Kami menunduk memutari halaman belakang rumah. Daffa di
depan membawa cabang pohon yang tadi digunakan untuk mengahantam penyerang yang
nyaris membunuhku. Hujan masih sederas tadi. Dan penerangan masih bersumber
dari kilat petir yang menggila. Yang harus
kami tuju hanyalah desa, meminta bantuan dan menelfon polisi.
Suara letusan dan teriakan terdengar bersahutan di tengah
halaman, tampat perebutan nyawa berlangsung. Sudut mataku masih menangkap
gerakan pertarungan dari dari halaman yang makin berlumpur. Namun kami harus cepat
keuar dari tempat ini. Tidak mustahil akan datang lagi komplotan hyena
membantai habis kami tanpa sisa. Langkahku semakin memberat. Bahuku yang
terluka menyisakan kebas hingga ke pergelangan tangan.
Beberapa langkah dari pintu belakang, aku terpancang kaget.
Daffa gemetar dengan pandangan lurus ke dapan.
“B-bang
Akbar...”
...
...
...
“Ku dengar bang aulia
akan pergi kuliah”
Alis Daffa bertaut tak
suka. Yol cengengsan tanpa dosa ”.. aku nggak nguping kok”
“Aku tak menuduh kau
nguping”
“Tapi matamu berapi”
“Itu karna kau bersalah”
“Nggak”
“Ngaku!”
“Issh.. Iya iya. Aku nggak sengaja denger, puas?”
“Kau cari perkara Yol, ketauan Bang Akbar, mati kau” Sten menyeringai,
marasa di atas angin
“Hei, akan sudah kubilang tak-se-nga-ja-de-ngar”
“Tetap aja kau denger kan?”
“Hei belalang sembah, jangan asal ngomong”
“Jangkrik”
“ Lu ayam”
“Bebek”
“Arghhh.. kutu!”
Aku melongos bosan. Pertengkaran antar Yol dan Daffa tak kan pernah
berlangsung lama.Tak butuh waktu lama bagi
Daffa untuk selalu jadi pemenang. Tapi pertengkaran Sten dan Yol tak kan
pernah berhenti meski diberi waktu satu
tahun sekalipun. Di sampingku Rian melempar pandangan sama bosannya,
lalu dengan santai memasang earphone, masuk dalam dunianya sendiri. Aku kembali menyelesaikan PR yang diberikan
bang Akbar tadi pagi. Daffa sudah selai dari tadi, begitupun Rian. Mereka
bertahan diruang belajar ini sekedar menemani kami bertiga yang masih belum
menyelesaikan PR kami. Dan lihat, siapa yang masih belum mnyelesaikan setengah
PR yang di berikan? Yol dan Sten.
Sebelum mereka semakin menyalahkan spesies hewan yang bahkan tak tahu
menahu atas keributan ini, Daffa melempar pandangan belati pada keduanya. Aku
melirik ngeri. Itu peringatan pertama. Peringatan selanjutnya akan menyusul jika
dalam hitungan detik dua maniak hewan
itu masih saling melempar ejekan. Agaknya dua duanya juga tahu makna tatapan
itu. Terbukti tak ada lagi suara yang terdengar.
“Lanjutkan ceritamu Yol” Daffa mempersilahkan.
Yol merengut masam sebelum melanjutkan ceritanya yang terpotong. “ Aku
lewat ruang baca bapak. Kuliahat Bang Aulia di sana. Aku sih pengen ikut masuk,
tapi ku denar suara Bapak agak lain”
“Lain bagaiman?”
Aku mulai tertarik. Kutinggalkan PR ku.
“Hm.. sedih gitu”
Kali ini Rian yang terhipnotis. Dia membuka earphonenya dan ikut
mendengarkan.
“Trus?”
“ Intinya, bapak bilang semua keputusan ditangan Bang Aulia. Ingin
kuliah di jurusan apapun, kerja, atau tetap ingin di sini. Kalu memang kuliah
Bapak akan membiayai kuliah Bang Aulia.
Bang Aulia juga diminta cari kerja sambilan untuk nambah uang kuliahnya.
Dan yang aneh, Bang Aulia dilarang
kesini, kecuali setangah tahun sekali. Aku nggak tau alasannya. Kata
bapak, Bang Aulia sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihan hidupnya
sekarang. Bapak ingin, keluarga ini dirahasiakan dari keidupan baru Bang Aulia”
“Aneh!”
“Apa kita juga bakalan di usir juga setelah ijazah paket C kita di
terima, Daf?” Sten bertanya cemas.
“Itu namanya bukan di usir, idiot” Yol, lagi lagi cari perkara.
Aku mencerna dalam diam. Memang sih kami tidak bersekolah, namun kami
di tuntut Bapak untuk bisa mengambil ijazah peket. Dan sejauh ini baru tiga
orang sulung kami yang telah berhasil sampai paket C. Kami menyusul tahun
depan.
“Apa artinya Bang Bas dan Bang Akbar juga akan meninggalkan kita?” Rian
menyimpulkan.
“Mati kau Daf, kau yang akan menggantikan posisi mereka.” Tak puas dengan
perkara yang belum selesai, Yol kembali
menambah perkara.
“Kalian kan juga satu tingkat denganku”
“Ah tidak. Jatahku, kuberikan saja pada Deris” balas Yol santai. Menambahkan perkara lainnya.
“Mana bisa!” sergahku dongkol. Seenak jidatnya aja ni orang.
“Oi, sudah selesai PR kalian?” suara berat Bang Akbar menyadarkan kami.
Cepat kusambar buku PR ku. Pura pura sibuk menulis. Sten dan Yol kelabakan, dan
saling maki saat buku keduanya tertukar. Tu kan? Jelas sekali acara pura pura
mengerjakan PR mereka gagal total.
“Yol, Sten, berhenti meribut
saat belajar” tegur Bang Akbar lagi. Aku pura pura tak mendengar
keributan, tenggelam dalam PR ku.
Biasanya setelah nama biang rusuh itu, maka namaku yang akan di panggil.
“Deris..”
Tu kan.
“...PR itu tak kan selesai jika fikiranmu
tidak sedang melekat padanya”
Aku nyengir. Salah satu kelebihan Bang Akbar,
dia paling susah untuk ditipu. Bang Akbar duduk di lantai di sampingku. Melihat
PR yang ku kerjakan dari bahuku. Saat ini memang cuma kami saja di ruang
belajar. Adik- adik kami entah sedang menanm apa dengan bapak di belakang.
“Bang..” Daffa buka suara.
“Hm..” Bang Akbar menyahut tanpa melihat si penanya.
Masih sibuk menilai hasil kerjaku tanpa menyentuhnya.
“ Abang sudah menerima ijazah?”
Pertanyaan ini sukses membuat
kami melongo. Bang Akbar bahkan menegakkan duduknya memandang sepenihnya pada Daffa.
Sorot matanya seakan menilai kemana arah pertanyaan Daffa.
“Hm.. sudah. Sama dengan Aulia
dan Bas” jawabnya disertai senyum tulus.
“Abang akan pergi juga?”
Tolol. Aku ingin melempari kepala idiot Yol dengan
seluruh buku di lantai ini. ‘juga’ itu jelas jelas menelanjangi kesalahan fatal
yang dilakukannya. Apa lagi lawan bicaranya Bang Akbar. Kuliat Rian, Sten
terlebih Daffa juga mengelurkan aura dengan keinginan yang sama. Bahkan Daffa
seperti bersiap melempar Sten pada Yol.
“Juga?
“Eh”
Mati
kau Yol!
Yol gelagapan. Jelas jelas salah
tingkah. Matanya melemparkan pandangan minta pertolongan pada kami. Aku hanya
meringis tak mampu di hadapanya.
“Yol?” panggil bang Akbar
lembut. Mtanya menatap lurus pada Yol di
hadapannya.
Yol menunduk. Persis maling
jemuran yang tertangkap basah.
“Hm.. tadi.. aku tak sengaja
dengar Bang Aulia akan pergi kuliah...”
“Dimana?”
Yol makin menunduk. Sten dan
Daffa di samping kiri kanannya, Cuma menatapi horor. Rian justru memandang bang
Akbar menyelidik dari sampingku. Bersikap waspada pada pergerakan emosi yang
akan mungkin saja dikeluarkan Bang Akbar.
“ D- Di ruang baca Bapak”
“...”
Yol mengangkat wajah takut
takut. Melihat tanggapan apa yang diberikan Bang Akbar.
Ku dengar Bang Akbar menghela
nafas di sampingku. Kemudian tersenyum dengan senyuman yang mampu membuat Yol
dan kami semua bernafas lega. Tak ada kemarahan di sana. Hanya sebuah senyum
meneduhkan.
“Tidak. Abang tak kan
meninggakan kalian.” Suara Bang Akbar dengar yakin. Menenagkan.
“Abang tak kan meninggal kan
Bapak mengurusi kalian sendiri.” Senyumnya
makin melebar.
“Meski keadaan sesulit apapun,
percayalah Abang akan selalu bersama kalian dan Bapak”
...
...
“Bang
Akbar..”
Darah
membanjir, Bang Akbar berdiri terhuyung melindungi bapak dengan tubuhnya. Di
depannya seorang berjas hitam, menusuk pilah pedang menembus tubuhnya. Sekali lagi
petir memberikan jarak pandang. Bapak berdiri gemetar menahan tubuh baang
Akbar. Dalam satu sentakakn, pedang itu di tarik kasar dari tubuh tak berdaya,
dan detik berikutnya tubuh itu ambruk dalam dekapan Bapak.
Aku
melesat mendahuli Daffa ke arah sipembunuh. Dia membalik dan menyeringai buas
memicingkan mata fokus pada seranganku.
“Ah..
masih ada lagi rupanya”
Aku tak sempat meliahat liukkan pedang bernoda
darah itu mengancam. Dadaku hanya
dipenuhi amarah yang membutakan. Dia menunggu. Lalu..
Dor!
Dor!
Tubuhny
terhempas dengan pedang terbuang begitu saja. Aku tak mengurangi lariku dan
lansung mendaratkan lutut ke dadanya. Tak peduli pada apapun yang membuatnya
tersungkur begitu saja. Pukulan bertubi tubi kulayangkan dengan luapan marah. Entah
berapa lama, aku bahkan tak myadari jika tubuh yang ku hantami ini tak lagi
mengelurkan nafas. Mati. Entah karna pukulanku atau tembakan tadi.
Tersadar,
aku beranjak dari tubuh berjas hitam yang kududuki dan bergegas mendekati Bang
Akbar. Bapak memeluk kepala Bang Akbar dengan tangis pilu. Disinya Daffa
memandang dengan tatapan sarat dendam. Sebuah pistol entah sejak kapan terselip
di genggamannya.
Aku
menagis di tubuh dingin tak berdarah bang Akbar. Sesak mencengkram nafasku.
“Kalian
pergilah..” lirih ku dengar suara Bapak.
Aku
bangkit mendekati Bapak. Namun bapak menepis tanganku. Tubuh ringkih bapak
menggigil. “Bapak tak sanggup lagi, kalian pergilah. Lari sebelum komplotan
hyena menyadari kita disini”
“Ta-tapi
pak..”
“Cepat
pergi Ris!” suara bapak menegeras. “Bas dan yang ain tak kan lama lagi bertahan
menghadapi kaki tangan hyena. Jangan buang waktu”
Aku
meremas dadaku sendiri. Sakit. Aku meras lemah di sini.
“Tunggulah
pak, kami akn melaporkan ini pada polisi”
Suara Daffa bergetar saat dia hendak berdiri. Aku
masih belum beranjak dari tubuh Bang Akbar. Orang yang paling kusayangi setelah
bapak.
Saat
Daffa hendak menarik tanganku berdiri, gerakan bapak menyodorkan sesuatu
menghentikan gerakannya. Mataku menatap tas pinggang yang diberikan bapak. Inikah
yang diinginkan Hyena keparat itu? Inikah penyebab bencana di hidup damai kami?
“Tolong..
bawa ini bersama kali. Temui oang yang ada dalam tas ini. Berikan ini tas ini
padanya”
‘’Pak
kami akan datang lagi, bapak pasti selamat” rongrongku meski ku tahu nurani
menyangkal perkataanku.
Bapak
tersenyum pahit. “Tak ada waktu lagi,. Pergilah. Lari sejauh mungkin dari sini.
Hati hatilah. Karna setelah ini, kehidupan kalian akan berat”
Aku
menggeleng. Bapak menyodorkan tas itu sekali lagi.
“Ris,
cepat. Aku tak lagi mendengar suara pertarungan” Daffa mendesakku cemas.
Benar
saja. Tak ku dengar lagi suara pertarungan di halaman. Apakah artinya ini? Apa itu
artinya semua telah.. Ah, cepat kuambil tas pinggang yang disodorkan bapak. Ku ikatkan
talinya erat disekeliling pinggang. Tas lusuh berwarna hitam itu telah kuyu
menelan hujan. Aku menoleh pada bapak sekilas. Bapak mengangguk. Detik berikutnya
Aku dan Daffa berlari menembus semak belukar. Meninggalkan bapak dan bang Akbar
menunggu nasip dari sang Hyena.
Namaun baru
beberapa meter dari rumah, aku menangkap desingan peluru nyaris mengenai
kepalaku. Saat aku menoleh ke belakang, bebrapa orang berjas tengah mengejar
kami sambil melepaskan tembakan.
Sial.
Daffa yang menyadari situasi
menarikku belari diantara pepohonan. Sekedar menghindari hujanan peluru dari
belakang kami. Anehnya, aku bahkan tak mendengar suara tembakan seperti Daffa
menembak tadi. Hanya desingan peluru berseliweran di sekitarku. Sepertinya senjata
mereka menggunakan alat khusus sehingga tidak menegeluarkan bunyi.
Kami
terus belari. Daffa sesekali tersandung akar pohon, begitupun denganku. Jatuh bangun.
Tapi kami harus keluar dai sini. Kami harus hidup. Kami harus selamat. Kami harus
ada untuk membalas Hyena atas malam suram ini. Tanpa menoleh aku tahu
pengejarku semakin bertambah.
Tiba
tiba saja Daffa di depannku berhenti. Aku menyusul dan menemukan alasan
keberhentiannya. Sungai. Sungai di tengah hujan lebat ini yang tengah garang
mengalirkan air bah coklat. Sial. Kami tersudut. Aku melihat Daffa menoleh
kesegala arah. Mencari celah untuk kami kabur. Ada kalut frustasi dari gigilnya
menahan hujan. Kulihat senter senter dikejahuan semakin mendekat.
Matilah
kita.
Jika meraka melihat kami, satu tembakan
saja akan mengakhiri semua ini. Aku menatap aliran deras sungai. Air yang
berwarna coklat beriak ganas.
“Kita
lompat” Daffa menyarkan isi kepalaku.
Aku menoleh kesamping. Menatap lekat
padanya. Suara gemersak semak semakin mendekat. Aku mengangguk.
“Hitungan
ketiga” lirihku mengatasi hujan.
Semak penghalang terakhir
tersibak. Kuraskan dua tiga orang telah meliaht kami.
“Satu..”
Ya allah.. selamatkan kami.
“Dua...”
Satu desingan peluru merobek
lenganku. Aku tak pedulu. Manahan jeritan sakitku sebisa mungkin. Aku menekuk
lutut. Bersiap melompat.
Tiga..
Rentetan desingan peluru
terdengar membelah hujan saat kami melayang ke bawah. Aku tak perlu ingatan. Tubuhku
terhempas dalam dingim mencengkram. Aku tak butuh ingatan saat tubuhku
terseret tampa ampun menenggelamkan nafasku.
Mungkin
begini cara matiku.
To Be Continued
aku suka heran, kenapa kamu suka sekali dengan nama Deris...
BalasHapusapakah dia setampan itu, dalam ilusimu? wkwkwk
wkwkw.. nggak tampan sih. tapi misterius. hehe.. ilusiku
Hapusyayaya... asal jangan jadiin dia pacarku lagi aja (sebagai bagian ilusimu juga) :p
Hapus