Senin, 15 Agustus 2016

Pangeran Maestro Bab II

         Kami menunduk memutari halaman belakang rumah. Daffa di depan membawa cabang pohon yang tadi digunakan untuk mengahantam penyerang yang nyaris membunuhku. Hujan masih sederas tadi. Dan penerangan masih bersumber dari kilat petir yang menggila.  Yang harus kami tuju hanyalah desa, meminta bantuan dan menelfon polisi. 

        Suara letusan dan teriakan terdengar bersahutan di tengah halaman, tampat perebutan nyawa berlangsung. Sudut mataku masih menangkap gerakan pertarungan dari dari halaman yang makin berlumpur. Namun kami harus cepat keuar dari tempat ini. Tidak mustahil akan datang lagi komplotan hyena membantai habis kami tanpa sisa. Langkahku semakin memberat. Bahuku yang terluka menyisakan kebas hingga ke pergelangan tangan. 

              Beberapa langkah dari pintu belakang, aku terpancang kaget. Daffa gemetar dengan pandangan lurus ke dapan. 

              “B-bang Akbar...”
...
...
...


            “Ku dengar bang aulia akan pergi kuliah”

               Alis Daffa bertaut tak suka. Yol cengengsan tanpa dosa ”.. aku nggak nguping kok” 

              “Aku tak menuduh kau nguping” 

               “Tapi matamu berapi”

               “Itu karna kau bersalah”

              “Nggak”

              “Ngaku!” 

               “Issh.. Iya iya. Aku nggak sengaja denger, puas?” 

             “Kau cari perkara Yol, ketauan Bang Akbar, mati kau” Sten menyeringai, marasa di atas angin

               “Hei, akan sudah kubilang tak-se-nga-ja-de-ngar”

               “Tetap aja kau denger kan?”

                “Hei belalang sembah, jangan asal ngomong”

                “Jangkrik”

                “ Lu ayam”

                “Bebek”

               “Arghhh.. kutu!”

           Aku melongos bosan. Pertengkaran antar Yol dan Daffa tak kan pernah berlangsung lama.Tak butuh waktu lama bagi  Daffa untuk selalu jadi pemenang. Tapi pertengkaran Sten dan Yol tak kan pernah berhenti meski diberi waktu satu  tahun sekalipun. Di sampingku Rian melempar pandangan sama bosannya, lalu dengan santai memasang earphone, masuk dalam dunianya sendiri.  Aku kembali menyelesaikan PR yang diberikan bang Akbar tadi pagi. Daffa sudah selai dari tadi, begitupun Rian. Mereka bertahan diruang belajar ini sekedar menemani kami bertiga yang masih belum menyelesaikan PR kami. Dan lihat, siapa yang masih belum mnyelesaikan setengah PR yang di berikan? Yol dan Sten. 

        Sebelum mereka semakin menyalahkan spesies hewan yang bahkan tak tahu menahu atas keributan ini, Daffa melempar pandangan belati pada keduanya. Aku melirik ngeri. Itu peringatan pertama. Peringatan selanjutnya akan menyusul jika dalam hitungan detik  dua maniak hewan itu masih saling melempar ejekan. Agaknya dua duanya juga tahu makna tatapan itu. Terbukti tak ada lagi suara yang terdengar. 

         “Lanjutkan ceritamu Yol” Daffa mempersilahkan.

         Yol merengut masam sebelum melanjutkan ceritanya yang terpotong. “ Aku lewat ruang baca bapak. Kuliahat Bang Aulia di sana. Aku sih pengen ikut masuk, tapi ku denar suara Bapak agak lain”

        “Lain bagaiman?”

          Aku mulai tertarik. Kutinggalkan PR ku. 
     
         “Hm.. sedih gitu”

           Kali ini Rian yang terhipnotis. Dia membuka earphonenya dan ikut mendengarkan.

         “Trus?”

        “ Intinya, bapak bilang semua keputusan ditangan Bang Aulia. Ingin kuliah di jurusan apapun, kerja, atau tetap ingin di sini. Kalu memang kuliah Bapak akan membiayai kuliah Bang Aulia.  Bang Aulia juga diminta cari kerja sambilan untuk nambah uang kuliahnya. Dan yang aneh, Bang Aulia dilarang  kesini, kecuali setangah tahun sekali. Aku nggak tau alasannya. Kata bapak, Bang Aulia sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihan hidupnya sekarang. Bapak ingin, keluarga ini dirahasiakan dari keidupan baru Bang Aulia” 

               “Aneh!” 

           “Apa kita juga bakalan di usir juga setelah ijazah paket C kita di terima, Daf?” Sten bertanya cemas.

            “Itu namanya bukan di usir, idiot” Yol, lagi lagi cari perkara. 

           Aku mencerna dalam diam. Memang sih kami tidak bersekolah, namun kami di tuntut Bapak untuk bisa mengambil ijazah peket. Dan sejauh ini baru tiga orang sulung kami yang telah berhasil sampai paket C. Kami menyusul tahun depan. 

           “Apa artinya Bang Bas dan Bang Akbar juga akan meninggalkan kita?” Rian menyimpulkan. 

        “Mati kau Daf, kau yang akan menggantikan posisi mereka.” Tak puas dengan perkara yang belum selesai, Yol  kembali menambah perkara.

            “Kalian kan juga satu tingkat denganku”

         “Ah tidak. Jatahku, kuberikan saja pada Deris” balas Yol santai.  Menambahkan perkara lainnya. 

          “Mana bisa!” sergahku dongkol. Seenak jidatnya aja ni orang. 

          “Oi, sudah selesai PR kalian?” suara berat Bang Akbar menyadarkan kami. 

          Cepat kusambar buku PR ku. Pura pura  sibuk menulis. Sten dan Yol kelabakan, dan saling maki saat buku keduanya tertukar. Tu kan? Jelas sekali acara pura pura mengerjakan PR mereka gagal total. 

         “Yol, Sten, berhenti meribut saat belajar” tegur Bang Akbar lagi. Aku pura pura tak mendengar keributan,  tenggelam dalam PR ku. Biasanya setelah nama biang rusuh itu, maka namaku yang akan di panggil.

                “Deris..” 

                Tu kan.

              “...PR itu tak kan selesai jika fikiranmu tidak sedang melekat padanya”              

   Aku nyengir. Salah satu kelebihan Bang Akbar, dia paling susah untuk ditipu. Bang Akbar duduk di lantai di sampingku. Melihat PR yang ku kerjakan dari bahuku. Saat ini memang cuma kami saja di ruang belajar. Adik- adik kami entah sedang menanm apa dengan bapak di belakang. 

                “Bang..” Daffa buka suara.

               “Hm..”  Bang Akbar menyahut tanpa melihat si penanya. Masih sibuk menilai hasil kerjaku tanpa menyentuhnya.

                “ Abang sudah menerima ijazah?” 

                Pertanyaan ini sukses membuat kami melongo. Bang Akbar bahkan menegakkan duduknya memandang sepenihnya pada Daffa. Sorot matanya seakan menilai kemana arah pertanyaan Daffa. 

                “Hm.. sudah. Sama dengan Aulia dan Bas” jawabnya disertai senyum tulus. 

                “Abang akan pergi juga?” 

                Tolol.  Aku ingin melempari kepala idiot Yol dengan seluruh buku di lantai ini. ‘juga’ itu jelas jelas menelanjangi kesalahan fatal yang dilakukannya. Apa lagi lawan bicaranya Bang Akbar. Kuliat Rian, Sten terlebih Daffa juga mengelurkan aura dengan keinginan yang sama. Bahkan Daffa seperti bersiap melempar Sten pada Yol.           

                “Juga?  

                “Eh” 

                Mati kau Yol!

           Yol gelagapan. Jelas jelas salah tingkah. Matanya melemparkan pandangan minta pertolongan pada kami. Aku hanya meringis tak mampu di hadapanya. 

                “Yol?” panggil bang Akbar lembut. Mtanya menatap lurus  pada Yol di hadapannya. 

                Yol menunduk. Persis maling jemuran yang tertangkap basah. 

                “Hm.. tadi.. aku tak sengaja dengar Bang Aulia akan pergi kuliah...” 

                “Dimana?”

                Yol makin menunduk. Sten dan Daffa di samping kiri kanannya, Cuma menatapi horor. Rian justru memandang bang Akbar menyelidik dari sampingku. Bersikap waspada pada pergerakan emosi yang akan mungkin saja dikeluarkan Bang Akbar.      

                “ D- Di ruang baca Bapak” 

                “...”

             Yol mengangkat wajah takut takut. Melihat tanggapan apa yang diberikan Bang Akbar. 

           Ku dengar Bang Akbar menghela nafas di sampingku. Kemudian tersenyum dengan senyuman yang mampu membuat Yol dan kami semua bernafas lega. Tak ada kemarahan di sana. Hanya sebuah senyum meneduhkan. 

          “Tidak. Abang tak kan meninggakan kalian.” Suara Bang Akbar dengar yakin. Menenagkan.

          “Abang tak kan meninggal kan Bapak mengurusi kalian sendiri.”  Senyumnya makin melebar.
                 
         “Meski keadaan sesulit apapun, percayalah Abang akan selalu bersama kalian dan Bapak”

...
...
                “Bang Akbar..” 

                Darah membanjir, Bang Akbar berdiri terhuyung melindungi bapak dengan tubuhnya. Di depannya seorang berjas hitam, menusuk pilah pedang menembus tubuhnya. Sekali lagi petir memberikan jarak pandang. Bapak berdiri gemetar menahan tubuh baang Akbar. Dalam satu sentakakn, pedang itu di tarik kasar dari tubuh tak berdaya, dan detik berikutnya tubuh itu ambruk dalam dekapan Bapak. 

           Aku melesat mendahuli Daffa ke arah sipembunuh. Dia membalik dan menyeringai buas memicingkan mata fokus pada seranganku. 

                “Ah.. masih ada lagi rupanya”

                 Aku tak sempat meliahat liukkan pedang bernoda darah itu mengancam. Dadaku  hanya dipenuhi amarah yang membutakan. Dia menunggu. Lalu.. 

                Dor! Dor! 

                Tubuhny terhempas dengan pedang terbuang begitu saja. Aku tak mengurangi lariku dan lansung mendaratkan lutut ke dadanya. Tak peduli pada apapun yang membuatnya tersungkur begitu saja. Pukulan bertubi tubi kulayangkan dengan luapan marah. Entah berapa lama, aku bahkan tak myadari jika tubuh yang ku hantami ini tak lagi mengelurkan nafas. Mati. Entah karna pukulanku atau tembakan tadi. 

                Tersadar, aku beranjak dari tubuh berjas hitam yang kududuki dan bergegas mendekati Bang Akbar. Bapak memeluk kepala Bang Akbar dengan tangis pilu. Disinya Daffa memandang dengan tatapan sarat dendam. Sebuah pistol entah sejak kapan terselip di genggamannya. 

                Aku menagis di tubuh dingin tak berdarah bang Akbar. Sesak mencengkram nafasku. 

                “Kalian pergilah..” lirih ku dengar suara Bapak. 

                Aku bangkit mendekati Bapak. Namun bapak menepis tanganku. Tubuh ringkih bapak menggigil. “Bapak tak sanggup lagi, kalian pergilah. Lari sebelum komplotan hyena menyadari kita disini”

                “Ta-tapi pak..”

           “Cepat pergi Ris!” suara bapak menegeras. “Bas dan yang ain tak kan lama lagi bertahan menghadapi kaki tangan hyena. Jangan buang waktu” 

                Aku meremas dadaku sendiri. Sakit. Aku meras lemah di sini.

                “Tunggulah pak, kami akn melaporkan ini pada polisi”

                 Suara Daffa bergetar saat dia hendak berdiri. Aku masih belum beranjak dari tubuh Bang Akbar. Orang yang paling kusayangi setelah bapak. 

                Saat Daffa hendak menarik tanganku berdiri, gerakan bapak menyodorkan sesuatu menghentikan gerakannya. Mataku menatap tas pinggang yang diberikan bapak. Inikah yang diinginkan Hyena keparat itu? Inikah penyebab bencana di hidup damai kami?

                “Tolong.. bawa ini bersama kali. Temui oang yang ada dalam tas ini. Berikan ini tas ini padanya” 

                ‘’Pak kami akan datang lagi, bapak pasti selamat” rongrongku meski ku tahu nurani menyangkal perkataanku.  

                Bapak tersenyum pahit. “Tak ada waktu lagi,. Pergilah. Lari sejauh mungkin dari sini. Hati hatilah. Karna setelah ini, kehidupan kalian akan berat” 

                Aku menggeleng. Bapak menyodorkan tas itu sekali lagi.

                “Ris, cepat. Aku tak lagi mendengar suara pertarungan” Daffa mendesakku cemas. 

                Benar saja. Tak ku dengar lagi suara pertarungan di halaman. Apakah artinya ini? Apa itu artinya semua telah.. Ah, cepat kuambil tas pinggang yang disodorkan bapak. Ku ikatkan talinya erat disekeliling pinggang. Tas lusuh berwarna hitam itu telah kuyu menelan hujan. Aku menoleh pada bapak sekilas. Bapak mengangguk. Detik berikutnya Aku dan Daffa berlari menembus semak belukar. Meninggalkan bapak dan bang Akbar menunggu nasip dari sang Hyena. 

        Namaun baru beberapa meter dari rumah, aku menangkap desingan peluru nyaris mengenai kepalaku. Saat aku menoleh ke belakang, bebrapa orang berjas tengah mengejar kami sambil melepaskan tembakan. 
                  
          Sial. 

         Daffa yang menyadari situasi menarikku belari diantara pepohonan. Sekedar menghindari hujanan peluru dari belakang kami. Anehnya, aku bahkan tak mendengar suara tembakan seperti Daffa menembak tadi. Hanya desingan peluru berseliweran di sekitarku. Sepertinya senjata mereka menggunakan alat khusus sehingga tidak menegeluarkan bunyi. 

           Kami terus belari. Daffa sesekali tersandung akar pohon, begitupun denganku. Jatuh bangun. Tapi kami harus keluar dai sini. Kami harus hidup. Kami harus selamat. Kami harus ada untuk membalas Hyena atas malam suram ini. Tanpa menoleh aku tahu pengejarku semakin bertambah. 

            Tiba tiba saja Daffa di depannku berhenti. Aku menyusul dan menemukan alasan keberhentiannya. Sungai. Sungai di tengah hujan lebat ini yang tengah garang mengalirkan air bah coklat. Sial. Kami tersudut. Aku melihat Daffa menoleh kesegala arah. Mencari celah untuk kami kabur. Ada kalut frustasi dari gigilnya menahan hujan. Kulihat senter senter dikejahuan semakin mendekat.
           
              Matilah kita.

             Jika meraka melihat kami, satu tembakan saja akan mengakhiri semua ini. Aku menatap aliran deras sungai. Air yang berwarna coklat beriak ganas. 

               “Kita lompat” Daffa menyarkan isi kepalaku.

Aku menoleh kesamping. Menatap lekat padanya. Suara gemersak semak semakin mendekat. Aku mengangguk. 

                “Hitungan ketiga” lirihku mengatasi hujan.

Semak penghalang terakhir tersibak. Kuraskan dua tiga orang telah meliaht kami.

                “Satu..”

                Ya allah.. selamatkan kami.

                 “Dua...”

               Satu desingan peluru merobek lenganku. Aku tak pedulu. Manahan jeritan sakitku sebisa mungkin. Aku menekuk lutut. Bersiap melompat. 

                 Tiga..

             Rentetan desingan peluru terdengar membelah hujan saat kami melayang ke bawah. Aku tak perlu ingatan. Tubuhku terhempas dalam dingim mencengkram. Aku tak butuh ingatan saat tubuhku terseret tampa ampun menenggelamkan nafasku. 


                    Mungkin begini cara matiku.

               
                                      
 To Be Continued

3 komentar:

  1. aku suka heran, kenapa kamu suka sekali dengan nama Deris...
    apakah dia setampan itu, dalam ilusimu? wkwkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. wkwkw.. nggak tampan sih. tapi misterius. hehe.. ilusiku

      Hapus
    2. yayaya... asal jangan jadiin dia pacarku lagi aja (sebagai bagian ilusimu juga) :p

      Hapus