Minggu, 14 Agustus 2016

Pangeran Maestro



Gemuruh halilintar mengoyak malam kelabu. Deras air bak tumpah ruah tak terkendali masih melingkupi sedari tadi, mengahapus noda darah di rerumputan, mengurai aroma anyir darah dan keringat.  Gelap. Sesekali kilat memberikan jarak pandang. Mengerikan, dalam kekacauan hiruk pikuk teriakan takbir dan sumpah serapah, beberapa tubuh bertebaran disepanjang halaman.
Aku tersengal kepayahan menyandarkan tubuh pada pokok jambu air di ujung halaman. Mencoba menghindar dari serbuan brutal penyerang.  Tubuhku babak belur dan basah kuyup, nyaris  hilang sadar. Kudekap luka di bahu kiri. Mencengkram. Buah tusukan pisau komando meleset yang awalnya mengincar jantungku. Dua meter dariku, pisau itu tertancap dalam di dada si empunya. Laki laku kurus kering  yang sekarang tak lebih dari onggokkan daging tak bernyawa menantang hujan. Menyatu dengan warna tanah.
Deris, kau pembunuh!
Kata itu seolah terngiang di kepalaku sendiri.
Putus asa ku pandangi tanganku. Berlumuran darah. Darahku dan darah lelaki ceking itu. Aku baru saja membunuh! Pembunuh! Wajahku menghoror beku.  Ketakutan menjalari sekujur tubuhku dalam gigil. Kenapa? Kenapa ini bisa begini?
Aku menahan gelomBang perih saat kilat menyuguhi pemandangn kacau balau pembantaian ini. Tubuh yang bergelimpangan itu adalah saudara saudaraku. Ilham tergeletak tak bergerak di tengah halaman. Tak jauh darinya Rian tersungkur dengan darah membasahi baju koko putihnya. Dua tubuh lain tak kukenali dengan jelas. Mungkin Yusuf dan Roka. Pencahayaan yang minim dan hujan yang deras membuat ku tak bisa memaksimalkan dampak cahaya kilat. Sambaran kilat di udara kembali membuatku dapat melihat.  Bebreapa orang masih bertahan baku hantam dengan penyerang. Berebut nyawa. Yol menendang tersungkur seorang lelaki berjas hitam yang menyerangnya. Bang Bas baru saja menjungkalkan dua orang penyerang sekaligus. Dan entah siapa lagi yang terus berkelebat mempertahankan nafas. Tak ada kilat takut. Tak ada gerakan gentar.
Beberapa kali suara tembakan senjata api terdengar. Aku bergedik ngeri melihat Arfat –bungsu- kami tersungkur dengan tangan menedekap dada. Di depannya seorang wanita rambut sebahu tersenyum sinis menodongkan pistol. Gigiku gemertak menahan amarah. Sigap aku berdiri, tak peduli tubuhku yang beberapa menit lalu nyaris hilang sadar.
Namun, langkahku tak pernah kuambil. Aku terpacang kaku di tempatku berdiri.  Seorang laki laki kekar berambut gondrong menghalangi pandanganku. Tak dapat kuliat wajahnya dengan jelas, namun kurasakan diia menyeringai buas.  Senjata api tertodong di hadapan wajahku. Kaget, aku menegang dengan wajah memucat. Sial. Aku bahkan tak mengetahui kedatangnnya. Jas hitamnya bsah kuyup. Pelipisnya mengucur darah yang perlahan tersapu air hujan. Aku menatapi mata bengis tanpa belas kasihan itu bersinar buas.  Aku akan mati. Mati hari ini.
                “ Ah, aku mencarimu bocah,” ucapnya puas. Kentara sekali sarat dendam. “ kau yang membunuh adikku, brengsek! Sekarang susul dia!” bentaknya membelah semua kemungkinanku untuk menyelamatkan diri.
Aku memejamkan mata. Menunggu tarikan jarinya membukakan pintu kematianku. Namun detik selanjutnya, aku terbelalak kaget saat tubuh pria gila itu tersungkur dihadapku.
                “Ris, kau tak apa apa?”
Aku mendongak. Daffa, dengan wajah berantakan dan babak belur, mananyai ku dengan kilat kecemasan.
Tak sempat ku jawab pertanyaan Daffa, lengannya telah menyeretku dengan paksa. Tak peduli pada luka bahuku yang menyisakan sakit. Aku berontak lepas, dan berbalik menuju sosok Arfat yang tak lagi bergerak di tengah pertarungan yang masih berapi.
“Dia sudah mati!” Daffa menyetakku menjauh. Oh, tidak. Tidak lagi.
Ku tatap Daffa dengan tatapan kosong. “ Kita harus menyelamatkan yang lain”
kata kataku terdengar asing, bahakan ditelingaku sendiri.
Daffa menggelengkan kepala tegas. Keputus asannya menjalariku dengan seketika.
 “kita tak akan sempat, tak ada gunanya. Ayo!” 
Aku bertahan, bersikeras hendak masuk ke kancah pertempuran, meski sadar aku takkan menolong sedikitpun. Justru menjadikan diri sasaran empuk pistol kelompok gila itu. Daffa dengan kasar menyentakkanku hingga tersungkur dengan wajah mencim tanah. Aku menggil. Sadar dengan ketidak berdayaanku. Bahuku terguncang menahan tangis.
Naungan pokok jambu lembat tempat kami berdiri, memberikan kami perlindungan dari pandangan para penyerang yang duduk mengawasi di depan rumah. Tak ada satupun dari meraka yang mangkap sosok kami di sini. Mereka yang berdiri di depan rumah, seperti memastikan tak ada satu pun yang lolos dari halaman. Kami beruntung bisa sampai di sini tanpa terlihat.
                “kita hurus pergi”
Daffa menyeretku menembus gelap malam ke arah belakang rumah. Baju koko putihya tak lagi berwarna secerah 3 jam lalu. Aku meringis mencoba mengimbangi langkahnya dalam tangis pilu. Kenapa bisa begini, bahkan tak pernah sedikitpun terlintas dalam fikiranku kami akn melewati malam yang seperti ini.
Harusnya ini malam Kamis seperti biasa.
Harusnya tak ada yang seperti ini.
Tadi  sehabis magrib kami melakasanakan pengajian rutin kami bersma Bapak dan  Bang Akbar. Tak ada yang aneh. Kami ber-dua belas suadara seperti biasa berisik dengan pertengkaran kecil tak penting. Bang Akbar si sulung, menagahi dengan peringatan. Sesekali Bang Aulia dan Bang Bas ikut melerai malas. Ya.. mereka memang tiga orang anak tertua diantara kami.  Daffa akan melayangkan jitakan jika kami masih bersikeras untuk meribut. Di antara angkatan kami, daffa telah diakui sebagi ketua kami. Lebih dewasa dan lebih mampu mengendalikan kami (aku, Sten, Rian dan Yol) empat teman sebayanya yang selalu bikin ulah. Bahkan Sten dan Rian tak segan segan bertengkar dengan empat adik kami yang lain. Lebih sering dengan si bungsu Arfat, yang lansung membawa Sten pada hukuman Bang Akbar. Sedangkan Ilham, Roka, Dori, dan Yusuf lebih sering mengahadpi dou nakal itu bersama sama. Keroyokan lebih tepatnya.
                Kami tinggal di rumah kayu kebanggaan kami. Rumah besar yang menjadi tampat tinggal sekaligus ekolah. Kami ber-dua belas, tak pernah mencicipi bangku sekolah. Bapak , ayah angkat kami, akan menjadi guru untuk Bang Akbar, Aulia dan Bas. Sedang tiga anak sulung itu, akan menjadi guru untuk ku, Sten, Daffa, Yol, dan Rian. Sedangkan untuk guru Arfat, Yusuf Ilham, Dori, dan Roka, hanya dipercayakan pada Daffa saja. Tak ada yang mau memberi kepercayaan mengatur orang lain, pada orang yang bahkan tak bisa mengatur dirinya sendiri.
                Bapak , satu satunya orang tua yang kami punya mengatur kegiaan pembekajaran kami sedemikian rupa. Mulai dari ilmu dasar, seperti membaca, menulis dan berhitung, sampai ilmu keagaman serta komputer dan internet. Layaknya siswa sekolah, kami juga memiliki ujian dan distensi. Rumah besar ini menyediakan semua yang kami perlukan. Perpustakaan besar, ruang belajar, dan ruang multi media. Bapak bahkan memberi kami lettop untuk masing masing.
                Sebuah keajaiban yang membuatku dan anak anak lainnya sampai ke sini. Enam tahun lalu aku, Sten, Yol, Daffa dan Rian tak sengaja bertemu dengan Bapak di jalanan. Tempat kami biasa mengamen bersama. Bapak mengangkat kami jadi anaknya dan tinggal di sini. Saat itu, aku, Sten dan Yol  masih berumur tiga belas tahun. Daffa empat belas tahun. Sedangkan ayah angkat kami berusia pertengahan ima puluh tahun.
                Di sini, kami di perkenalkan pada Bang Akbar, Aulia dan Bas. Tak bebrapa bulan berselang, datanglah Ilham, Roka, Yusuf dan Arfat. Kami tak tahu asal usul masing masing, tapi yang kami tahu pasti kami berada dalam garis nasip menyedihkan yang sama. Dan sekarang menjadi sebuah keluarga besar, dengan Bapak sebagi orang Tua tunggal kami saat ini. Bapak , bahkan menyayangi kami layaknya anak kandung. Memenuhi semua kebutuhan kami, dan yang paling cemas jika salah satu dari kami yang jatuh sakit. Namun karna kami semua laki laki, perkelahian dan pertengkaran bukan lagi hal yang aneh di sini, terluka dan jatu sakit.
Rumah kami terletak di sebuah desa terpencil jauh dari keramian kota. Dan meskipun di desa, rumah ini di bangun jauh lagi dari lingkungan desa. Terpencil sndiri dengan hutan sebagai batas akhir halaman belakang. Di halaman depan, terdapat gazebo kecil untuk kami shalat, dan pengajian bersama. Sedangkan di halamn belakang, terdiri dari ladang ladang sayur yang kami kelola besama. Sumber makanan kami. Namun dari semua yang sempurna disini, ada hal yang menganjal di hatiku. Bapak terkesan menembunyikan diri disini. Pria stengah baya dengan rambut yang nyaris memutih seluruhnya itu seakan menyimpan misteri bagi kami.
Bapak , hanya memperkenalkan namanya sebagai Abdullah. Itu saja. Tak ada nam keluarga, teman maupun pekerjaan. Bapak sperti hidup tnpa masa lalu. Tak ada petunjuk. Yang ada hanya Bapak yang hidup sebagai ayah kami saja. Meski membawa panasaran, tak ada satupun yang berani bertanya. Toh kami memiliki rahasia masing masing yang masih di simpan sendiri.
Kami ke pasar desa hanya sekali seminggu untuk menjual hasil ladang dan membeli keperluan. Itu pun harus gantian dua dua orang per minggunya. Sedang Bapak tak sekalipun keluar dari lingkungan rumah. Hal lain yang membuatku makin anaeh, adalah kegigihan Bapak melatih kami bela diri. Setiap sore. Bahkan Ilham, Yusuf, Roda dan dori yang sudah 14 tahun sudah mahir dalam ilmu bela diri. Hanya Arfat bungsu kami yang masih 10 tahun yang belum begitu menguasai pelajarn lansung Bapak .
Lalu malam ini, semua seperti biasa. Saat kami shlat magrib berjemaah, dan tadarus setelahnya. Hujan yang sedari siang turun terus menerus tak membuat kami terganggu. Hanya arfat, si bungsu antara kami yang terlihat tak nyaman mendengar suara guntur. Yah.. dia memang paling takut dengan suara guntur.  Bang Bas masih mengajari Ilham tajwid. Aku, Roka, Yusuf, Yol dan Sten, mendengarkan dan menyimak bacaan Quran Bang Aulia yang merdu. Benar benar indah. Tak heran jika bulan depan Bang Aulia akan mengajar les ngaji ke kota. Yang lain masih asik dengan kegiatan masing masing. Bapak sedang membaca buku tebal di sudut mushalla ditemani Bang Akbar.
Tiba tiba saja lampu padam. Gelap, semua terhenti dari kegiatannya. Aku tersentak kaget saat mendengar suara salah satu saudaraku berteriak. Terlalu gelap untuk memilah dan menjawab pertanyaan kenapa. Dan saat lampu kembali menyala, aku terperangah melihat di tengah ruangan, Dori tergeletak bersimbah darah. Kami berteriak kaget , refleks aku dan bebrapa lainnya hendak memburu ke arah dori, namun tendangan dan pukulan bebrepa orang berjas hitam melumpuhkan kami. Beberapa orang terpekik kaget, melihat setengah lusin laki laki berjas hitam, entah datang dari mana menodongkan pistol ke arah kami semua. Memaksa kami berkumpul dalam satu kumpulan. Bang Aulia menahan tubuhku. Tedangan salah seorang laki laki itu bersarang telak di perutku. Di sudut  sana, Kak Haji berlutut dengan pistol tertodong ke pelipisnya. Bang akbar, tersandar dengan muka memar. Kekacauan terasa hingga membuat pengap. Aku mihat seringat tak bersahabat dari orang yang mengelilingi kami dengan senjata api. Kebingungan, perampokan kah?
“Seret mereka keluar!”
Nada perintah dari suara berat si penodong Bapak terdengar mengerikan. Dua menit selanjutnya, kami berlutut di halaman menghadang hujan yang semakin menderas. Arfat, mendekatkan diri padaku saat guntur semkain menggila. Tanganku merangkul mencoba menangkan gigilan bocah 10 tahun ini. Aku mencari cari pandangan pada sosok Bang Akbar dan Bang Aulia. Mencoba mencari tahu dari ekspresi wajah mereka. Dan di sana kutemukan jawaban. Mereka pun tak tahu apa apa. Bingung dan ketakutan.
“Jangan sentuh anak anakku” lirih diantara hujan kudengar permintaan memilukan Bapak . Dapat ku pastikan dia sudah mulai menangis dari tadi.
“Haha.. anak anakmu?” kentara sekali nada mengejek dari suara yang semakin mengancam. “Sejak kapan kau kau punya anak hah?”
Bebrapa orang yang menjaga kami dengan todongan senjata mengeluarkan tawa dingin serupa. Tak ada perasaan yang kulihat dari pergerakkan mereka. Aku melirik Daffa yang terdiam di samping Bang Bas. Tapi kutahu dia sedang berfikir keras untuk semua yang terjadi. Tak ada yang tau kenapa kejadian ini bisa terjadi. Kecuali satu orang, satu orang yang jelas jelas kenal dengan mereka. Bapak .  Ah..  Dori, bahkan kami belum sempat memeriksa keadaannya tadi.
“Bahkan jika kau mengadopsi seluruh anak jalanan di negeri ini, kau bahkan belum menghapus secuil dosamu sekalipun Shark
Aku melihat tubuh ringkih Bapak mengigil tak wajar saat mendengar panggilan itu.
Bang Akbar menantap tajam sosok ber-aura membunuh di hadapan kami, sosok yang masih menodongkan pistol di kepala Bapak . Tak peduli pria tua itu hanya mampu bersujud putus asa.
“Berhenti bersifat rendah seperti itu  Shark!  Kau membuat kami malu! Mana tangan dingimu dulu hah?” suara bentekan itu tak mengandung emosi apapun.
“Kau boleh mengambil semuanya, biarkan kami hidup tenang” Erang Bapak terdengar memilukan.
Ku mendekap Arfat yang segukan menahan tangis meliahat kondisi ayah angkat kami.
“Jngan bercanda pak tua. Kau ingin hidup tenang? kau pikir kau bisa? Kau bahkan melibatkan lebih banyak orang tak bersalah di sini”
Bapak mengankat wajahnya. Melihat raut basah kuyup kami di tengah hujan ini. Riak emosi membuatnya melemah.
“Jangan sentuh mereka, kumohon” lirihnya
“Berhenti bersikap begini Shark! Kau tak punya hati! Setidaknya saat kau membunuhi manusia bagai menginjak serangga. Kau sengaja membuat kelemahan mu sendiri. Dan sebagai mantan teman aku akan memberikan sebuah informasi yang jelas. Hyena  akan senang menikmati kelemahanmu ini”
Bapak terlihat makin putus asa. Tangannya memukul mukul bumi dalam frustasi. Kami bahkan tak pernah melihat ekpresi se-mejedihkan itu selama ini. Dan dari semua pernyataan lelak kekar yang terus bicara dari tadi, sedikit banyak kami tahu masa lalu Bapak . Bahkan terlihat sekali Bapak tak membantahnya. Selama ini kami memang tak pernah tahu, bahkan pekerjaannya sekalipun. Selama ini beliau seolah punya cadangan uang yang tak ada habis habisnya untuk membiayai kebutuhan kami.
“Sabarlah dulu, Hyena  akan datang sebentar lagi”
Bersamaan dengan berakhir kalimatnya. Sebuah mobil mewah berhenti di halaman depan. Bapak makin menggigil. Jelas ketakutan. Dan ketakutan itu menjalari kami semua. Dua orang berpakaian sama dengan setengah lusin gila yang menodongkan sejata pada kami, turun terlebih dahulu. Tak peduli pada hujan yang menangkap mereka dalam basah. Salah seorang menuju pintu belakang sambil membawa payung. Membuka payung, memayungi seseoang yang mungkin dijuluki sebagia Hyena  tadi.
Aku tak bisa melepas mataku pada sosok mosnter yang bahkan namanya saja membuat Bapak ketakutan setengah mati. Seseorang turun dari mobil. Perempuan berwajah manis berusia sekitar 25 tahun. Cantik dalam balutan blezer dan rok span selutut. Namun ada aura berbisa menguar dari tatapan matanya. Rambut wanita itu tergerai sebahu. Rapi persis pekerja kantoran. Dia tersenyum datar saat seluruh tubuhnya berada di luar mobil. Terlihat lesung pipit di setiap pipinya.  Matanya menantap liar Bapak yang terlihat kian ringkih.
Hyena , berjalan anggun dengan payung manungi langkahnya. Bahkan dia tak terusik sekalipun pada kami yang di kumpulkan basah kuyup di tengah halaman . Dia berhenti tepat dihadapan Bapak . Membelakangi kami. Tapi dapat kulihat kengerian di mata Bapak saat mendongak melihat wanita itu.
“H- Hyena ..”
“Lama tak jumpa Shark. Banyak kulihat perubahan padamu” ceria. Nada ceria yang tak pantas dalam psisi ini.
“Hyena .. jangan ganngu anak anakku”
“Oh.. “ seperti baru menyadari, Hyena  menoleh melalui bahunya. Melirik kami sekilas, “Kau beranaK cukup banyak dalam tujuh tahun ini.” itu lelucon. Tapi tak ada yang tertawa, bahkan Hyena  sekalipun. Nada dingin itu seolah mengisyaratkan betapa tak berharganya kami.
Bapak menggil, menundukkan wajahnya.
“Jangan lagi Hyena , kumohon”
Tiba tiba kaki Hyena  bergerak cepat, tau tau Bapak terkapar begitu saja dengan mulut berdarah. Aku hampir saja meloncat kearahnya kalau saja Bang Bas tidak mencengkram bahuku. Mencoba menenagkan. Keributan itu tak lepas dari pengamatan Hyena . Dia berbalik,  mentap ke arahku. Tajam.
“Wah wah.. Anak yang berbakti ya” senyumnya datar. “Kulihat si tua ini bahkan membuat ruang ibadah di rumah kalian, banar benar ayah yang baik”
Bapak bangkit. Terduduk sambil memegangi dadanya.
“Jangan sentuh mreka Hyena ”
Aku merinding mendengar tawa Hyena, seperti menambah dinginnya hujan menjadi beberapa kali lipat.
“ Hm.. akan kupertimbangkan Shark. Asal kau turuti kemauan ku”
Bapak mengangguk. Terlalu bersemngat. Aku terluka melihat pemandaangan ini.
“Dimana barang itu shark?”
Bapak tersedak.
“Kau sembunyikan dimana?” kejar Hyena  lagi.
Air mata bercucuran memebaur dengan hujan membasahi pipi Bapak . Ada keteguhan di sana saat dia menggeleng lemah
“Kau menantangku shark?”
Bapak tak menjawab.
“Jangan kau pikir kau bisa hidup tenang setelah menghianati rumahmu sendii Shark. Kau tak pernah lolos dari kami seberapa keras pun kau bersembunyi. Tak peduli kau melatih sendiri pengawal pengawal yang kau haluskan dengan anak angkat.”
“Mereka tak ada kaitannya dengan ini”
“Cukup! Aku bisa saja membunuh siapapun yang aku mau. Kau tahu itukan. Jangan pernah sekalipun membuat penawaran denganku. Sekarang katakan dimana barang itu!” teriak Hyena  melawan berisik hujan. Tak ada lagi ceria dalam nada suaranya. 
“Tidak Hyena , tidak. Kau tak tahu efek benda itu”
“Apa aku trlihat peduli? Katakan!” Hyena  menjambak rambut Bapak marah.
“Tidak.. kau bisa membunuhku, Hyena ”
Plak!
Bapak terhuyung kesamping. Hyeana melepaskan pukulan dan mendorong kepala Bapak kasar. Sekali lagi, aku nyaris melompat dari tempatku, jika Bang Aulia tidak menahan tubuhku.
“Keras kepalamu tak berubah eh?”
Hyena berdiri angkuh. Melap tangannya dengan sapu tangan yang diberikan bawahannya.
“Kita lihat apakah kau masih mempertahankan keras kepalamu itu setelah ini” Hyena  mengankat tangan kirinya, memberikan kode pada salah satu anak lelaki berjas di dekat kami. Seolah paham, laki laki itu menyeret Ilham dari samping Daffa. Tak ada yang bisa melakukan apa apa, kerna lelaki lain telah menendangi beberapa orang yang berani menghalangi. Aku menelan ludah pahit. Skenario ini, seakan dapat ku tebak akhirnya.
Ilham di paksa berlutut di samping Hyena . Perempuan itu tersenyum licik. Menadahkan tangan pada bawahan yang memayunginya. Mataku membulat saat pistol itu tergenggam mantap dalam tangannya yang halus.
Bapak memberontak. Bersaha mendekati Ilham, namun lelaki yang menodongnya memberikan sebuah tendangan telak yang membuat beliau tersungkur tak berdaya.  Kilat matanya penuh ketakutan.
“Ini hadiah untuk keras kepalamu, Shark”
Dan waktu seolah berhenti. Ilham mengejang dan jatuh tersungkur dengan peicikan darah mengenai orang orang sekelilingnya. Tak ada suara tembakan terdengar. Aku hanya melihal pistol itu di tekankan ke tengkuk Ilham yang menunduk. Bergetar sedikit, dan genangan darah tercipta. Tak ada teriakan dari Ilham. Hanya beberapa saudaraku yang terlihat berteriak kaget dan tak terima. Aku mencengkram rumput dibawaku. Pembunuhan, ini pembunuhan!
Teriakan Bapak meninggi. Tubuhnya tergetar dan terhempas seolah tampak daya. Bahunya naik turun dengan tangan mencengkram tanah.
“Bagaimana Shark? Kau menyukai hadiah kecil dariku?’ Hyena  bertanya retoris. Tangannya mengusap ngusap pistol pembunuh itu sayang. Tampak tak berminat melihat kenyataan bahwa dia baru saja membunuh pemuda belasan tahun dengan tangannya sendiri.
Lama Bapak teruncang dalam tangisnya. Bahunya naik turun dengan wajah menghadap tanah. Saat dia mendongak terlihat mata penuh keteguhan di sana. Sesaat kemudian, dia menngeleng lemah. Mata sayunya, menyapu wajah kami dengan pandangan penuh permintaan maaf. Aku menggeram. Tau apapun itu, apapun yang di pertaruhkan dengan tawaran nyawa kami, adalah yang jauh lebih buruk jika seandainya jatuh ketangan Hyena . Dan lagi, aku yakin, setelah dia mendapatkan apa yang dia mau, wanita iblis ini pasti akan tetap membunuh kami semua.
“Ck, tua bangka keras kepala. Akan kubunuh semua anakmu di bawah hidungmu sendiri” Hyena menendang Bapak penuh emosi.  Dia mengangkat tangannya lagi. Lalu Bang Akbar dan Yol diseret  ke hadapan wanita berdarah dingin yang sekarang mendesis senang bagai ular. Hujan masih seperti tadi, tapi tak sedikitpun mempengaruhi kejadian saat ini.
Bang Akbar menatap mata wanita itu berani. Mungkin jarak usia mereka tidaklah terlalu jauh, tapi jelas aura intimidasi lebih pekat menyelimuti si Hyena .
“ Ada kata ketrakhi untuk ayahmu?” Hyena  bertanya dingin.
Bang Akbar menatap Bapak penuh keyakinan. Sorot matanya menyampaikan kepercayaan. Keihlasan dan sayang. Setelahnya, pemuda itu menoleh kearah kami. Tatapannya mengeras. Seakan ada pesan yang disampaikan lewat percikan garang itu.
“kata terakhirmu?” ulang Hyena  tak sabaran.
Bang Akbar memantapkan suaranya. “ Pak, aku anakmu. Dan aku percaya padamu. Jjika kami memang akan mati, itu bukan karnamu”  suara Bang Akbar menggetarkan. Aku bersiap mengawasi lima oang bersenjata dibelakang kami. Bang Aulia mengangguk ke satu orang yang dekat dengan kami. Aku mengerti isyaratnya. Di ujung sana, Daffa melakukan hal yang sama.
“Allahhu Akbar!” teriakan Bang Akbar mengalahkan gemuruh petir.
Lalu tanpa aba, aba Bang Akbar bangkit merampas senjata ditangan Hyena  dan menghantam si lelaki pembawa payung. Aku menerjang laki laki di belakangku dengan sebuah tendangan kuat. Dan derik selanjutnya, semua kacau balau dalam perkelahian tak seimbang jumlah tak seimbang peralatan. Suara takbir bersahutan memberi semangat.
“Brengsek! Kurang ajar! Bunuh mereka smua. Aku ingin mereka semua mati!” teriakan Hyena  menggelegar dalam emosinya. Entah siapa yang melakukan, tiba tiba saja penerangan padam. Gelap gulita. Namun tak membuat perkelahian berhenti begitu saja. Aku berlari membantu Bang Aiulia yang terdesak lawan.
“Lari!” teriakan Bang Akbar terdengar. Tidak. Aku tak akan lari. Sudut mataku mencari Bapak , namun tak kutemukan dimanapun. Lalu sebuat pisau tiba tiba saja berkelebat bagai ular mematuk bahuku. Aku terjajar memegangi lenganku. Seorang laki laki berjas hitam bertubuh ceking tersenyum penuh nafsu membunuh.
“Aku memilih mangsaku sendiri” desisnya. Kilat menyambar. Cahaya sepintas itu membuatku mambu melihat wajah kusam dan rambut gondrongnya yang basah kuyup. Senyumnya terlihat menjijikan.
Dia kembali menyerang. Aku berkelit kesamping, namun pisau itu seolah bermata kembali mengincar tubuhku. Sedikit mendorong tubuh kebelakang aku menghindari sabetan pisau komando panjang ditangannya. Pisau putih itu berkilat ditempa cahaya petir. Aku memicingkan mata. Berusaha fokus ada pisau di tangannya. Kami bergerak keluar dari kancah perkelahian. Aku belum mampu melakukan penyerangan apapun. Hanya mampu mengelak dan bertahan. Serangan selanjutnya kembali membuatku terpok, satu tinjunya menghantam perutku, dan tangan yang lain melayangkan pisau kerah yang sama. Aku lengannya yang memegang pisau dengan lenganku, namun pisau di pergelangan tangannya dengan mudah dimainkan menyabet dengan kekuatan pertumpu pada telapak tangan. Tidak kuat, namun mampu menoreh luka memanjang di dadaku.
Aku melompat mundur. Memberikan jarak antara kami. Lelaki ceking itu tertawa mengekeh. Puas melihat darah dari bajuku yang robek. Aku menngeram. Dan detik slanjutnya dia kembali menyerang. Aku menunduk menjungkalkannya dengan tendanganku saat melewati tubuhku. Tanganku bergerak merampas pisau komando ditanganya, namun dengan beringas dia kembali menyerangku. Sejab kemudian, kudapati diriku terjatuh dengan punggung menyentuh tanah,  sedang si ceking menindih tubuhku. Aku mengerjap. Pisau komando yang kurampas, tepat berada diantara kami. Dan ujung, menembus jantung orang yang berada diatasku. 
Aku terbelalak. Mendorong tubuh itu dariku. 





To Be continued...
 

1 komentar: