Rabu, 10 Agustus 2016

HIDUP

Ini sebuah kisah kehidupan dalam setitik perubahan bernama cinta. Sekilas sekitarku menlaiku sebagai pria tertawa lepas. Bagiku tawa dan duka bagaikan air dan minyak. Mereka takkan pernah bersatu dan saling mempengaruhi. Saat aku tertawa, saat suatu bahagia mengelitik syaraf tawaku, berdendanglah tawa berderai lepas tanpa beban. Itu bukan dibuat buat. Begitulah adanya. Lalu saat duka mengacaukan warasku, maka tak kan ada satu tawa pun yang kan mampu membuyarkannya. Tak kan ada.
Terlahir sebagai satu satunya lelaki mamaksaku untuk menelan sendiri semua sakit dan tawa yang mendera. Saat aku menginjak bangku sekolah bundaku berpulang. Tuhan terlalu menyayangi beliau dan meninggalkan luka membekas di sekujur hatiku. Itu sakit yang tak kan pernah terbayar oleh tawa manapun. Kehilangan pegangan. Bercerai berai. Tubuh kecilku hanya bisa pasrah menahan badai yang menggila. Sakit yang mendiamkanku. Sakit yang kan jadi awal dan asal muasal rentetatan panjang peristiwa lain yang terus menikamku.
Lihatlah aku, anak lelaki kecil satu satunya dengan saudari yang butuh perlindungan. Mungkin, saat itu aku belumlah lagi mengerti arti menjadi anak lelaki. Aku belum lagi mengerti tanggung jawab, dan tentu saja belumlah mengerti arti perlindungan. Namun ada berontak mengelinjang dihatiku saat aku dipisahkan dari saudari saudariku. Aku terhempas dalam sebuah rumah sosial bernama panti asuhan. Sebuah rumah perkumpulan mereka yang sewarna denganku.
Bebrapa waktu di panti, kata anak lelaki mulai berpengaruh padaku. Anak lelaki berarti tidak boleh menangis, anak lelaki berarti harus berani berkelahi dan anak lelaki harus bisa menahan sakit tanpa cengeng. Sebuah pengertian sederhana yang mampu kurangkai dalam kepolosanku. Kepolosan mencari diri sendiri.
Laki laki. Yah.. laki laki. Ayahku juga seorang laki laki. Dan meski dia ayahku dia tetaplah laki laki dewasa dengan sumua kodrat dan kebutuhannya. Tak selang berapa lama, sebentar saja menurutku, seorang bunda baru hadir di hidupku. Bukan, dihidup ayahku lebih tepatnya. Jangan berfikir jika hadirnya ibu baru berarti lengkap kembali hidup kami, tidak! Bahkan sekarang lebih parah lagi. Kami juga kehilangan ayah kami. Hidupnya lebih di sibukkan dengan kehidupannya yang baru. Sebersit benci mengalir di nadiku. Lelaki, itu pengertian lain lelaki dewasa yang ku tahu.
Panti asuhan bukanlah tempat yang menyeramkan dan tentu saja bukan tempat mnyenangkan di bandingkan rumahmu sendiri. Panti asuhan adalah tempat sementara dimana kamu bisa hidup, bertahan dalam roda kehidupan. Aku menjadi begian dari puluhan orang anak yang digariskan singah di tempat ini. Sebuah tempat yang meski tak seperti rumahku sendiri, namun menjanjikan masa depan buat ku dan mereka yang senasip denganku. Masa depan, itulah ikatan yang menyatukan kami. Ikatan yang membuat kami bernaung di sini.
Di panti asuhan, aku belajar arti mandiri, tanggung jawab dan disiplin. Sebuah pengajaran yang ku kutuki semasa itu namun kusyukuri saat sekarang ini. Di sana aku juga belajar banyak pengalaman hidup. Belajar tertwa dalam keterbatasan, membaur dalam perbedan dan tetap ada dalam status berbeda dengan anak-anak umumnya. Aku belajar menyayangi diri, dan tahu apa itu kerinduan. Di sini aku merasai sayang dan rindu pada saudaraku. Lalu belajar bermimpi. Impian. Sebuah impian untuk segera seesai sekolah, keluar dari sini dan berkumpul kembali dengan saudariku.
Memasuki usia remaja, dunia luas lebih menantangku dibandingkan dinding panti asuhan. Bersekolah berarti keluar dari dinding pembatas dan menjadi remaja seperti remaja lainnya. Di seolah aku taklah berbeda dengan yang lain. Dan saat itu sebuah keberuntugan menyapa dalam bentuk bakat. Sebuah bakat yang menjadi kebangaa duniaku. Sebuah bakat yang tak membedakanku dengan anak anak lain bahkan dengan anak pejabat sekalipun. Tahukah kawan apa bakatku? Bola! Bermain bola.
Perasaan lain selalalu menggerubutiku kala bola telah berada di kakiku. Sebuah tujuan, sebuah keinginan yang dapat kugapai dengan kakiku sendiri. Saat bola kuarahkan di bawah kekuasaanku, rasa besar mengelilingiku. Ketika beberapa lawan berhasil kukecoh semangat kemenangan mendengung di telingaku. Dan saat bola melayang menembus gawang lawan rasa puas melambungkanku tinggi di ikuti sorak kesukaan orang orang di sekelilingku. Sunguh. Aku merasa dilihat. Aku merasa di butuhkan. Aku merasa dibanggakan. Aku tertawa. Tawa lepas mengisi paruku dengan sejuta bahagia.
Namun bakat ini berbalik memukulku jatuh. Setelah sempat membuatku berada di bibir bahagia tak terkira. Seorang pelatih bola melihat bakatku. Dia berniat mengajakku bergabung dalam tim yan di latihnya. Sebuah harapan bergolak. Latihan tambahan berarti banyak waktu berada di luar dinding panti. Berarti lebih banyak waktu dengan dunia yang ku suka. Dunia yang membuatku hidup. Namun, bahagia yang menyala di mataku meredup dan mati begitu saja. Pengurus panti tak bersedia melepasku untuk ikut kegiatan itu. Alasannya, setiap penghuni panti tak boleh mngikuti kegiatan luar kecuali sekolah. Tak bisa. Tak ada pengecualian. Aku jatuh. Hari itu... aku belajar sakit yang lain. Aku belajar untuk membuang benci pada meraka yang membuatku hidup dalam panti ini. Sesak yang membuat nyala hidupku sempat meredup.
Seiring waktu berlalu bergaulan mulai menantangku untuk mengambil sendiri waktu di luar dinding panti. Rasa jenuh pada peraturan membuatku ingin berontak keluar tanpa peraturan. Lalu kenekatan menjadi semacam hiburan untukku. Keluar panti di jam malam tanpa ketuan. Bermain dengan teman teman dan masuk kembali tanpa di curigai. Hebat. Jalan ini akhirnya mengantarkanku lepas selama lamanya dari di dinding panti. Aku ketahuan. Dan sangsi berat mendera. Dikeluarkan dari panti asuhan. Jangan sedih, ku mohon jangan. Karna bagiku itu sebuah kebebasan mutlak yang membuatku bahagia tak terkira, awalnya. Aku bahagia bebas dari peraturan dan dinding yang memisahkanku dari dunia luar. Aku hidup. Benar benar hidup dengan suma tawa lepasku. Ini yang ku mau. Kenapa tak dari dulu??? Yah kawan. Aku masih remaja tanggung. Tak seharusnya beban yang tak ku mengerti ini harus kulalui bukan? Aku belum mengerti saat itu, jadi tak ada sedih di hatiku.
Beberapa bulan setelahnya, aku masih dalam eforia kebebasan. Lupa sekolah dan lupa nilai disiplin tanggung jawab yang ku pelajari di panti. Ini aku dan duniaku. Sesuka ku tanpa ada yang berani menegurku. Aku makan di tempat keluargaku, mau tidur sepanjang haripun tak ada yang begitu peduli, apalagi ayahku. Seorang remaja tanpa tujuan. Bekerja sesuka hati sekedar jajan untuk diri sendiri.
Mendekati setahun, sedikit sadar mulai menyapaku. Aku mulai sadar akan hidupku yang tak ber arah. Aku ingin sekolah lagi. Ada rindu mengikat nafasku saat kuliahat remaja remaja memakai pakain sekolah. Rapi besih dan pintar. Mereka dilihat. Mereka dihargai. Sedangkan aku? Ada sesal yang menyeruak perlahan dalam jantungku. Harusnya tak ku korbankan sekolahku hanya karna kebebesan sesaat. Aku ingin sekolah. Aku ingin kembali menjadi orang yang dipandang. Aku ingin kembali bangun pagi, memakai pakaian sekolah rapi dan bersih. Membawa buku dalam tas dan memakai sepatu hitam dalam langkah ku. Aku rindu. Tapi apa dayaku sekarang? Siapa lagi yang kan membiayaiku? Saat itu.. kembali aku belajar menjadi laki laki. Sebuah keputusan keliru, berakibat pada akhir yang buruk.
Keadaan dan keinginan mengharuskanku bekerja. Mengumpulkan uang untuk kembali kebangku sekolah. Seorang teman memberikan ku jalan. Dengan mendatangi salah seorang guru yang sering membatu anak anak seperti ku. Ku percayakn langkahku pada impian, ketemui guru berhati emas itu. Tak begitu panjang dan rumit,tahun ajaran baru aku kembali menjadi seorang pelajar. Berbagai pkejaan ku lakoni untuk mencukupi kebutuhanku. Akibatnya tak jarang aku terlambat bahkan bolos. Untungnya sekolah mengerti akan kondisiku. Aku bahkan dapat pekerjaan lebih baik dari seorang guru yang peduli pada impianku. Berkat bantuannya menamatkan sekolah menengah atas tak lah terlalu sulit bagiku.
Saat itulah cinta memperkenalkan diri padaku. Lewat seorang teman aku di perkenlkan dengan seorang gadis. Sederhana dan sopan. Ini tak sekedar cinta masa remajaku. Merambah seluruh hatiku untuk mengenal dan merasai kutusan perhatian yang belum pernah kurasa. Ini berbeda. Berbeda dari cinta remaja yang pernah ku lalaui. Dia berbeda. Ada senyum tak diundang yang tiba tiba muncul saat aku ingat dirinya. Sebuah rasa yang menghangatiku untuk terus bertahan dan berjuang.
Setamat sekolah SLTA seorang kenalan di kampug mengajakku bekerja di bawah naungannya di Padang. Tawaran yang tak pernah kuduga. Ku sambut begitu saja. Semangat petualangku membakar niatku untuk ikut mencobai ranah perantauan. Di bawah bimbingan kenalan ini, aku di ajarkan keahlian yang sesuai dengan bakatku. Aku berkerja setulus hati. Ini aku. Dan ini hidupku sekarang.
Gadis pujaanku akhirnya kuliah di kota tempatku bekerja. Padang. Sungguh ini daerah kehidupanku yang baru. Rasa kagum mulai berubah menjai sayang yang tak bisa kulukiskan. Padang semakin mendekatkan kami. Hubungan kami semakin lebih jelas dari waktu ke waktu. Aku terbuai oleh bahasa dan sopan santunnya. Sikapnya yang begitu menghargaiku membuatku ingin selalu mendampinginya. Dia selalu memnemaniku. Menyemangatiku dalam setiap situasa. Begitupun aku, saling berada jauh dari keluarga membuat kami saling dukung satu sama lain.
Tak berlebihan jika ku ungkapkan dialah yang menjadi warna di hidupku. Dia gadis angun yang tak teralalu banyak bicara. Pintar dalam kecermatannya merangkai kata. Jeli melihat masalah yang kusembunyikan dari pandangannya. Di sisinya aku merasa dihargai. Aku merasa perkataan ku diperhatikan dan aku merasa memimpin. Dia tak pernah membantah apa yang kusarankan. Sikapnya yang lembut dan menerima semua kekurangan dan kelebihanku membuatku tak mmpu melepaskannya. Dengannya aku belajar berbagi sedih dan tawa. Denganya aku beajar menerima. Aku tak butuh wanita lain hadir selain dia. Cukup dia saja yang merasai duka dan tawaku. Aku tak ingin wanita lain lagi mendapingi hidupku, aku Cuma butuh tawanya, inginkan hadirnya dalam keseluruhan umurku hingga tua. Aku bahagia dengan hidup bertujuan yang kami rancang berdua.
Berbilang tahun, hubungan kami semakin menguat. Gadisku tetap fokus dengan kuliahnya, sedang aku telah pindah kerja ke tepat yang lebih baik. Kami selalu bertemu. Saling menajaga dan mengingatkan. Rasa di hatiku membuatku tek pernah rela membuatnya susah sedikitpun. Aku tak ingin dia bersedih. Dan aku berjanji akan selalu disampingnya apapun yang terjadi.
Meski hubungan kami telah berjalan cukup lama. Gadisku tipe cewek yang tertutup terhadap keluarganya. Dia tak pernah memperkenalkan aku ke keluarganya. Bahkan di media sosial pun kami menjaga jarak seolah tidak memiliki hubungan apapun. Aku mengerti alasannya. Dan aku tak ingin membebankannya dengan egoku. Aku percaya sepenuhnya pada semua alasan nya untuk menyembunyikan hubungan kami. Meski terkadang ada cemburu melihatnya seolah belum memiliki pacar digoda oleh lelaki lain, namun ku tekan semua rasa cemburu itu. Demi dia, demi masa depan kami, biarlah hubungan ini terkuak pada waktunya nanti. Satu hal yang pasti.. aku mencintainya. Sangat mencintainya. Apapun tak mengubahnya sampai kapanpun.
Semakin jauh, akhirnya dia memperkenalkanku pada ibunya. Sungguh tak dapat kulukiskan bagaimana hatiku bersorak senang melihat niatnya. Ini bukti keseriusannya padaku. Dia pun sudah sangat dekat dengan keluargaku. Aku tak membutuhkan yang lain. Cukuplah begini sampai kami siap membawa hubungan ini ke jenjang yang lebih serius. Kami Cuma butuh waktu. Hanya waktu yang kan menjawab penantian dan kesabaranku.
Dalam hidup adakalanya impian tak selalu membalas dengan kenyataan. Harapan tak selalu dijawab kebahagiaan. Memasuki lima tahun hubungan kami, gadisku berubah. Sikapnya tak lagi seramah dan sehalus dulu. Pertentangan mulai selalu mewarnai percakapan kami. Entah. Mungkin ada jenuh di hatinya. Tapi tidak di hatiku. Tidak akan pernah ada kata jenuh di hatiku untuknya. Hatiku trlalu penuh akan dirinya hingga takkan ada lagi yang mampu masuk kesanan meski sekecil semut sekalipun. Aku tak tahu kenapa. Yang kurasa perubahan itu semakin terasa dari waktu ke waktu.
Aku selalu berusaha menekan emosi setiap kali kudengar dia menentang sumua ucapanku. Terkadang ada nada melecehkan terselip dalam ucpannya. Aku tertekan dengan semua perubahannya. Setiap kali ku coba menjelaskan dan dia merasa tersudut dia akan menangis seolah telah ku lukai. Aku melukainya?! Tidak itu tak mngkin. Aku tak kan bisa, tak kan mampu melukainya. Tolong... janganlah menangis. Aku tak sanggup mendengarnya menangis. Dan dalam tangisnya dia memojokkn ku begitu telak. Menjatuhkanku sampai luluh lantak hanya dengan ucapan lirih tersedunya.
“Lepaskanlah aku.. aku tak snggup jika begini terus”
Aku ternganga. Diam tak mampu berkata apa apa lagi. Ucapkanlah apapun, tapi jngan kata kata itu. Jangan berkata seoalah hubungan ini mnenyiksamua. Jangan berucap seakan aku menyakitimu. Ku mohon. Semua kulakukan hanya untukmu. Untuk bahagiamu. Semua tujuan hidupku hanya untuk bersamamu. Jangan semuadah itu bicara itu. Seolah hubungan ini tak telalu berarti bagimu. Tolong! Tapi itu hanya mengaung di hatiku yang berdarah. Tak mampu kulepaskan. Aku tak mampu lagi menjelaskan apapun. Aku takut kata kata yang lebih buruk dari ini yang akan dikeluarkannya. Aku takut kemungkinan terburuk yang terucap dari lisannya.
Aku mengalah. Memilih untuk tidak melanjutkan perdebatan. Memilih untuk menghindari kemungkinan dia akan mengucapkan itu kembali. Namun layaknya jam, masa itu berulang dan berulang kembali. Bahkan kata katanya lebih jelas dari sebeumnya. Seakan itu cara terakhirnya untuk memenangkan perdebatan, seakan dengan cara itu di menelanjangi takutku kehilangan dirinya. Dia tahu aku mencintainya. Sangat mncintainya, dan ini senjatanya melaju dalam ego nya.
Semakin lama lukaku menguak melebar. Aku memilih menjauh. Memilih menghindar dan memilih melupakan. Dan dia diam. Seolah tak peduli meliahatku menjauh. Aku hancur dalam keputus asaan. Hilang sudah warna yang selama ini menyemangatiku. Hilang sudah harapan yang selama ini ku perjuangankan. Hilang separuh sandaran yang membuatku mampu berdiri. Aku sendiri. Terpuruk sakit. Cinta yang ku jaga setulus hatiku, gadis yang ku lindungi semampuku terlepas begitu saja. Lepas seakan aku bukanlah apa apa. Bukan apa apa.
Kurang lebih dua tahun hubungan kami hilang begitu saja. Selama itu juga aku seperti hiup dalam bayang bayang. Hidup mengambang sesukaku. Tak sedikit yang ku kecewakan. Pekerjaanku yang semakin menurun. Arah tujuan ku yang tak tahu hendak kemana. Hinggaakhirnya sadar menamparku. Ibaratkan jam, maka pada titk inilah bandul jamnya berdentang menyadarkanku atas waktu yang terbuang sia sia di belakang. Ku sia siakan dalam kehancuran .
Kuputuskan untuk memulai langkah baru di hidupku. Ku kuatkan hatiku mengiriminya pesan. Sekedar menjelaskan situasi hubungan kami yang hilang begitu saja. Jika memang harus berakhir, aku ingin berakhir baik baik. Seperti halnya kami mengawali hubungan ini secara baik baik baik dulunya. Dalam pesan itu kujelaskan dengan menguatkan hati, jika hubungan kami cukuplah sebatas teman saja. Karna sungguh tak mungkin lagi untuk lebih dari ini. Dia menerima dengan baik. Sedikit kecewa memngguncang hatiku atas tangapannya. Namun ada jalan terang untukku ke depannya. Aku harus mencari teman wanita. Aku harus mengenal wanita lain selain dia.
Yah.. itu solusinya. Teorinya hanya perlu berkenalan dengan wanita. Kenali dan jadi teman tukar pikiran. Terorinya gampang. Prakteknya yang susah. Wanita zaman sekarang susah untuk didekati. Sekedar menyapa tak digubris, langsung tanya kabar dibilang sksd. Susah. Namun saat itu angin baik menyapaku. Seorang teman di media sosial memberikan pin nya begitu saja saat ku minta melalui pesan. Lumayan ramah.
Via bbm, aku mencoba mengajak teman baruku mengobrol. Lumayan nyambung dan sopan. Satu hal yang menarik, dia jujur dalam setiap ucapannya. Tak ada prasangka buruk sama sekali. Ku beranikan diriku sekedar untuk dekat. Menanyakan bolehkah aku berkunjung ke rumahnya. Hari itu, tepat malam minggu. Terhitung 2 jam kami berteman via bbm. Dia dengan ringannya memperbolehkan. Santai yang membuatku percaya untuk bertamu. Pertemuan pertama kami, tapat setalah 3 jam perkenalan.
Sekilas dia tipikal murah senyum dan gampang menyesuaikan diri. Meski terlihat sedikit kikuk. Kami mulai mngobrol apa adanya. Kebanyakan aku bercerita dan dia mendengarkan. Dia memperhtikan ku bercerita panjang lebar tentang apa saja yang terlintas di fikiranku. Setengah mati ku tahan grogi dan rasa canggungku dengan terus brcerita. Dia memperhatikan dengan seringkali anggukan dan ucapan menyetujui (entah menyetujui apa). Dia menceritakan juga sekilas tentang dirinya.Dan lalu... obrolan menuntun kami ke NARUTO. Di suka naruto. Ini bukanlah jamaknya wanita padaumumnya. Bukanlah tononan perempuan. Dia tahu cukup banyak dan ketingalan cukup banyak. Aku berjanji akan membawakan beberapa film naruto yang ingin dia tonton.
Sedikit banyak pertemanan baruku memberi sedikit warna berbeda dalam hidupku. Aku yang tak terlalu memiliki banyak teman merasa menjumpai teman lama. Dari obrolan kami, kami memiliki banyak kesamaan. Sifat, pendapat dan selera. Mungkin karna kami lahir di bulan yang sama. Obrolan via bbm pun semkin sering kami lakukan. Bebrapa kali aku sempat ke kosnya untuk mengantarkan beberapa film naruto kesukaannya.
Dari cerianya, kutahu dia pun pernah gagal dalam menjalin hubungan serius. Mungkin lebih parah dariku. Sepintas dia terlihat tegar meski status di media sosialnya bebrapa waktu yang lalu smpat membuatku merinding. Dapat kurasakan sakit yang tersirat dalam untaian kata di stastusnya. Sangat terluka. Sama sepertiku. Dan kurasa dia trauma mejalin hubungan.
Saat hubungan persahabatan kami semakin dekat masalah kembali timbul. Gadis pujaan ku kembali menghubungiku. Sekedar meminta barangnya yang ada padaku. Sekedar itu. Sumpah. Aku kecewa. Marah. Sekedar itukah yang di pedulikan? Tak pedulikah dia padaku? Tahukah dia betapa aku terpuruk karna dirinya. Sedangkan dia?? Dia tak peduli tentang itu. Kecewa menamparku. Beginikah cinta 5 tahun kita, sayang. Semudah itu hilang semua rasa yang selama ini kita bangun bersama. Tak adakah sedikit artiku dimatamu. Pikiran ku kacau. Sakit. Perih dan kecewa.
Beberapa hari setelahnya dia wisuda. Dia membuktikan dirinya berhasil menyelesaikan kuliahnya. Seperti angan angan kami dulu. Berhasil. Dia menghubungiku via sms. Memintaku datang ke wisudanya, (entah sebagai apa). Aku yang masih terluka tak lantas mengiyakan tawarannya. Tidak lagi. Aku tak ingin. Dan lagi disana pasti ada ibunya. Ibu yang selama ini telah ku anggap ibuku juga. Penjelasan apa nanti yang kan kuberi jika beliau bertanya hubungan kami? Sahabat baruku sempat memberikan penialainnya tentang ini. Katanya aku kejam karna tak datang. Lalu keputusanku untuk tak datang sudah tepat jika hubunganku dan gadisku tak lagi bisa diselamatkan. Entahlah. Aku tak sepenuhnya mengerti apa maksudnya. Yang pasti, aku memutuskan tak adatang.
Sorenya kulihat foto foto wisudanya di media sosial. Bahagianya dia. Ada amarah mengaung dalam dadaku. Aku memiliki hak di sana. Aku berhak disana. Berdiri di sampingnya saat dia wisuda. Aku ingin. Itu hakku. Ada benci dan sesal merajam hatiku. Aku tak bisa berfikir posiif seperti yang sering ku ucapkan. Gelegar amarah tak kunjung mereda di jantungku. Perih. Aku benci situasi seperti ini. Harusnya aku datang. Harusnya gadis itu berfoto di sampingku. Dari awal mula dia meniti jalan itu, ku bimbing ku jaga. Ku bantu apa yang ku bisa ku bantu semampuku. Dan sekarang saat dia berhasil ketepian, dia bukan lagi milikku. Bodohnya aku. Bodoh. Aku terpuruk lagi. Sahabat baruku tak lagi mampu menghiburku. Aku terlalu luka, aku tak ingin di ganggu. Aku tak butuh sahabat atau apapun.. aku ingin sendiri. Ku katakan jika aku sibuk. Mungkn dia merasai perubahanku. Tapi aku tak peduli.
Tak ada yang mampu meperbaiki kegundahan hatiku. Ku tak peduli apapun lagi. Tak peduli pekrjaanku yang menumpuk. Aku hanya ingin mnyelesaikan sakit ini. Esok nya, aku mengantarkan barangnya. Di sana ku temui ibu gadis pujaanku. Masih seramah dulu. Bersikap seolah tak terjadi apa apa. Itu yang membuatku semakin sakit. Kecewa. Jadi ibunya telah tau jika kami tak lagi berhubungan. Ugh.. harusnya legakan? Tapi kenapa perih begini? Aku pulang kampung dengan perasaan menyesal, sayang, terbuang, dan luka yang campur aduk. Aku bahkan tak mengabari tempat kerjaku jika aku tak masuk.
aku tak mampu terima ini berakhir. aku tak bisa hapuskan semua kenangan yang telah kita lewati. tak bisa. sampai kapanpun. bukan kuasa otak mengarahkan hati. meski sering kali ku lawan dengan logikaku, namun hatiku tak pernah bisa melepaskanmu. takkan pernah bisa. masih kamu yang bersemayam disana. menertawaiku dalam penyesalan mendalam. aku ingin semua kembali seperti dulu.. dulu saat kita sepakat merancang hari esok bersama. dulu saat ku anggap ibumu dan keluargamu bagian dari hidupku (meski sebagian besar mereka tak tahu akan diriku) dan keluargaku juga menjadi bagian dari hidupmu. aku ingin kembali seperti dulu. mengertikah, ikatan ini tak hanya antara kau dan aku. tapi aku dan ibumu, kamu dan keluargaku. tak bisa ku bohongi hati lebih lama lagi.. sejatinya dia masih milikmu. tak pernah jadi milik yang lain...
Ini cinta...
Kamis, akhir Maret 2016
Teruntuk sahabatku sepersamaan
Windi Arian Gustaf
Kita memiliki persamaan dibanyak hal. Tapi ku tak ingin kita sama dalam akhir kisah cinta. Dirimu punya kesempatan memperjuangkan dan kembali mendapatkan. Percayalah kamu bisa. Yakinlah dia juga punya rasa yang sama denganmu. Hadapi ini, selesaikan dan insyallah kedepannya hubungan kalian akan jauh lebih mudah. Teruslah berjuang untuk cinta yang menemanimu selama ini. Lima tahun memiliki arti layak kamu perjuangkan. Pantas dirimu kejar sekuat semampumu. Lakukanlah ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar