Gemuruh
halilintar mengoyak malam kelabu. Deras air bak tumpah ruah tak terkendali
masih melingkupi sedari tadi, mengahapus noda darah di rerumputan, mengurai
aroma anyir darah dan keringat. Gelap.
Sesekali kilat memberikan jarak pandang. Mengerikan, dalam kekacauan hiruk
pikuk teriakan takbir dan sumpah serapah, beberapa tubuh bertebaran disepanjang
halaman.
Aku tersengal
kepayahan menyandarkan tubuh pada pokok jambu air di ujung halaman. Mencoba
menghindar dari serbuan brutal penyerang.
Tubuhku babak belur dan basah kuyup, nyaris hilang sadar. Kudekap luka di bahu kiri.
Mencengkram. Buah tusukan pisau komando meleset yang awalnya mengincar
jantungku. Dua meter dariku, pisau itu tertancap dalam di dada si empunya. Laki
laku kurus kering yang sekarang tak
lebih dari onggokkan daging tak bernyawa menantang hujan. Menyatu dengan warna
tanah.
Deris, kau pembunuh!
Kata itu
seolah terngiang di kepalaku sendiri.
Putus asa ku
pandangi tanganku. Berlumuran darah. Darahku dan darah lelaki ceking itu. Aku
baru saja membunuh! Pembunuh! Wajahku menghoror beku. Ketakutan menjalari sekujur tubuhku dalam
gigil. Kenapa? Kenapa ini bisa begini?
Aku menahan
gelomBang perih saat kilat menyuguhi pemandangn kacau balau pembantaian ini.
Tubuh yang bergelimpangan itu adalah saudara saudaraku. Ilham tergeletak tak
bergerak di tengah halaman. Tak jauh darinya Rian tersungkur dengan darah
membasahi baju koko putihnya. Dua tubuh lain tak kukenali dengan jelas. Mungkin
Yusuf dan Roka. Pencahayaan yang minim dan hujan yang deras membuat ku tak bisa
memaksimalkan dampak cahaya kilat. Sambaran kilat di udara kembali membuatku
dapat melihat. Bebreapa orang masih
bertahan baku hantam dengan penyerang. Berebut nyawa. Yol menendang tersungkur
seorang lelaki berjas hitam yang menyerangnya. Bang Bas baru saja menjungkalkan
dua orang penyerang sekaligus. Dan entah siapa lagi yang terus berkelebat
mempertahankan nafas. Tak ada kilat takut. Tak ada gerakan gentar.
Beberapa kali
suara tembakan senjata api terdengar. Aku bergedik ngeri melihat Arfat –bungsu-
kami tersungkur dengan tangan menedekap dada. Di depannya seorang wanita rambut
sebahu tersenyum sinis menodongkan pistol. Gigiku gemertak menahan amarah.
Sigap aku berdiri, tak peduli tubuhku yang beberapa menit lalu nyaris hilang
sadar.
Namun, langkahku
tak pernah kuambil. Aku terpacang kaku di tempatku berdiri. Seorang laki laki kekar berambut gondrong menghalangi
pandanganku. Tak dapat kuliat wajahnya dengan jelas, namun kurasakan diia
menyeringai buas. Senjata api tertodong
di hadapan wajahku. Kaget, aku menegang dengan wajah memucat. Sial. Aku bahkan
tak mengetahui kedatangnnya. Jas hitamnya bsah kuyup. Pelipisnya mengucur darah
yang perlahan tersapu air hujan. Aku menatapi mata bengis tanpa belas kasihan
itu bersinar buas. Aku akan mati. Mati
hari ini.
“
Ah, aku mencarimu bocah,” ucapnya puas. Kentara sekali sarat dendam. “ kau yang
membunuh adikku, brengsek! Sekarang susul dia!” bentaknya membelah semua
kemungkinanku untuk menyelamatkan diri.
Aku memejamkan
mata. Menunggu tarikan jarinya membukakan pintu kematianku. Namun detik
selanjutnya, aku terbelalak kaget saat tubuh pria gila itu tersungkur
dihadapku.
“Ris,
kau tak apa apa?”
Aku mendongak.
Daffa, dengan wajah berantakan dan babak belur, mananyai ku dengan kilat
kecemasan.
Tak sempat ku
jawab pertanyaan Daffa, lengannya telah menyeretku dengan paksa. Tak peduli
pada luka bahuku yang menyisakan sakit. Aku berontak lepas, dan berbalik menuju
sosok Arfat yang tak lagi bergerak di tengah pertarungan yang masih berapi.
“Dia sudah
mati!” Daffa menyetakku menjauh. Oh, tidak. Tidak lagi.
Ku tatap Daffa
dengan tatapan kosong. “ Kita harus menyelamatkan yang lain”
kata kataku
terdengar asing, bahakan ditelingaku sendiri.
Daffa
menggelengkan kepala tegas. Keputus asannya menjalariku dengan seketika.
“kita tak akan sempat, tak ada gunanya.
Ayo!”
Aku bertahan,
bersikeras hendak masuk ke kancah pertempuran, meski sadar aku takkan menolong
sedikitpun. Justru menjadikan diri sasaran empuk pistol kelompok gila itu.
Daffa dengan kasar menyentakkanku hingga tersungkur dengan wajah mencim tanah.
Aku menggil. Sadar dengan ketidak berdayaanku. Bahuku terguncang menahan tangis.
Naungan pokok
jambu lembat tempat kami berdiri, memberikan kami perlindungan dari pandangan
para penyerang yang duduk mengawasi di depan rumah. Tak ada satupun dari meraka
yang mangkap sosok kami di sini. Mereka yang berdiri di depan rumah, seperti
memastikan tak ada satu pun yang lolos dari halaman. Kami beruntung bisa sampai
di sini tanpa terlihat.
“kita
hurus pergi”
Daffa menyeretku
menembus gelap malam ke arah belakang rumah. Baju koko putihya tak lagi
berwarna secerah 3 jam lalu. Aku meringis mencoba mengimbangi langkahnya dalam
tangis pilu. Kenapa bisa begini, bahkan tak pernah sedikitpun terlintas dalam
fikiranku kami akn melewati malam yang seperti ini.
Harusnya ini
malam Kamis seperti biasa.
Harusnya tak
ada yang seperti ini.
Tadi sehabis magrib kami melakasanakan pengajian rutin
kami bersma Bapak dan Bang Akbar. Tak ada
yang aneh. Kami ber-dua belas suadara seperti biasa berisik dengan pertengkaran
kecil tak penting. Bang Akbar si sulung, menagahi dengan peringatan. Sesekali Bang
Aulia dan Bang Bas ikut melerai malas. Ya.. mereka memang tiga orang anak
tertua diantara kami. Daffa akan
melayangkan jitakan jika kami masih bersikeras untuk meribut. Di antara
angkatan kami, daffa telah diakui sebagi ketua kami. Lebih dewasa dan lebih mampu
mengendalikan kami (aku, Sten, Rian dan Yol) empat teman sebayanya yang selalu
bikin ulah. Bahkan Sten dan Rian tak segan segan bertengkar dengan empat adik
kami yang lain. Lebih sering dengan si bungsu Arfat, yang lansung membawa Sten pada
hukuman Bang Akbar. Sedangkan Ilham, Roka, Dori, dan Yusuf lebih sering
mengahadpi dou nakal itu bersama sama. Keroyokan lebih tepatnya.
Kami
tinggal di rumah kayu kebanggaan kami. Rumah besar yang menjadi tampat tinggal
sekaligus ekolah. Kami ber-dua belas, tak pernah mencicipi bangku sekolah. Bapak
, ayah angkat kami, akan menjadi guru untuk Bang Akbar, Aulia dan Bas. Sedang
tiga anak sulung itu, akan menjadi guru untuk ku, Sten, Daffa, Yol, dan Rian.
Sedangkan untuk guru Arfat, Yusuf Ilham, Dori, dan Roka, hanya dipercayakan
pada Daffa saja. Tak ada yang mau memberi kepercayaan mengatur orang lain, pada
orang yang bahkan tak bisa mengatur dirinya sendiri.
Bapak
, satu satunya orang tua yang kami punya mengatur kegiaan pembekajaran kami
sedemikian rupa. Mulai dari ilmu dasar, seperti membaca, menulis dan berhitung,
sampai ilmu keagaman serta komputer dan internet. Layaknya siswa sekolah, kami
juga memiliki ujian dan distensi. Rumah besar ini menyediakan semua yang kami
perlukan. Perpustakaan besar, ruang belajar, dan ruang multi media. Bapak bahkan
memberi kami lettop untuk masing masing.
Sebuah
keajaiban yang membuatku dan anak anak lainnya sampai ke sini. Enam tahun lalu
aku, Sten, Yol, Daffa dan Rian tak sengaja bertemu dengan Bapak di jalanan.
Tempat kami biasa mengamen bersama. Bapak mengangkat kami jadi anaknya dan
tinggal di sini. Saat itu, aku, Sten dan Yol
masih berumur tiga belas tahun. Daffa empat belas tahun. Sedangkan ayah
angkat kami berusia pertengahan ima puluh tahun.
Di
sini, kami di perkenalkan pada Bang Akbar, Aulia dan Bas. Tak bebrapa bulan
berselang, datanglah Ilham, Roka, Yusuf dan Arfat. Kami tak tahu asal usul
masing masing, tapi yang kami tahu pasti kami berada dalam garis nasip
menyedihkan yang sama. Dan sekarang menjadi sebuah keluarga besar, dengan Bapak
sebagi orang Tua tunggal kami saat ini. Bapak , bahkan menyayangi kami layaknya
anak kandung. Memenuhi semua kebutuhan kami, dan yang paling cemas jika salah
satu dari kami yang jatuh sakit. Namun karna kami semua laki laki, perkelahian
dan pertengkaran bukan lagi hal yang aneh di sini, terluka dan jatu sakit.
Rumah kami
terletak di sebuah desa terpencil jauh dari keramian kota. Dan meskipun di
desa, rumah ini di bangun jauh lagi dari lingkungan desa. Terpencil sndiri
dengan hutan sebagai batas akhir halaman belakang. Di halaman depan, terdapat
gazebo kecil untuk kami shalat, dan pengajian bersama. Sedangkan di halamn
belakang, terdiri dari ladang ladang sayur yang kami kelola besama. Sumber
makanan kami. Namun dari semua yang sempurna disini, ada hal yang menganjal di hatiku.
Bapak terkesan menembunyikan diri disini. Pria stengah baya dengan rambut yang
nyaris memutih seluruhnya itu seakan menyimpan misteri bagi kami.
Bapak , hanya
memperkenalkan namanya sebagai Abdullah. Itu saja. Tak ada nam keluarga, teman
maupun pekerjaan. Bapak sperti hidup tnpa masa lalu. Tak ada petunjuk. Yang ada
hanya Bapak yang hidup sebagai ayah kami saja. Meski membawa panasaran, tak ada
satupun yang berani bertanya. Toh kami memiliki rahasia masing masing yang
masih di simpan sendiri.
Kami ke pasar
desa hanya sekali seminggu untuk menjual hasil ladang dan membeli keperluan.
Itu pun harus gantian dua dua orang per minggunya. Sedang Bapak tak sekalipun
keluar dari lingkungan rumah. Hal lain yang membuatku makin anaeh, adalah
kegigihan Bapak melatih kami bela diri. Setiap sore. Bahkan Ilham, Yusuf, Roda
dan dori yang sudah 14 tahun sudah mahir dalam ilmu bela diri. Hanya Arfat
bungsu kami yang masih 10 tahun yang belum begitu menguasai pelajarn lansung Bapak
.
Lalu malam
ini, semua seperti biasa. Saat kami shlat magrib berjemaah, dan tadarus
setelahnya. Hujan yang sedari siang turun terus menerus tak membuat kami
terganggu. Hanya arfat, si bungsu antara kami yang terlihat tak nyaman
mendengar suara guntur. Yah.. dia memang paling takut dengan suara guntur. Bang Bas masih mengajari Ilham tajwid. Aku,
Roka, Yusuf, Yol dan Sten, mendengarkan dan menyimak bacaan Quran Bang Aulia
yang merdu. Benar benar indah. Tak heran jika bulan depan Bang Aulia akan
mengajar les ngaji ke kota. Yang lain masih asik dengan kegiatan masing masing.
Bapak sedang membaca buku tebal di sudut mushalla ditemani Bang Akbar.
Tiba tiba saja
lampu padam. Gelap, semua terhenti dari kegiatannya. Aku tersentak kaget saat
mendengar suara salah satu saudaraku berteriak. Terlalu gelap untuk memilah dan
menjawab pertanyaan kenapa. Dan saat lampu kembali menyala, aku terperangah
melihat di tengah ruangan, Dori tergeletak bersimbah darah. Kami berteriak
kaget , refleks aku dan bebrapa lainnya hendak memburu ke arah dori, namun
tendangan dan pukulan bebrepa orang berjas hitam melumpuhkan kami. Beberapa
orang terpekik kaget, melihat setengah lusin laki laki berjas hitam, entah
datang dari mana menodongkan pistol ke arah kami semua. Memaksa kami berkumpul
dalam satu kumpulan. Bang Aulia menahan tubuhku. Tedangan salah seorang laki
laki itu bersarang telak di perutku. Di sudut
sana, Kak Haji berlutut dengan pistol tertodong ke pelipisnya. Bang akbar,
tersandar dengan muka memar. Kekacauan terasa hingga membuat pengap. Aku mihat
seringat tak bersahabat dari orang yang mengelilingi kami dengan senjata api. Kebingungan,
perampokan kah?
“Seret mereka
keluar!”
Nada perintah
dari suara berat si penodong Bapak terdengar mengerikan. Dua menit selanjutnya,
kami berlutut di halaman menghadang hujan yang semakin menderas. Arfat,
mendekatkan diri padaku saat guntur semkain menggila. Tanganku merangkul
mencoba menangkan gigilan bocah 10 tahun ini. Aku mencari cari pandangan pada
sosok Bang Akbar dan Bang Aulia. Mencoba mencari tahu dari ekspresi wajah mereka.
Dan di sana kutemukan jawaban. Mereka pun tak tahu apa apa. Bingung dan
ketakutan.
“Jangan sentuh
anak anakku” lirih diantara hujan kudengar permintaan memilukan Bapak . Dapat
ku pastikan dia sudah mulai menangis dari tadi.
“Haha.. anak
anakmu?” kentara sekali nada mengejek dari suara yang semakin mengancam. “Sejak
kapan kau kau punya anak hah?”
Bebrapa orang
yang menjaga kami dengan todongan senjata mengeluarkan tawa dingin serupa. Tak
ada perasaan yang kulihat dari pergerakkan mereka. Aku melirik Daffa yang
terdiam di samping Bang Bas. Tapi kutahu dia sedang berfikir keras untuk semua
yang terjadi. Tak ada yang tau kenapa kejadian ini bisa terjadi. Kecuali satu
orang, satu orang yang jelas jelas kenal dengan mereka. Bapak . Ah.. Dori,
bahkan kami belum sempat memeriksa keadaannya tadi.
“Bahkan jika
kau mengadopsi seluruh anak jalanan di negeri ini, kau bahkan belum menghapus
secuil dosamu sekalipun Shark”
Aku melihat
tubuh ringkih Bapak mengigil tak wajar saat mendengar panggilan itu.
Bang Akbar menantap
tajam sosok ber-aura membunuh di hadapan kami, sosok yang masih menodongkan pistol
di kepala Bapak . Tak peduli pria tua itu hanya mampu bersujud putus asa.
“Berhenti
bersifat rendah seperti itu Shark! Kau membuat kami malu! Mana tangan dingimu
dulu hah?” suara bentekan itu tak mengandung emosi apapun.
“Kau boleh
mengambil semuanya, biarkan kami hidup tenang” Erang Bapak terdengar memilukan.
Ku mendekap
Arfat yang segukan menahan tangis meliahat kondisi ayah angkat kami.
“Jngan
bercanda pak tua. Kau ingin hidup tenang? kau pikir kau bisa? Kau bahkan
melibatkan lebih banyak orang tak bersalah di sini”
Bapak mengankat
wajahnya. Melihat raut basah kuyup kami di tengah hujan ini. Riak emosi
membuatnya melemah.
“Jangan sentuh
mereka, kumohon” lirihnya
“Berhenti
bersikap begini Shark! Kau tak punya hati! Setidaknya saat kau membunuhi
manusia bagai menginjak serangga. Kau sengaja membuat kelemahan mu sendiri. Dan
sebagai mantan teman aku akan memberikan sebuah informasi yang jelas. Hyena akan senang menikmati kelemahanmu ini”
Bapak terlihat
makin putus asa. Tangannya memukul mukul bumi dalam frustasi. Kami bahkan tak
pernah melihat ekpresi se-mejedihkan itu selama ini. Dan dari semua pernyataan
lelak kekar yang terus bicara dari tadi, sedikit banyak kami tahu masa lalu
Bapak . Bahkan terlihat sekali Bapak tak membantahnya. Selama ini kami memang
tak pernah tahu, bahkan pekerjaannya sekalipun. Selama ini beliau seolah punya
cadangan uang yang tak ada habis habisnya untuk membiayai kebutuhan kami.
“Sabarlah
dulu, Hyena akan datang sebentar lagi”
Bersamaan
dengan berakhir kalimatnya. Sebuah mobil mewah berhenti di halaman depan. Bapak
makin menggigil. Jelas ketakutan. Dan ketakutan itu menjalari kami semua. Dua
orang berpakaian sama dengan setengah lusin gila yang menodongkan sejata pada
kami, turun terlebih dahulu. Tak peduli pada hujan yang menangkap mereka dalam
basah. Salah seorang menuju pintu belakang sambil membawa payung. Membuka
payung, memayungi seseoang yang mungkin dijuluki sebagia Hyena tadi.
Aku tak bisa
melepas mataku pada sosok mosnter yang bahkan namanya saja membuat Bapak ketakutan
setengah mati. Seseorang turun dari mobil. Perempuan berwajah manis berusia
sekitar 25 tahun. Cantik dalam balutan blezer dan rok span selutut. Namun ada
aura berbisa menguar dari tatapan matanya. Rambut wanita itu tergerai sebahu.
Rapi persis pekerja kantoran. Dia tersenyum datar saat seluruh tubuhnya berada
di luar mobil. Terlihat lesung pipit di setiap pipinya. Matanya menantap liar Bapak yang terlihat
kian ringkih.
Hyena ,
berjalan anggun dengan payung manungi langkahnya. Bahkan dia tak terusik
sekalipun pada kami yang di kumpulkan basah kuyup di tengah halaman . Dia
berhenti tepat dihadapan Bapak . Membelakangi kami. Tapi dapat kulihat
kengerian di mata Bapak saat mendongak melihat wanita itu.
“H- Hyena ..”
“Lama tak
jumpa Shark. Banyak kulihat perubahan padamu” ceria. Nada ceria yang tak pantas
dalam psisi ini.
“Hyena ..
jangan ganngu anak anakku”
“Oh.. “
seperti baru menyadari, Hyena menoleh
melalui bahunya. Melirik kami sekilas, “Kau beranaK cukup banyak dalam tujuh
tahun ini.” itu lelucon. Tapi tak ada yang tertawa, bahkan Hyena sekalipun. Nada dingin itu seolah
mengisyaratkan betapa tak berharganya kami.
Bapak menggil,
menundukkan wajahnya.
“Jangan lagi Hyena
, kumohon”
Tiba tiba kaki
Hyena bergerak cepat, tau tau Bapak terkapar
begitu saja dengan mulut berdarah. Aku hampir saja meloncat kearahnya kalau
saja Bang Bas tidak mencengkram bahuku. Mencoba menenagkan. Keributan itu tak
lepas dari pengamatan Hyena . Dia berbalik,
mentap ke arahku. Tajam.
“Wah wah.. Anak
yang berbakti ya” senyumnya datar. “Kulihat si tua ini bahkan membuat ruang
ibadah di rumah kalian, banar benar ayah yang baik”
Bapak bangkit.
Terduduk sambil memegangi dadanya.
“Jangan sentuh
mreka Hyena ”
Aku merinding
mendengar tawa Hyena, seperti menambah dinginnya hujan menjadi beberapa kali
lipat.
“ Hm.. akan
kupertimbangkan Shark. Asal kau turuti kemauan ku”
Bapak mengangguk.
Terlalu bersemngat. Aku terluka melihat pemandaangan ini.
“Dimana barang
itu shark?”
Bapak
tersedak.
“Kau
sembunyikan dimana?” kejar Hyena lagi.
Air mata
bercucuran memebaur dengan hujan membasahi pipi Bapak . Ada keteguhan di sana
saat dia menggeleng lemah
“Kau
menantangku shark?”
Bapak tak
menjawab.
“Jangan kau
pikir kau bisa hidup tenang setelah menghianati rumahmu sendii Shark. Kau tak
pernah lolos dari kami seberapa keras pun kau bersembunyi. Tak peduli kau
melatih sendiri pengawal pengawal yang kau haluskan dengan anak angkat.”
“Mereka tak
ada kaitannya dengan ini”
“Cukup! Aku
bisa saja membunuh siapapun yang aku mau. Kau tahu itukan. Jangan pernah sekalipun
membuat penawaran denganku. Sekarang katakan dimana barang itu!” teriak Hyena melawan berisik hujan. Tak ada lagi ceria
dalam nada suaranya.
“Tidak Hyena ,
tidak. Kau tak tahu efek benda itu”
“Apa aku
trlihat peduli? Katakan!” Hyena menjambak
rambut Bapak marah.
“Tidak.. kau
bisa membunuhku, Hyena ”
Plak!
Bapak terhuyung
kesamping. Hyeana melepaskan pukulan dan mendorong kepala Bapak kasar. Sekali
lagi, aku nyaris melompat dari tempatku, jika Bang Aulia tidak menahan tubuhku.
“Keras
kepalamu tak berubah eh?”
Hyena berdiri
angkuh. Melap tangannya dengan sapu tangan yang diberikan bawahannya.
“Kita lihat
apakah kau masih mempertahankan keras kepalamu itu setelah ini” Hyena mengankat tangan kirinya, memberikan kode
pada salah satu anak lelaki berjas di dekat kami. Seolah paham, laki laki itu
menyeret Ilham dari samping Daffa. Tak ada yang bisa melakukan apa apa, kerna lelaki
lain telah menendangi beberapa orang yang berani menghalangi. Aku menelan ludah
pahit. Skenario ini, seakan dapat ku tebak akhirnya.
Ilham di paksa
berlutut di samping Hyena . Perempuan itu tersenyum licik. Menadahkan tangan
pada bawahan yang memayunginya. Mataku membulat saat pistol itu tergenggam
mantap dalam tangannya yang halus.
Bapak
memberontak. Bersaha mendekati Ilham, namun lelaki yang menodongnya memberikan
sebuah tendangan telak yang membuat beliau tersungkur tak berdaya. Kilat matanya penuh ketakutan.
“Ini hadiah
untuk keras kepalamu, Shark”
Dan waktu
seolah berhenti. Ilham mengejang dan jatuh tersungkur dengan peicikan darah
mengenai orang orang sekelilingnya. Tak ada suara tembakan terdengar. Aku hanya
melihal pistol itu di tekankan ke tengkuk Ilham yang menunduk. Bergetar
sedikit, dan genangan darah tercipta. Tak ada teriakan dari Ilham. Hanya
beberapa saudaraku yang terlihat berteriak kaget dan tak terima. Aku mencengkram
rumput dibawaku. Pembunuhan, ini pembunuhan!
Teriakan Bapak
meninggi. Tubuhnya tergetar dan terhempas seolah tampak daya. Bahunya naik
turun dengan tangan mencengkram tanah.
“Bagaimana
Shark? Kau menyukai hadiah kecil dariku?’ Hyena
bertanya retoris. Tangannya mengusap ngusap pistol pembunuh itu sayang.
Tampak tak berminat melihat kenyataan bahwa dia baru saja membunuh pemuda
belasan tahun dengan tangannya sendiri.
Lama Bapak teruncang
dalam tangisnya. Bahunya naik turun dengan wajah menghadap tanah. Saat dia
mendongak terlihat mata penuh keteguhan di sana. Sesaat kemudian, dia
menngeleng lemah. Mata sayunya, menyapu wajah kami dengan pandangan penuh
permintaan maaf. Aku menggeram. Tau apapun itu, apapun yang di pertaruhkan
dengan tawaran nyawa kami, adalah yang jauh lebih buruk jika seandainya jatuh
ketangan Hyena . Dan lagi, aku yakin, setelah dia mendapatkan apa yang dia mau,
wanita iblis ini pasti akan tetap membunuh kami semua.
“Ck, tua
bangka keras kepala. Akan kubunuh semua anakmu di bawah hidungmu sendiri” Hyena
menendang Bapak penuh emosi. Dia
mengangkat tangannya lagi. Lalu Bang Akbar dan Yol diseret ke hadapan wanita berdarah dingin yang
sekarang mendesis senang bagai ular. Hujan masih seperti tadi, tapi tak
sedikitpun mempengaruhi kejadian saat ini.
Bang Akbar menatap
mata wanita itu berani. Mungkin jarak usia mereka tidaklah terlalu jauh, tapi
jelas aura intimidasi lebih pekat menyelimuti si Hyena .
“ Ada kata
ketrakhi untuk ayahmu?” Hyena bertanya
dingin.
Bang Akbar menatap
Bapak penuh keyakinan. Sorot matanya menyampaikan kepercayaan. Keihlasan dan
sayang. Setelahnya, pemuda itu menoleh kearah kami. Tatapannya mengeras. Seakan
ada pesan yang disampaikan lewat percikan garang itu.
“kata
terakhirmu?” ulang Hyena tak sabaran.
Bang Akbar memantapkan
suaranya. “ Pak, aku anakmu. Dan aku percaya padamu. Jjika kami memang akan
mati, itu bukan karnamu” suara Bang
Akbar menggetarkan. Aku bersiap mengawasi lima oang bersenjata dibelakang kami.
Bang Aulia mengangguk ke satu orang yang dekat dengan kami. Aku mengerti
isyaratnya. Di ujung sana, Daffa melakukan hal yang sama.
“Allahhu
Akbar!” teriakan Bang Akbar mengalahkan gemuruh petir.
Lalu tanpa
aba, aba Bang Akbar bangkit merampas senjata ditangan Hyena dan menghantam si lelaki pembawa payung. Aku
menerjang laki laki di belakangku dengan sebuah tendangan kuat. Dan derik
selanjutnya, semua kacau balau dalam perkelahian tak seimbang jumlah tak
seimbang peralatan. Suara takbir bersahutan memberi semangat.
“Brengsek!
Kurang ajar! Bunuh mereka smua. Aku ingin mereka semua mati!” teriakan Hyena menggelegar dalam emosinya. Entah siapa yang
melakukan, tiba tiba saja penerangan padam. Gelap gulita. Namun tak membuat perkelahian
berhenti begitu saja. Aku berlari membantu Bang Aiulia yang terdesak lawan.
“Lari!”
teriakan Bang Akbar terdengar. Tidak. Aku tak akan lari. Sudut mataku mencari Bapak
, namun tak kutemukan dimanapun. Lalu sebuat pisau tiba tiba saja berkelebat
bagai ular mematuk bahuku. Aku terjajar memegangi lenganku. Seorang laki laki
berjas hitam bertubuh ceking tersenyum penuh nafsu membunuh.
“Aku memilih
mangsaku sendiri” desisnya. Kilat menyambar. Cahaya sepintas itu membuatku
mambu melihat wajah kusam dan rambut gondrongnya yang basah kuyup. Senyumnya
terlihat menjijikan.
Dia kembali
menyerang. Aku berkelit kesamping, namun pisau itu seolah bermata kembali
mengincar tubuhku. Sedikit mendorong tubuh kebelakang aku menghindari sabetan
pisau komando panjang ditangannya. Pisau putih itu berkilat ditempa cahaya
petir. Aku memicingkan mata. Berusaha fokus ada pisau di tangannya. Kami
bergerak keluar dari kancah perkelahian. Aku belum mampu melakukan penyerangan
apapun. Hanya mampu mengelak dan bertahan. Serangan selanjutnya kembali
membuatku terpok, satu tinjunya menghantam perutku, dan tangan yang lain
melayangkan pisau kerah yang sama. Aku lengannya yang memegang pisau dengan lenganku,
namun pisau di pergelangan tangannya dengan mudah dimainkan menyabet dengan
kekuatan pertumpu pada telapak tangan. Tidak kuat, namun mampu menoreh luka
memanjang di dadaku.
Aku melompat
mundur. Memberikan jarak antara kami. Lelaki ceking itu tertawa mengekeh. Puas melihat
darah dari bajuku yang robek. Aku menngeram. Dan detik slanjutnya dia kembali
menyerang. Aku menunduk menjungkalkannya dengan tendanganku saat melewati
tubuhku. Tanganku bergerak merampas pisau komando ditanganya, namun dengan
beringas dia kembali menyerangku. Sejab kemudian, kudapati diriku terjatuh
dengan punggung menyentuh tanah, sedang
si ceking menindih tubuhku. Aku mengerjap. Pisau komando yang kurampas, tepat
berada diantara kami. Dan ujung, menembus jantung orang yang berada diatasku.
Aku
terbelalak. Mendorong tubuh itu dariku.
To Be
continued...
aku penasaran...
BalasHapusditunggu kelanjutannya