Kamis, 08 September 2016

Pangeran Maestro 4 : Siapa yang akan mengakui dirinya buronan pada orang yang baru dikenal?



            “Kalian di sini?”

           Aku membeku. Daffa menegang di tempatnya. Tak berani sedikitpun mengalihkan pandangannya dari makhluk yang entah siapa di hadapannya. 

             Aku menunggu. Bersiap mengantisipasi teriakan pemberitahuan dari orang itu, atau bebrapa langkah yang akan datang mendekati tempat ini. Sial. Kanapa kami tak mewaspadai kemungkinan ini sebelummnya. 

Beberapa menit selanjutnya, suara itu tak lagi terdengar. Derap langkah pun tak datang menghampiri. Jika tak melihat wajah Daffa yang masih mengeras tegang, aku akan mempercayai suara itu hanya permainan ilusi semata. Namun sorot mata Daffa masih menunjukkan kewaspadaan. Entah siapa yang berada di depannya, jelas sama bekunya dengannya. Tak melakukan pergerakkan apapun. 

                “Perglah..” lirih. 

Aku mengerjap bingung. Suara itu kembali terdengar, tanpa emosi, datar dan selirih  bisikan. Aku bergerak hendak melihat sosok itu, namun Daffa mengangkat tangannya, menahan langkahku. 

                “kami tak melakukan semua itu. Kami dijebak” balas Daffa tanpa menoleh padaku. Menantang dengan kilat mata berani. 

“Aku tahu. Pergilah sebelum mereka mengetahui kalian di sini”

Gelisah, aku tak tahan lagi. Sosok ini jelas jelas tak berbahaya. Sigap aku melangkah ke samping Daffa, melihat siapa di sana. 

Seseorang seperempat abad, berdiri di ditengah lorong, diapit diding tembok rumah kepala desa dengan tumbuhan pembatas setinggi kepala. Menyorotiku dengan pandangan kaget. Pakaian rapi dan rambut cepak yang di juga sissir rapi. Dia ku kenali sebagai sekretaris desa. Pemuda terpelajar yang pernah berkunjung ke tempat kami untuk mendata angota keluarga sebagai bagian dari warga desa. Di tangan pemuda itu, tergenggam posel yang jelas mengisyaratkan  keterbaian. Mungkin tadi dia tengah menerima telfon penting dan menjauh dari keramian.

“Wanita itu..” 

“.. aku tahu!” ptongnya mementalkan penjelasan Daffa.

Aku mengernyit bingung. Jika dia tahu, lalu kenapa dia.,.

“Pergilah...” ulangnya sabar, “Kalian tersangka utama dalam kasus ini. Tinggalkan desa ini, mulailah hidup baru, dan jauhi masalah, apapun itu” 

Apa? Siapa dia? Kami harus menyelesaikan ini semua. Meluruskan ini semua. 

“kalian tak punya kesempatan” ucapannya setelah membaca ekspresi tak suka dariku. 

Setan! Aku bahkan tak tahu nama orang ini, dan mngkin juga tak terlalu ingat nama kami, tapi caranya bicara seakan dia tahu semua. Tak punya kesempatan katanya? Bukankah dia sendiri bilang jika dia tahu semuanya? 

“ kalian takkan bisa meyakinkan semua orang. Wanita itu.. ku yakin kalian telah meliahatnya di dalam, dia berbahaya. Untuk saat ini pergilah dulu.”

“dia pembunuhnya!” desis Daffa tajam. 

Mata sekretaris desa membulat kage. Detik berikutnya kembali ekspresinya terkendali. Meski raut syok masih tergambar di mtanya. 

“berarti dia lebih berbahaya dari yang kuperkirakan. Cepat pergi, sebelum kalian tertangkap!” 

“tapi kami..

“kalian tersangka utama yang sedang diburu.kesakian tersangka tanpa bukti takkan membantu kalian sama sekali” ptongnya menjelaskan.

Aku menelan ludah pahit. Dia benar. 

“Bapak?” Akhirnya aku bertanya parau. Tak sanggup mengeluarkan pertanyaan lengkap. 

“Tak ada yang selamat” 

“Tak mungkin!”

“ini disengaja. Cepat! Tak aman bagi kalian di sini. ”

Benar lagi. Jika kami terus bertahan di sini cepat atau lambat mereka akan menemukan kami. 

Daffa mendahuluiku menerobos semak belakang  rumah. Aku menatapi sang sekretaris desa. Sedikit takjub, heran dan rasa terimakasih kucoba sampaikan lewat pandangan mataku.  Kami memang sekali beremu, tapi dia satu satunya orang membuat bapak tak merasa terancam dulu. 

                Pemuda iu masih mmenatapku tenang. Mengangguk ramah membalas tatapanku. Cepat kuputar tubuh menyusul Daffa menerobos semak belukar. 

                Daffa mengusulkan agar kami ke kota saja. Jakarta bisa menyembunyikan kami  dalam lindungan keramian manusia tak punya peduli. Tak kan ada yang akan memandang kami disana. Melupakan kejadian malam pembantaian, wajah wajah pembantai dan jebakan yang menyudutkan kami, Daffa mengatur renca agar kami bisa ke kota secepatnya. Meleburkan diri dan menyusun rencana membongkar misteri tak bepetunjuk ini secepatnya. 

                “aku ingin ke rumah..” putusku lirih.

                Daffa terdiam. Menimbang semua kemingkinan.

                “... aku ingin melihat tempat tinggal kita sebelum pergi” ragu. Semua yang kami dengar dari wanita tadi mengantarkan kami pada kesimpulan menykitkan. Aku tak mau memikirkannya. Kami masih berharap rumah kayu besar itu masih berdiri, menyambut kami dalam lindungannya meski dingin menggantikan kehangatan yang dulu jadi aromanya. Otakku mampu menerima kehilangan seluruh anggota keluargaku, karna memang sebagian besarnya terjadi di depan mataku. Tapi rumah kami? Tidak. 

                “sebaiknya kita lanjutkan perjalanan kita ke kota. Mobil sayuran akan berangkat jam 5 sore nanti, berati satu jam dari sekarang.” Aku tahu Daffa menghindar. Menghindari kanyataan yang akan menambah dendam dan luka. 

             “kita harus melihat kondisi rumah Daf. Lagi pula kita butuh uang untuk ke kota”  jika rumah kita msih ada. Sambungku dalam hati. Tak ingin menyuarakannya. 

              “baiklah...” Daffa menerawang. Seakan bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. 

              Bagaimanapun, dari seluruh saudaraku, Daffa lah yang paling dekat denganku. Jauh sebelum bapak membawa kami, kami telah terikat dalam hubungan saudara.  Aku tahu sifatnya. Semua emosi dari pancaran mata dan reaksi wajahnya. Sekarang.. dia tengah kehilangan arah. Sama sepertiku. Tapi bagaimanapun kami harus memastikan. Harus. 

                Kami berjalan mengendap ngendap menuju hutan. Jalan memutar untuk dapat sampai ke rumah tanpa harus memasuki desa. Menurut perhitungan daffa, jenazah keluarga kami belumlah di kebumikan. Kemungkinan dibawa oleh pihak berwajib ke rumah sakit untuk di otopsi, layaknya korban pemunuhan lainnya. Awalnya, aku masih berharap mereka selamat. Minimal salah satu dari dari mereka. Tapi keterangan singkat sekretaris desa itu telah memupuskan semuanya..

                “...Membakar rumah dan seluruh penghuni adalah pembunuhan paling sadis..”

                Terngiang kembali ucapan pemimpin polisi tadi. Membakar rumah? 

                Daffa merangsek maju membela hutan. Aku mengikuti dengan kepala teracak. Berputar dalam berbagai kemungkinan dan perkiraan. Aku yakin daffa juga berkutat dengan pemikiran yang sama.

                Bebrapa meter dari lokasi rumah, kami sama sama mencium aroma hangus kayu terbakar. Pikiran buruk mulai menyata dalam kepalaku. aku memandang jauh. Dimana atap rumah yang biasanya selalu terlihat dari sini? asap tipis kelam menguar dari tempat yang seharusnya berdiri sebuah rumah megah. Semakin dekat, akhirnya kami terpancang beku ditempat. Daffa mengepalkan tangannya marah. Aku mematung. Tergugu antara percaya dan tidak. Di kejauahan, diantara celah pohon kami melihat perkiraan buruk yang beberapa jam lalu kusangkal kebenarannya. Di sana, puing puing kayu hitam teronggok menyedihkan. Bertumpuk layaknya reruntuhan sampah. Asap tipis masih terlihat dari tumpukan puing itu. Bebrapa pohon yang terdapat di sekitar rumah juga terlihat mnguning. Terpanggang saat api besar melalap rumah kebanggaan kami. Halaman berumput juga tak lagi berwana hijau, atau menggenang merah seperti tadi malam, tapi hitam. Menghapus jejakkah?

                Aku memicingkan mata. Pohon jambu yang melindungi kami tadi tinggal rangka tak berdaun. Tapi tak jauh dari sana, aku masih bisa melihat gelimpangan mayat saudaraku. Gema takbir melawan serapah. Masih terdengar teriakan dan erangan kematian mereka... aku menarik nafas berat. Bayangan itu masih nyata diputar otomatis dalam kepalaku.

 Menyedihkan. Lihatlah.. rumah hangat itu bahkan tak meninggalkan aroma sedikit pun. Musnah dalam hitam begitu saja. Disan, tempat seharusnya surga kami berdiri, menjelma jadi pandangan asing. Lahan kosong yang hanya dihiasi puing puing menghitam. Dan puing puing itu, tengah dikais kais tak berperasaan oleh orang orang berseragam polisi. Garis kuning polisi dipasang mengelilingi lahan kosong itu.

                Aku menoleh saat saat ku tangkap geraman marah daffa. Andangannya lurus ke depan dengan tangan masing terkepal kuat. Aku mengikuti arah pandananya. Dan di sana tampaklah beberapa wajah yang kami kenali sebagai penyerang kami tengah berdiri santai mengawasi tempat itu. Aku menegang. Antara marah dan dendam. 

                “sudahku bilang.. harusnya kita tak pernah kemari” daffa membalikan tubuh dan berjalan tergesa menjauhi tempat asing itu. 

                Aku menyusul. Tidak. Seharusnya kita memang harus kesini.

                “ingat pemandangan ini selalu Daffa Abdullah. Jangan lupakan. Aku bersumpah membalas mereka semua” bahkan aku sendiri merinding mendengar suaraku sendiri. 

                Saling bungkam. Kami bergerak cepat menuju pasar. Tempat mobil sayur terparkir untuk mengisi muatannya. Dalam diam, kami saling membisikan sumpah serapah dan kutukan. Sumpah untuk mereka yang menyihir kami bagai tikus got. Terbuang, diburu dan hilang arah. 

                Setelah menyaru sebagi kuli angkut barang dengan menundukkan wajah, kami berhasil masuk dalam bak mobil. Menyemunyikan diri diantara karung hasil ladang dan beragai macam buah buahan yang dibungkus rapi dalam keranjang rotan.  Aku mendekam diujung bak, sedang daffa menyelimuti diri dengan beberapa dedaunan yang dipakai untuk melindungi buah buahan. Beberapa orang kuli angkut, melemparkan sayuran begitu saja kedalam mobil, tak melihat kami sedikitpun. Suara suara perbincangan ditengah pasar yang sudah mulai melengang masih hangat membahas topik yang sama. Pembunuhan sekeluarga penduduk desa di ujung desa. Berbagai dugaan, bermacam kecaman, dan kutukan, semua bermuara ke kami. Saat seperti ini, aku menyesali kebijakan bapak yang terlalu membatasi kami bersosialisasi. Sekarang, mereka justru mengoceh tanpa sedikitpun tahu siapa kami sebenarnya. Dengan ringannya mereka mendeskripsikan kami layaknya psikopat pembunuh. 

                Aku masih tenggelam dalam obrolan simpang siur penghuni pasar, ketika mobil bergetar menyala dengan suara terbatuk batuk. Menggelengkan kepala, ku enyahkan pikiran pikiran yang mulai bersiliweran tak fokus. Karung bekas yang jadi alas dudukku terasa tak nyaman, ditambah punggungku yang memegal mencium dinding besi bak mobil.  Mobil bergerak perlahan. Bergoyang goyang saat memasuki jalanan desa yang tak rata. Aku masih belum berani mengeluarkan kepalaku mengintip sekitar, yakin sekarang masihlah di tengah desa. 

                Sesaat setelah mobil berjalan mulus dengan kecepatan stabil, sesuatu terasa menimpuk kepalaku keras. Aku tergeragap menangkap benda yang jatuh dari kepalaku. pisang! Menegakkan kepala, kutemukan di ujung sana, daffa duduk bersilonjor diatas tumpukan karung tengah memamah pisang santai. Disampingnya, keranjang rotan terbuka menampakkan sisir pisang masak terekpos begitu saja. 

                “Makanlah. Kita butuh energi”

                Aku beringsut menyamankan diri. Kusandarkan kepalaku pada karung yang entah berisi apa, disampingku. Tanpa minat mengikuti daffa mengisi perutku yang anehnya sama sekali tak terasa lapar. Padahal nyaris seharian kami tak memakan apapun. 

                Daffa kembali melemparkan lebih banyak pisang ke dekatku. Tak banyak komentar saat hanya beberapa saja yang ku pedulikan. Dia tahu, kami tak perlu bicara apa apa. Tak perlu mengatakan apapun yang kami pikirkan. Hati dan fikiran kami sama sama kusut, belum sepenuhnya mampu mencerna. Membagi cerita, sama saja dengan membagi kepanikan. 

                Saat ini, lima jam perjalanan ke jakarta adalah waktu kami untuk beristirahat sejenak. Bukan tubuh, tapi hati dan fikiran. Mereka butuh waktu untuk menerima ini semua. Membangun ulang rasa, berencana, dan bertindak kembali.

                Siang telah berganti gelap saat kurasakan daffa mengguncang tubuhku. Aku mengerjap, mengumpulkan kesadaran. Kami masih dalam bak mobil yang penuh dengan hasil ladang warga desa. Berjalan tenang membelah jala raya yang terasa lebih berisik dari sebelumnya. Dan sekarang  di sekitar kami bukan lagi hijau menanangkan alam desa. Tapi kerlap kerlip lampu menandingi matahari. Memberikan pandangan bebas pada gedung gedung megah disepanjang jalan. Aku mengangkat kepalaku, melihat lebih leluasa. Jakarta. Tak berubah. Masih seramai, sekaligus sesepi dulu.

                “kita kembali...” daffa tersenyum pahit. Membiarkan semilir angin menerpa wajahnya. 

                Aku tak perlu mengangguk. Karna dia paham, kami memiliki senyum pahit yang sama.

                Jakarta

                Kami berhasil turun saat mobil pengangkut hasil ladang ini berhenti mengisi besin. Daffa membawa beberapa buah buahan untuk bekal kami malam ini. Jam sebelas malam, dan jakarta masih berdenyut hidup menyambut kami dengan cara biasa. Tak ada yang peduli saat kami berjalan menyusuri jalan dan berhenti di sebuah taman kota. 

                “sekarang kita kemana?” aku memulai setelah kami duduk disalah satu banku taman.

                Daffa mnghembuskan nafas berat. “kita harus mencari tempat tinggal terlebih dahulu. Baru kita bisa merencanakan langkah.” 

Aku mengangguk setuju. Tak perlu mencari kenalan untuk bermalam. Kami sama sama tak punya. Meski kami pernah hidup di sini dulu.

                “sebaiknya kita buka dulu tas itu.bapak bilang kita harus menemui seseorang yang ada disana.” Daffa melirik tasa di pinggangku. 

                Refleks aku meraba tas pemberian bapak. Tas hitam yang telah kering sendiri di pinggangku. Aku bahkan lupa sepenuhnya dengan tas ini.

                Penerangan lampu taman lumayan membantu saat daffa membuka tas pemberian bapak. Kosong. Aku mengernyit heran melihat daffa merogoh tas tak sabar. Tas itu memjungkir balikkan tas tas sabar. Menumpahkan isi yang mungkin terdapat didalam tas ke bangku taman. Satu satunya dua buah barang jatuh dihadapan kami. Aku terbelalak keget. Ini... ini jauh dari tugaanku. Barang yang menjadi tumbal dari seluruh keluargaku, yang membuat kami layaknya binatang buruan, hanya.. ini?

                Sebuah kunci kecil dan cicin emas tergeletak begitu saja di depan kami.

                Daffa memandang syok, lalu kembali mengguncang tas itu. Seakan memaksanya memuntahkan apapun yang masih ditelannya. Nihil. Tak sabar kurengkutkan tas ditangan Daffa. Mengobrak abrik tas kecil itu. Kosong. Benar benar kosong. Tak ada apapun disana. Tak juga ada tulisan petunjuk apapun. Tas ini murni hanya gumpalan kain tak berarti apapun. 

                “hanya ini? Jangan bercanda!” daffa berteriak tak suka, “kau menjatuhkannya ris?

                “tidak! Tas itu bahkan tak sekalipun terlepas dari pinggangku”

                Daffa mengacak rambut frustasi. Memang apa yang diharapkan? 

                Akhirnya kuulurkan tanganku meraih kunci wasiat dihadapanku. Sepertinya kunci sebuah lemari. Kecil dengan ganggang berwarna hitam. Digantungannya terdapat tlisan yang tak bisa dibaca dengan jelas. Gantungan kunci itu sendiri terbuat dari plastik. Yang dapat kutangkap dari tulisan itu hanyalah nomor 107. 107? Petunjuk macam apa pula itu!

                “ini cincin emas.” Daffa memperhatikan cicncin di tangannya teliti. “tak ada tulisan apapun. Ini hanya cicncin emas biasa” 

                Kuterima cincin yang diulurkan Daffa, dan ganti menyodorkan kunci yang periksa tadi. Benar. Ini hanyalah cincin emas biasa. Polos tanpa motif apapun. 

                “107?”

                “ku pikir mungkin sebuah lemari..

                “bukan...” aku mentap daffa, menunggu kalimat gantunnya, “... ini kunci sebuah loker. Loker 107”

                “loker? menurutmu apa isinya?”

                “entahlah.. mungkin barang yang dicari hyena”

                 Aku terdiam. Bisa saja. Mungkin itu alasan kenapa kunci ini begitu di lindungi bapak.

                “tapi, dimana loker itu? Tulisan lain disana tak bisa kubaca”

                Daffa tak menanggapi. Dia berusaha membaca tulisan mengabur sebelum angka 107 di mainan kunci. Lama kemudian dia mengankat bahu. Menyerah. 

                “bapak bilang kita harus menemui orang yang ada di tas ini. Maksudnya apa?”

                Daffa menggeleng, “aku tak yakin, tapi sepertinya kunci itulah yang menjadi petunjuk tungal kita saat ini. Sebelum kita bisa memecahkan misteri kunci itu, kita belum bisa melakukan apa apa.” Daffa mendesah berat. Menyilangkan tangannya, tak terpengaruh oleh kendaraan dan orang orang yang masih lalu lalang di hadapan kami. “ ku pikir, tas itu berisi barang yang dicari hyena. Dengan begitu kita bisa melaporkannya kepolisi. Barang apapun itu, pasti barang yang berbahaya. Bapak sampai rela mati agar benda itu tak jatuh ketangan hyena.”

                Ucapan Daffa membawa ingatanku kembali pada bapak. Pada wajah tak berdaya dan tekad yang dibulatkan. Betapa bapak bersikeras untuk tidak memberikan barang itu. Tapi apa? Yah.. seperti analisa Daffa, aku juga berfikir demikian. Barang yang berbahaya. 

                Daffa mengambil cincin emas ditanganku. Berfikir seolah hendak memutuskan nasip terbaik untuk si cincin.
                “Ini kita jual besok"

                “eh?”

*****
Beberapa hari setelah kami menginjakkan kaki di jakarta, kami berhasil menyewa sebuah kontarakan kecil dipinggiran Jakarta. Cincin emas yang kami temukan dalam tas pemberian bapak dapat terjual dengan harga yang lumayan. Cukup untuk membayar kontrakan dua bulan dan membeli perlengkapan kehidupan kami untuk beberapa waktu. 

Petunjuk kunci loker masih belum bisa kami pecahkan. Entah diman keberadaan loker yang dimaksud. Menrut Daffa kemungkinan, informasi orang yang dimaksud bapak juga berada diloker itu. Jadi tak ada apapun yang bisa kami lakukan selain bertahan hidup. Mencari pekerjaan dan membaur semabari mengumpulkan informasi apapun mengenai hyena dan shark. Cuma nama nama itu yang kami punya.

Beberapa bulan terlewat begitu saja. Aku masih bertahan menjadi buruh kasar di pasar dekat rumah, sedang Daffa disapa beruntungan baik.  Seorang teman mengajaknya bekerja sebagai pelayan disebuah bar. Cukup menjanjikan. Aku tak bisa membuang ekspresi tak suka saat dia berniat menerima tawaran itu. Bukan apa apa, tapi hyena sudah bisa kami pastikan merupakan komplotan yang tidak kecil. Wajah kami sudah pasti telah mereka ketahui. Bekerja di bar sama saja dengan memperlihatkan jati diri secara suka rela. Ketahuan, matilah kami.

“kita butuh uang. Tanpa ijazah, kita tak bisa mendapatkan pekerjaan apa apa.” 

Penjelasannya membuatku urung untuk berkata kata. Memang kendala utama kami dalam mendapatkan pekerjan yang layak adalah ketidakpunyaan ijazah. Meski kami telah ikut paket c dulu, tapi bapak belum menjemput ijazah itu. Entah lulus atau tidak, kami tak tahu. 

“--- dan lagi, mencari kejahatan haruslah di tempat rawan kejahatan juga,bukan?” sambungnya lagi menginjak keberanianku.

Aku hanya meliriknya dalam. Ada hal yang janggal dalam suaranya. Rambut hitam lurus yang mulai gondrong menutupi matanya saat dia menunduk. Menyembunyikan ekspresi wajahnya. Dendam. Aroma dendam menguar kuat dari tubuh jangkungnya. Bohong jika aku tidak, tapi kontrol emosinyan berkurang. Aku bahkan bisa merasakan ambisi membunuhnya. 

“terserah kau saja. Tapi kuingatkan. Kita bukan memburu, tapi pihak yang diburu. Kita tak punya apa apa, bahkan sebuah kepercayaan pun. Hanya kunci usang  -yang membuat kepalaku pening- yang menjadi pegangan kita. Hati hatilah” 

Memutar tubuh, aku beranjak menuju pintu. Daffa masih terpaku duduk bertumpukan meja. Kopi pahit kesukaanya masih tersisa stengah gelas, saat waktu membuatnya dingin. Enggan untuk disentuh kembali. Menjelang isya, dan hanya inilah waktu kami bisa bicara lebih serius. Keserabutan kerja membuat waktu bicara terpangkas seketika. Harusnya, kami bisa bicara banyak mengenai pekerjaannya, atau mengenai rencananya, namun gerak gerik tubuh Daffa mengisyratkan keengganan. Aku tak mau mengusik. Terkadang, keterdiamanku seringkali disalah artikan dengan lupa. Yang benar saja. Siapa yang dapat tidur nyanyak setelah melihat pembantaian keluarga di depan matamu sendiri? Nyaris setiap malam aku dihantui mempi buruk yang sama. Darah. Teriakan. Dan pembantaian. Dari raut wajah lelah daffa pagi harinya, aku tahu dia juga mengalami hal yang sama. 

Sekali lagi, kutarik nafas berat. Aku butuh waktu untuk berfikir. Gontai aku keluar rumah. Tanpa bicara sepatah katapun. Toh daffa tahu kepergianku. Dia bahkan tak perlu bersusah susah untuk sekedar bertanya  kemana. Biarlah. Kami sudah sama sama tahu. Dengan kebuntuan petunjuk, aku mulai tak tenang mebahas balas dendam. Merasa tak berguna sama sekali. Sedang daffa justru terlihat tak sabar dan ambisius. Membicarakan masalah ini, sama saja membicarakan jalan buntu. Dan daffa akan bersikap memuakkan dengan memaksa otakku berfikir, sedang dia sendiri terpaku dalam satu jalan tak berujung. Pada akhirnya, aku akan memangku tangan malas, dan daffa menggebrak meja seolah perbuatan itu adalah dosa besar. Matanya akn memicing tak suka dalam berbagia artian tersampaika disana. Tak punya perasaan! Bodoh! Pengecut! Aku harus menahan diriku untuk membalasnya dengan teriakan. Memilih pergi meningalkan daffa dan emosinya. Dari caranya menarik nafas melihat kepergianku, aku tahu dia pun menahan diri untuk tidak menendang dan mengahajarku. Setelahnya, kepergian sebelum daffa menggebrak meja sudah menjadi hal yang biasa. Aku tak perlu menjelaskan, dan dia tak perlu bertanya. Dua sampai lima jam berikutnya, aku akn kembali pulang. Bersikap seola tak terjadi apapun.

Biasanya, jika aura daffa sudah mengusirku seperti ini, rumah makan padang tak berapa jauh dari pasar. Teh telur dan beberapa potong lauk untuk makan malam pesananku setiap kali aku berkunjung kesini. Bukan apa apa,tapi teh telur yang dijual disini terasa menenangkan. Menikmati minuman berbusa itu sambil menunggu karyawan mengambilkan lauk unuk makan malamku membuatku sejenak melupakan darah, teriakan, dedam, bahkan daffa. 

te talua ciek, Da” aku hanya mampir untuk mengcapkan itu di depan seorang penjaga rumah makan yang menatapku dengan pandangan menunggu pesanan.

Kulanjutkan langkahku ke pojok rumah makan. Tempat bisanya aku duduk. Jam segini,pelanggan sedang banyak banyaknya. Bukan berasal dari golongan atas,hanya golongan masyarakat menengah ke bawah saja. Jadi penampilan acak acakan ala pemuda patah hati tak terlalu memuatku risih. Pesanan yang Cuma satu itu pun tak membuat penjaga rumah makan kaget, biasa. 

Mendudukkan diri di bangku panjang disisi dinding, kubenamkan wajahku dalam gelungan tangan dimeja panjang hadapanku. Tak peduli pandangan heran beberapa orang yang juga duduk dibangku dan meja yang sama denganku. Beberapa mengeser diri menajauh, membawa serta nasi yang mereka makan. Takut menumpahi kepala dan pakaianku. 

“oi oi. jangan tidur di sini. ini tempat makan bukan hotel” sebuah suara ramah menyapa gendang telingaku diikuti bunyi gelas yang diletakkan terlatih di sampingku. 

“tumpah, tak bakal ada ganti rugi” lanjutnya denga nada mengancam.

Tak perlu melihat rupa penegur, aku tahu siapa dia. 

“bukuskan juga lauk seperti biasa, Ab.” Pintaku tanpa mengangkat wajah. 

Decakan enggan kudenar menyusul langkah menjauh tak peduli padaku. Aroma teh telur mengusikku dari pikiran yang sempat melayang dari kepalaku sendiri. Kuanagkat kepalaku. sejenak memindai seluruh rumah makan yang tidak terlalu besar ini. Beberapa keluaraga besar terlihat makan dengan selingan tawa canda bahagia di tengah rumah makan. Sebagian mereka bahkan tak terlihat punya materi berlimpah, tapi justru kebersamaan sederhna itu yang membuat kebahgian mereka terasa ringan. Aku tersenyum. Aku juga pernah mmiliki yang begitu tiga bulan lalu. Sebelum.. ah, sudahlah.

Kuteguk minuman ku pelan. Sejenak liquid manis itu merampas pikiranku. Selalu begini. Dan hanya dirumah makan ini kutemui. Selain tentu saja dengan raga yang dikit lebih murah dari rumah makan yang biasa. 

Cukup lama aku menikmati teh telur khas suku seberang itu dirumah makan sedrhana ini. Malas aku beranjak ke kasir. Membayar sekaligus mengambil lauk yang kupesan tadi. Uang yang kudapat dari hasil mengankut barang tadi siang menysut begitu saja. Ya.. istilah dapat pagi habis malam bukan sekedar istilah saja bagiku sekarang, fakta yang mendekati bencana malah. 

Kulihat abra, pelayan yang tadi mengntarkan minumanku tengah membawa beberapa piring sekaligus dengan dua lengannya. Keahlian yang biasa ditemui di rumah makan padang. Dia adalah tetangga kami. Orang pertama yang peduli saat kami kebingungan mencari tempat tinggal, menawarkan bantuan, pemuda ceria yang mengiangatkanku pada sosok Sten. Mereka memiliki cara yang sama dalam menghadapi dunia. 

“hidup cuma sekali bung, lakukan saja apa yang bisa kau bisa, raih yang mampu kau raih.” Kalimat pertama abra saat kami berkenalan di kekacauan amukan hujan ditengah pasar. Tak jauh dari tempatnya bekerja.

Aku bisa melihat tatapan daffa yang awalnya memercikan kesal tak terima dikasihani, merubah melembut. Seperti halnya aku, dia juga bisa merasakan semangat Sten benafas dalam tubuh pemuda hitam pendek di depan kami. Tanpa banyak bicara, daffa membuka juga bungkusan nasi padang yang letakkan abra di depannya sedari tadi. Melindungi diri dari tempias hujan, kami makan di teras kedai yang telah ditutup. Menemani dengan celotehnya. 

Abra orang pertama yang menjadi teman setelah Jakarta mulai menyapa kami dengan masuia manusia tak punya rasa hasil produksinya. Pemuda yang terlihat lebih tua dari umurnya yan sebenarnya ini dengan senang hati membatu kami. Meski seumuran dan wajah yang terlihat ketuaan, abra tetap saja dominan dengan unsur kekanak kanakan. Saat kutanyakan alasanya bersikap berbedadari manusia jakarta pada umumnya. Dia hanya menyeringai bodoh.

“aku juga seperti kalian setibanya di sini. Tak ada yang membantuku seperti aku membantu kalian. Rasanya seperti jatuh, dan kau tak tahu akan kemana jatuhmu. Tak ada keputusan yang lebih baik, selain menyiapkan diri untuk kemungkinan yang terburuk. Untung aku punya ijazah.” Dia nyengir seolah yang diceritakan hanyalah sebuah kebodohan kecil saat dia meninggalkan gembok di dalam rumah, sedangkan gembok telah terkunci dari luar. 

Detik itu juga aku menemukan fakta lain mengenainya. Kebodohannya setara dengan kebodohan Yol. Ekspresi yang tak tepat untuk suasana yang bertolak belakang.

Semenjak kami menjadi tetangga, Abra  resmi menjadi  bagian dari kehidupan kami. Lebih tepatnya akrab denganku, namunmasih berjarakdengan daffa. Semenjak menapaki jakarta, Daffar cendrung jadi anti sosial. Namun meski aku dan abra dekat, dia hanya mengenal kami sebagai dua perantau nyasar saja. Tak lebih.
“oi.. ris, tunggu!” 

Aku menoleh malas. Katong kresek berisi lauk yag tadi kubeli turut berhenti berayun tak rela karna langkahku yang terhenti. Abra nyengir mepercepat langkah kearahku. 

“semakin lama aku semakin yakin kalau nenek moyangmu dulu suku negro.” Sapanya tak sadar diri mengusikku. 

Aku melanjutkan langkah. Enggan menjawab candaan tak lucunya. Inginnya kulemparkan pandangan sinis paanya. Sehiam hitamnya aku, dia ebih hitam 2 level di atasku. Abra mengiringi langkahku menunggu komentar blasanku, lelah aku melongos. Terbiasa menghadapi kecerian over dosis Sten, membuatku lebih bijaksana menghadapi abra. Jika kau merasa lelah tak perlu membalas celaannya. 

“hei hei.. kenapa wajah kusutmu itu.” Abra keras kepala dengan keputusannhya menggangguku. 

“lelah..” wajarkan. Aku bahkan belum sempat istrahat sepulang kerja rodi tadi. Pertengkaran dengan daffa, dan sekarang berjalan dengan mulut berisik abra. 

Abra membalas dengan tawa.

“o ya, kau mau bekerja di tempatku?”

“eh...” bekerja? Tentu saja!

“salah satu teman kerjaku pulang kampung. Takkan balik lagi sepertinya. Bos memintaku mencari pengganti.”

“ya.. aku mau” semnagatku melonjak seketika, “tapi.. aku tak punya ijazah..” dan meredup detik selanjutnya.

“tak apa. Aku yang jamin pada bosku nanti. Kita kan tetangga. Kau juga orang jujur.”

“bisa seperi itu?”

“bisa. Serahkan padaku” abra nyengir lagi. 

“oke!” 

Yup. Setidaknya sekarang aku bisa bekerja tetap sebagai pelayan. Langkah awal untuk sedikit maju dari titik hidupku sekarang. Daffa juga akan bekerja. Kami bisa lebih fokus mencari informasi mengenai hyena.

“hm.. ris, dulu kau pernah bertanya tentang hiu kan?” abra memecah keheningan.

Aku mengerjab bingung.

Apa katanya? Hiu?

“er.. hiu dan srigala yang kau tanyakn dulu itu lho” abra menyadari kebingunganku.

Aku masih bingung. Otakku masih menolak memberikan keterangan apapun atas dua kata itu. 

“hiu srigala apa nih?”  sahutku tak membantu.

“oh ya, srak . srak.”

Mataku membulat. Otakku lansung menyambar mengurai makna kata itu bagai kembang api. Teriakan, darah pembantaian dan hujan membekukan. Apa maksudnya, shark? Kurenggutkan tangannya kaget.

“shark?”bahkan aku tak mampu mengajukan petanyaan lengkap. Tanganku tanpa sadar terkepal. “hyena?” 

Abra menatapku kaget. Matanya melebar melihat ekspresi yang entah seperti apa yang ku keluarkan sekarang. Memang dulu aku pernah mengajukan pertanyaan shark dan hyena padanya, dia mengaku tak kenal nama itu. Jika sekarang dia tau, artinya baru sekaranglah dia mendapat informasi itu. 

“ris, kau kenapa?”

“apa..” yang kau tahu? Kulanjutkan dalam hati. Cengkramanku menguat, dan kurasakan sedikit getar menjalar dari sana.

“hei, tanganku sakit.” Abra mengibaskan cengkramanku dari lengannya. 

Aku menggeragap. Tenang. Tenang deris. Tenang. Kau belum tahu apa apa bukan? Tenang.

“kau mau mematahkan tanganku? Eis.. makasi deh”  

“ab, kau tahu sesuatu tentang shark? Hyena?” kejarku mempertahankan ketenangan. 

Abra memandangku menyipit. Sedikit raa was was terpancar di sana.

“sebenarnya kau berasal dari mana?” lirihnya membuatku tak enak. 

“abra! Aku bertanya apa yang kau tahu mengenai shark?” bentakku tak sabar.

“siapa kalian sebenarnya? Kalian terlihat aneh” cerca abra keras kepala.

Eh? Apa apaan tatapan itu? Dan kenapa uaranya terlihat berbeda. Ini salah. Ada yang salah disini. Gerak geriknya mengisyaratkan kecurigaan.

“kau kenapa sih?” 

“apa hubungan kalian dengan shark?”

Hei... belum lewat dua puluh menit dari saat dia bilang percaya padaku dan aku orang baik sehingga bisa bekerja ditempatnya. Bahkan dia bersedia menjaminnya. Lalu kenapa begini? Tunggu, dia bersikap seperti ini hanya setelah dia menyebut shark kan? Kalu begitu ada sesuatu di shark ini yang membuatnya curiga padaku.

“apa yang kau tahu?”tuntutku dingin. Kepalang tanggung. Toh dia sudah melihat ku sebagai separuh penjahat.  

“aku ingin memastikan hubungan kau dan orang ini dulu” suara abra terdengar tegas. 

Gila. Apa ini? Haruskah kubilang jika aku anak si shark ini? Tidak. Bukan itu yang didengar oleh abra. Wahai otak, bekerjalah... 

“hyena membunuh keluaragku.” Memberi jeda, kulihat raut terkejut abra. “mereka membunuhi semuanya. Hingga yang tersisa hanya kami berdua. Dan berita terbaiknya, kami dipojokkan sebagai dalang dari kejadain itu semua. Tak ada bukti, tanpa saksi kami melarikan diri. Dan terdampar disini, menjadi tetanggamu.”

Abra menganga. Jelas jelas shok.

“jadi kalian.."

“ya, kami buron. Satu kesempatan yang tersisa untuk kami, hanyalah membuka orang dibalik ini semua. Mencari tahu siapa hyena dan shark yang menjadi komplotannya.” 

Aku tak sepenuhnya berbohong. 

Abra mengatupkan mulutnya. Sedikit menyesal. 

“maaf.. aku tak tahu.. dan kenapa kalian tak bilang dari awal? Aku akan membantu kalian!”

Aku tersnyum kecut. “tak apa ab. Dan siapa yang mau mengakui jika dirinya seorang buronan pada orang yang beru dikenal” 

Abra mengangguk paham. Menghela nafas berat dia mengambil ancang ancang untuk memulai cerita. Aku menunggu. 

“seorang teman bercerita padaku. Dia terjebak dalam sebuah organisasi hitam” aku menahan nafas. Ini dia.  Awal yang jelas. Organisasi hitam.

Matui matian kutahan semua tanya yang nyaris seperti moncong senjata menumpahkan peluru. Ku biarkan abra melanjutkn ceritanya.

“shark.. seoang bernama shark adalah atasannya dulu. Orang yang menjadi pengusa para pengedar di seluruh pulau jawa ini”


Aku ingin tuli. Sungguh!






To Be Continued




Next episode

“Tiara..” ucapnya mengulurkan tangan denan senyum yang membuatku lupa bernafas.
......
“kau suka adikku?”
......
“kau kenapa Daf? Apa yang kau sembunyikan dariku hah?”
....
“cukup sampai di sisni keterlibatanmu, ris. Ini urusanku”
...
“tiara harap, bang Daffa, suka”
...
“kau tak bisa melihatku ya, tiara? Bayang daffa.. menhitamkan kehadiranku rupanya”

1 komentar:

  1. apa-apaan! setelah Deris, kini ada Abra? huh!

    aku baru bisa baca ini lagi, btw.. dan lumayan penasaran.
    hey! cepat selesaikan lanjutannya...!

    BalasHapus