Bukan berarti aku tak peduli temannya. Aku peduli banget. Cuma memang ada beberapa hal yang tak bisa menyentuh rasa peduliku. Meski nangis darah sekalipun. Itu rasanya gimana sih? Kayak kelilipan bukan? Atau kayak jerawatan di lubang hidung? Atau kajatuhan martil pas kena jempol? Itu pertanyaan konyol. Beneran. Terakhir kali nanya begitu, aku langsung dicap sebagai manusia tak punya hati. Sadis. Tak punya perasaan. Tambah sadis. Teman nggak pengertian. Oke, sadis dan pedas. Makanya jomblo. Okesip, aku pergi!
Aku punya pacar kok! Punya! Tapi nggak gitu. Kami sering telfonan juga. Sama juga seperti telfonan para non jomblo. Pertanyaan yang paling aku suka dan bikin aku melayang adalah:  
“udah makan belum?”
Yap. Ini dia.
“belum, bawain makanan kesini ya”
Lumayankan, dapet makanan gratis. Nah belajar dari pengalaman ini, aku paling anti memberikan pertanyaan kayak gitu. Pada siapapun! Aku sudah lihat efek pertanyaan itu pada dia yang meringis nggak rela membawakan makanan. Jelas kali tersiksanya. Jadi, aku tak ingin ikutan tersiksa seperti itu.
Iya  aku pacaran. Tapi tetap saja. Ogah ah, nangis karana cowok kayak gitu!
Yah.. mungkin karna cowokku ini bukan level cowok  yang pantas ditangisi kali ya. Hehe.. (aku sadis..)
Pacaran ini bahkan berakhir entah kapan. Aku nggak tahu persisinya. Tahu kami udah putus karna kami nggak sengaja pertemu satu tahun kemudian. Gandeng cewek lain, disitu baru ku tahu jika kami putus. Dan baru nyadar jika sudah satu tahun kami tak berkomunikasi. Itu pacaran ala aku dulu. Jadi bukan hal aneh jika tiba tiba aku ngenalin cowokku hari ini, trus besoknya aku lupa yang mana orangnya. Catet, bukan karana banyak trus akunya cantik, tapi karana bagiku pacaran itu gak ada asiknya (kecuali makanan gratis), dan hal kuanggap tak penting sering kali kulupakan, meski berjarak 1 jam sekalipun.
Dari pembandingan pacaran ini, dapat ku tahu inilah perbedaanku dengan mereka yang mewek 3 malam karna cinta. Entahlah..
Tapi sekali lagi.. itu dulu sekali.
Sekarang?
Hmmm...

2 komentar:

  1. kalau sekarang?
    si "aku" bisa galau hanya karena (gagal) nikah. *oops

    aku memang sadis. hahaha
    pakai ketawa lagi!

    BalasHapus
  2. hahaha.. kamu setingkat lebih sadis dari "aku"

    BalasHapus