“aku
anak pelacur di gang Bojol depan stasiun. Tapi yang bisa kuingat hanya
tendangan dan bahasa kasar umpatan wanita saja. Aku tak ingat wajahnya. Aku
tinggal dengan salah seorang nenek penjual ketoprak keliling. Nggak lama, nenek
iu meninggal. Aku jadi pengemis. Kadang, aku iri liat anak anak lain pagi pagi
peke baju merah putih.” Yol menyudahi kisahnya. Kisah yang sudah beberapa kali
kudengar semenjak aku bergabung dengan kelompok anak jalanan ini.
Aku
menyelimuti Ica disebelahku dengan kain buruk yang entah apa dulu. Mungkin
bekas gorden. Ica sudah tertidur pulas, tak terusik cerita Yol. Dia satu
satunya perempuan diantara kami. Si bungsu yang harus kami jaga hati hati. Kami
masih berusia tak lebih dari 8 tahun, sedang ica baru 6 tahun. Meski terhitung
masih belia, jalanan telah memberikan kami pengajaran melebihi umur kami. Jadi
kami paham kenapa ica harus di jaga, paling dijaga diantara kami.
Daffa
masih melamun, entah melamunkan apa, duduk berpangku lutut disebelah ica. Matanya
menarawang keluar rumah kardus kami.
Sten
yang duduk disebelah Yol, menepuk nepuk pundaknya.
“aku
juga iri. Tapi yang penting kita bisa makan dan tidur bersama sama. Menjaga
ica, sampai kita besar dan jadi preman nantinya.” Sten menyuarakan pikiran
kanak kananknya. Setidaknya dia cukup pintar dari bocah kebanyakan, dia tak
bercita cita jadi dokter seperti ica, dia lebih memilih menjadi preman
ditakuti. Karna memang segitulah yang mampu ditolerir oleh pikiran kecilnya.
Sebenarnya
nasip sten dan yol tidaklah jauh beda. Sten tahu siapa ibunya, tapi tidak
bapaknya. Dari kecil ibunya menyewakan sten sebagai poperti pengemis. Bergantian
mereka membawa sten yang recoki obat tidur. Tak ada kasih sayang, hanya boneka
bernyawa yang mereka bawa bawa untuk mendapatkan belas kasihan orang orang. Itu
berlanjut sampai sten beusia 6 tahun. Dia mulai menolak dibawa bawa, sampai
akhirnya dia diusir begitu saja. Luntang lantung dijalanan, menemukan daffa dan
mumutuskan berteman. Lalu menemukan yol tak lama setelahnya.
Kami
masih bocah, tapi cukup tau dengan kerasnya Jakarta.
Rian
merebahkan badan disampingku. Dia memang paling pendiam diantara kami. Tapi
pernah sekali dia bercerita mengenai hidupnya. Dahulu dia tinggal bersama
kakaknya. Salah satu preman paling ditakuti di terminal. Suka memalak,mencuri
bahkan menjual obat obatan terlarang. Namun semua aksinya harus berhenti saat
polisi berhasil menciduknya. Perlawanan yang dibuat membuat polisi kewalahn,
hingga satu letusan mengakhiri semuanya. Semuanya tepat berlangsung di depan
mata Rian sendiri. Mayat itu dibawa, dan tak pernah lagi kembali. Menyisakan
rian yang tak punya apa apa. Berjalan tanpa tujuan. Yol, sten dan daffa
menemukannya saat dipalak oleh beberapa anak jalanan lain. Miris.
Selalu
begini setiap malam menjemput lelap di rumah kardus ala kadar yang kami buat
besama sama ini. Daffa tak kan pernah membuka cerita apa apun. Sesekali jika
perlu dia akan ikut memberikan tanggapan pada cerita seten, yol maupun rian.
Pernah yol memberanikan diri bertanya, daffa hanya menangapi kasar. Mengatakan
jika masa lalunya bukanlah urusan kami. Sebagai orang yang pertama berada
dirumah kardus ini, dia punya hak untuk tak mau bicara. Aku bersyukur dengan
sikapnya yang seperti itu, karna saat Yol juga menanyakan asal usulku dan aku
menjawab dengan diam, dia takkan berani memaksaku. Meskipun, aku hanyalah
anggota baru setelah ica dalam persaudaraan ini.
“tapi
aku senang kita bisa bersam sama.” Yol menambahkan ceritanya.
Aku
menangapi dengan senyum. Tak terlalu bersemngat seperti tadi, kantuk mulai
mendatangiku. Mungkin sudah tengah malam, daffa juga sudah membaringkan tubuh
kurusnya, sten dan yol menyusul setelahnya. Meski sudah lewat tengah malam,
tapi kolong jembatan ini masih terdengar ramai. Suara bahak preman dan cekikian
para wanita saling berbagi lelucon di tengah himpitan rumah rumah kardus tak
beraturan.
Aku
memuluk ica yang terlihat kedinginan. Tubuhnya kecilnya memang sengaja kami
tidurkan ditengah, bentuk penjagaan agara tak ada orang luar yang menyakitinya.
Ica sendiri kami temukan baru beberapa bulan yang lalu. Saat itu seorang preman
menjambak rambut gadis kecil ini dan menyeretnya kerumah mami iva. Tempat
pelacuran terbesar di daerah ini. Kami yang saat itu tengah memulung di depan
rumah bordir itu hanya mampu melongo melihat gadis sekecil itu di tarik begitu
kasar. Sebenarnya pemandangan itu tak begitu aneh disini, banyak anak anak jalanan
perempuan yang dijual paksa oleh kerabatnya kesini. Tapi tidak sekecil itu.
“ais,
kau pikir ini tempat pengasuh anak, hah?” terdengar bentakan kasar mami iva.
Takut,
takut aku melongok kepintu, klihat gadis kecil itu duduk tersedu sedu dibawah
kaki mami iva yang sedang duduk dikursi kebesarannya. Beberapa orang yang lalu
lalang tak terlalu peduli pada pemandangan menyedihkan di sana.
“terserah,
mau beli berapapun Mi, gue lagi butuh duit nih.”
“bego
kau ya. Sekecil gini gak ada gunanya di sini, tau? Cepat kau bawa dia dari
sini.”
Wanita
gendut berdandan menor itu justru menyipak si gadis kecil itu tanpa perasaan.
Tanganku tanpa sadar terkepal melihat ratapan gadis itu makin menjadi jadi.
“tolonglh
Mi..” si preman memelas.
Mami
iva tampak terdiam. Memainkan rokoknya di jemari kirinya. Menimbang nimbang.
“ku
dengar kau punya anak sulung.”
Si
preman menegak. Kurasakan ketegangan disana.
“i-iya..”
batanya mengubur sisi premannya sendiri.
“kau
bawa dia kesini, ku kasih 5 juta tunai.”
Mereka
terus berbicara dan melupakan si gadis kecil yang tak lagi menangis. Dia
merangkak perlahan kearah kami. Matanya menatap penuh harap kearahku. Bukan.
Arah sampingku. Aku menoleh. Daffa berdiri disampingku dengan tangan melambai,
memanggil si gadis mendekat. Pancaran matanya membuatku tertegun. Pancaran
kasih tulus seorang kakak.
“oh,
jadi karna kutu ini anak selingkuhan istrimu makanya kau jual dia padaku?” suara
mami iva makin meninggi.
Aku
mulai cemas. Sedikit lagi si gadis akan sampai ditempat kami. Sedang perdebatan
preman dan mami iva tampak akan segera berakhir. Sedikit lagi.
Hap.
Daffa berhasil merengkuhnya, dan tanpa ba bi
bu bergerak cepat meninggalkan rumah bordir terkutuk itu. Kami mengikuti,
menyamarkan daffa dengan berjalan disekiling daffa. Dan begitulah kami
membentuk persaudaraan dengan ica sebagai tambahan terkecil. Bagai sekuntum
bunga ditengah semak belukar.
Awalnya terasa berat saat kami
harus menambah anggota perempuan dalam keluarga kami, terlebih harus ada yang
menjaga ica saat yang lain mencari uang. Namun daffa tak pernah memperihatkan
keberatan sama sekali. Perhatiannya pada ica sdikit berbeda. Sayangnya benar
benar layaknya seorang kakak laki laki sejati. Aku- kami semua lebih tepatnya-
beberapa kali pernah mendengar daffa memnggil ica dengan nama yang berbeda. Saat
tersadar dengan panggilannya, wajahnya akan berubah sendu. Pancaran matanya
menggambarkan kesendirian dan kesepian meski kami semua menglilinginya. Tapi,
kami tak prnah berani bertanya terlalu dalam. Mungkin saja daffa dulunya memang
punya seorang adik perempuankan?
Kehidupankami
sehari hari diisi dengan lari larian untuk bertahan hidup. Berlari dari anak
jalanan yang lebih besar, dari preman yang suka main kasar, dari satpoll pp
hingga berlari rebutan untuk mencari makan. Mengamen dan memulung menjadi
tulang unggung kehidupan kami. Kami selalu bersama sama. Dan secara tak
langsung menjadikan daffa pimpinan kami. Dia cerdas, berani dan paling peka
diantara kami. Kami berlima diperlakukan layaknya adiknya sendiri.
Belum genap setahun ica bersama
kami, di pagi kota jakarta seperti biasanya kami di datangi seorang wanita berperhiasan
mencolok dan lelaki setengah baya saat hendak memulai aktifitas mengamen kami.
Refleks daffa menarik ica yang asik bermain boneka lusuh pemberian sten,
kebalik punggungnya. Yol ikut meloncat sigap melindungi disamping daffa, begitu
pun dengan sten. Aku dan rian memilih berdiri dibelakang ica, memastikan dia
benar benar berada ditengah tengah kami.
Dalam
pindaianku, bapak tua disamping wanita berpakaian mewah itu adalah orang yang
sering kulihat berada disekitar kolong jembatan ini. Salah seorang pemulung
dermawan yang sering memberi kami makanan. Namun gerak gerik si wanita disampingnya
terlihat mencurigakan, wajar daffa langsung bersikap waspada.
“bagaimana
nak, daffa?” si bapak membuka pembicaraan langsung.
Daffa
bergeming, namun genggamannya pada pergelangan ica di sampingnya semakin
menguat. Dari belakang, kulihat sten dan yol saling berpandangan bingung.
Sepertinya bukan aku saja yang tak mengerti apa apa di sini.
“jalanan
tak aman baginya, nak daffa. Dia butuh keluaga rumah. Dia bebeda dengan kalian.
Tak mungkin selamanya dia berada dalam lindungan kalian bukan?”
Kulihat
wanita lembut ini tersenyum meyakinkan.
“kamu
sudah tahu alamat kami kan? Kalian semua bisa mengunjunginya kapan saja.” Tambah
wanita itu lagi. Ica menatap daffa penuh tanya.
“biar
kami bicara dulu.” Balas daffa singkat.
Daffa
berbalik memandang ica yang terlihat cemas, mentapi wajah kami satu persatu.
“ada
apa daf?
“Apa yang ibu itu inginkan?” sten
dan yol bertanya tanpa jeda.
“ibu
itu ingin mengadopsi ica.” Aku nyaris terjengkang mendengar suara tegas daffa.
Serentak
kami memandang wanita berambut sebahu itu dengan pandang menyelidik. Sedang ica
mencicit takut merapatkan tubuhnya padaku.
“tapi,
daf..” yol menyuarakan keberatanya, “kita tak benar benar tahu dia orang baik
atau tidak.” Kami mengaminkan dengan anggukan setuju.
“tenang
saja. Aku tahu siapa ibu itu. Dia pemilik butik di saming rumah sakit depan
sana. Dia ingin mengadopsi ica karna dia tak bisa punya anak.”
“kenapa
harus ica?”
Daffa
terdiam mendengar protesku.
“ica
itu perempuan daffa. Kita tak bisa mempercayakannya pada semberangan orang.”
Kali ini sten yang menyuarakan keberatannya. Berada dilingkungan protitusi
semenjak bayi, membuatnya lebih waspada terhadap kehidupan perempuan.
“karna
itulah... akan lebih baik jika ica tinggal dengan ibu itu.” Kami terdiam. Daffa
mengusap kepala ica sayang. “dia akan memiliki keluarga, rumah, pakaian yang
bagus dan bahkan bisa sekolah. Ica mau sekolah kan? Makan makanan enak tiap
hari?”
Ragu
ragu gadis kecil itu mengangguk.
“aku
setuju. Akan sulit bagi ica jika dia terus bersama kita. Aku tak ingin ica
seperti santi, ros dan yang lainnya.” Pas. Tak ada lagi protes saat rian
mengemukakan alasannya. Siapa yang tak tahu santi dan ros. Dua gadis jalanan
pengamen berusia lebih besar dari kami. Ketika mereka mulai terlihat cantik,
mereka diperkosa oleh preman pasar. Dan sekarang nasip tragis selalu menaungi
keduanya. Mereka jadi budak abadi mami iva. Miris. Tinggal soal waktu ica juga
akan terlihat cantik, meski kami bersama taka ada jaminan ica akan selalu bisa
kami lindungi.
Malam
itu daffa berubah menjadi lebih pendiam setelah ica dibawa pergi oleh ibu
angkatnya. Sten dan yol sempat menangis tersedu saat ica berlari memeluk mereka
erat erat. Tak mau berpisah. Wanita itu menjanjikan jika kami masih bisa
mengunjungi ica kapanpun kami mau di alamat yang diberikan pada daffa. Kami melepaskan
ica dengan tak rela. Mataku membasah saat dia melangkah terpaksa mengikuti ibu
kaya yang menggengam tangan kecilnya. Wajahnya coreng moreng karna air mata,
rambut jagung kusutnya makin kusut saat dia menggeleng geleng tak ingin
melepaskan pakian daffa yang digemgam erat. Daffa mengikuti sampai ke mobil
mewah ibu angkat ica. Sebelum kemudian melepas kan genggaman ica paksa.
Tangis ica membuat kami tak tega dan untuk
pertama kalinya kuliahat daffa meraung pedih kehilangan setelah mobil yang
membawa ica hilang di tikungan. Hanya rian yang tak meneteskan air mata. Seminggu
setelahnya daffa selalu saja bermimpi buruk. Mengigau mamanggil ica dan nama
nama yang asing bagi kami. Lebih parahnya, kami tak menemukan ica di alamat
yang diberikan ibu kaya itu. Butik milik ibu kaya itu juga sudah berubah
menjadi indomaret. Tak ada ibu itu di sana.
Rumah
mewah dalam alamat yang diberikan si ibu juga kosong melompong. Tetangga
sekitar rumah mengatakan jika pemlik rumah telah pindah bebrapa hari yang lalu
entah kemana. Hilang sudah jejak ica. Kami tak mampu berbuat apa apa. Bahkan
daffa berubah jadi pemurung setelah kejadian itu.
“apapun
yang terjadi,aku yakin ibu itu telah menjaga ica dengan baik. Mungkin dia tak
ingin ica berhubungan lagi dengan kita.” Rian mencoba menenangkan daffa. Namun
semua tak kan sama lagi. Daffa berubah lebih pendiam. Tak ada yang membuatnya
kembali hidup hingga akhirnya Bapak datang. Memeluk kami dengan perlindungan
dan sebuah keluarga.
Keluarga yang bahagia.
Mataku mengawasi beberapa anak
anak yang berangkulan bahagia setelah berhasil mencetak gol di jaring lawan.
Terlihat tulus mengakui persaudaraan yang tiba tiba saja terasa mengental dari
pancaran mata polos mereka. Sebuah pemandangan yang membuatku terhalau kembali
pada masa masa aku dijalanan. Masa bocah keras yang tak terbayangkan bisa
kulalui hingga saat ini.
Ah..
tapi lihat sekarang yang tersisa. Kekosongan.
“bang
tolong bolanya, bang!”
Lamunanku
terpotong begitu saja. Sebuah bola lusuh menggelinding tepat ke kakiku.
Beberapa pemain amatiran di lahan kosong bekas pabrik di hadapanku tengah
berteriak teriak menarik perhatianku.
“aih,
malah bengong nih si abang. Cep, kau saja yang ambil sana!”
Aku
tertawa melihat salah seorang pemain memerintah dengan nada mutlak. Entah
kenapa, sosoknya mengingatkanku pada sosok daffa. Kuusap wajahku kasar,sebelum kemudian meraih
bola di kakiku dan melemparkan kembali ketengah lapangan. Tanpa terima kasih
bocah bocah tujuh tahunan itu kembali asik dalam permainannya.
“anak
dari mana. Bapak tak pernah lihat sebelumnya.” Pemilik kedai kopi tempatku
duduk mengajukan pertanyaan penasaran. Aku tersenyum ramah pada ibu 40an yang
masih terlihat sintal dalam balutan kebaya sederhananya.
“
saya orang baru di sini, Bu. asik juga melihat anak anak itu bermain bersama.”
“ah..
ya gitulah anak anak. Kerjanya ya masih main saja. Apa lagi mereka, kebanyakan
mah nggak sekolah. Jadi hari hari ya main.”
Tak
langsung menanggapi aku kembali mengamati tawa bahagia bocah yang tengah
bermain bola. Penampilan mereka boleh dikatakan lusuh dan kotor. Belum lagi
debu yang berterbangan dari tanah tempat kaki kaki kecil itu berakselerasi.
Aku
tengah berada di salah satu daerah perkampungan kumuh pesisir jakarta. Setelah
berkelahianku dengan daffa seminggu yang lalu, aku memutuskan untuk menajauh
sementara dengannya dulu, kalau bisa sih selamanya. Salah seorang pelanggan di
rumah makan tempatku bekerja menawarkanku pekerjaan di salah seorang nelayan di
daerah ini. Memang kerja berat tapi gajinya lumayan besar dibandingkan dengan gajiku
sebelumnya. Kerjaku menyotir ikan dan mengakutnya kepasar menggunakan gerobak.
Masalah gaji bukanlah hal yang utama kenapa
aku menerima pekerjaan ini. Alasanku yang sebenarnya adalah ingin mencari
suasanan baru agar kepalaku sedikit lebih ringan dari semua teka teki
kehidupannku. Terlebih lagi, di sini aku hanya bekerja di pagi hari saja saat
kapal nelayan merapat, selebihnya aku punya cukup banyak waktu luang untuk
berfikir dan bergerak.
Terhitung sudah seminggu aku
melakoni pekerjaan baruku. Sejauh ini semua berjalan cukup santai meski belum
kunjung menemukan petunjuk. Di hari pertama bahkan aku telah sukses menghancurkan
ponselku sendiri –salahkan abra yang menelpon kesetanan saat aku tengah
bekerja. Jatuhlah ponsel malang itu saat aku buru buru menerima panggilannya.
Walau tak terlalu banyak mendapatkan hasil namun aku punya firasat baik di
sini. Roden, yang menawariku pekerjaan di sisni, bahkan mengakui jika daerah
ini termasuk daerah yang cukup sering disinggahi mafia. Tak jarang mereka
menggunkan kapal nelayan untuk mengangkut barang dagangannya. Entah itu
narkoba, wanita bahkan senjata api sekalipun.
“anak ini sering melamun, ya.”
Suara Ibu kedai kopi membuatku menoleh
hanya untuk mendapati seorang bapak bapak duduk tak jauh dariku menatapiku dengan
tatapan menunggu. Eng.. dari tatapannya membuatku curiga, pasti ada sesuatu
yang kulewatkan karna terlalu asik dengan fikirannku sendiri. Sang bapak
tersenyum maklum, membuatku merasa tak enak.
“bapak ini menanyakan, anak kerja
di mana?” ibu warung yang mengerti dengan situasi kami menjelaskan sambil
menahan tawa geli.
Aku mengangguk kaku.
“hm.. maaf pak, saya tak dengar
tadi. Saya bekerja di pelabuhan nelayan sini.”
“oh, bekerja dengan siapa, Nak?
Komar, suhin atau Roden?”
“bang Roden, Pak.”
“wah, bagus itu. Roden memang
terkenal jujur di sini. Tak salah lah anak bekerja dengannya.” Bapak itu tersenyum bijak. Umurnya munkin
lebih tua dari bapak, rambutnya yang telah memutih tersimpan rapi di bali peci
sederhananya. Penuh wibawa. Aku hanya membalas dengan anggukan setuju.
Si Bapak berpeci berdiri dari
duduknya. Bersiap untuk pergi dengan merapikn berapa buah buku bacaan anak anak
yang diletakkan di mejanya. Sebelum pergi beliau kembali menoleh padaku.
“Jika bosan, silakan mampir ke
rumah baca kami ya. Assalamualaikum.”
“walaikumussalam.” Aku membalas
dengan anggukan ramah. Tanpa kusadari petunjuk inti bapak, tengah lewat persis
di depan hidungku.
*****
Hampir
dua minggu dan aku masih hidup. Masih tanpa hasil. Dan mungkin saat ini orang
orang telah mengangapku mati. Aku hanya bicara sama Da edi saja mengenai
pengunduran diriku dulu. Sedang pada abra dan Tiara hanya kubilang pergi
liburan kerumah teman. Daffa? Tak perlu kuceritkan. Kami bahkan tak saling
melihat roman semenjak prkelahian dulu.
Cuaca
siang ini terasa cukup panas. Selepas menyotir ikan dari kapal Bang Roden dan
membawanya ke pasar sesuai permintaan pedagang, aku kembali melepas lelas
sembari minum kopi di kedai biasa. Mengistirahatkan sebentar tubuhku dari
sengatan rajam matahari. Huftt. Letak kedai ini tak jauh dari kontrakanku
membuat ibu kedai ini hapal betul dengan pesanan tetapku tiap harinya.
“assalamualaikum,
anak muda.” Sebuah suara berwibawa menyapaku. Pandangan kami bertemu dan
berbinar familiar.
“walaikumussalam,
Pak.” Netraku merangkai sosok berpeci sederhana kemaren tengah duduk tak jauh
dariku. Si bapak yang ku tahu bernama Pak Alif dari ibu kedai terlihat
kerepotan memindah mindakah tumpukan buku dalam tiga buah kantol besar menjadi
dua kantong yang lebih besar. Bersamaan dengan ibu kedai membawakan kopi
pesananku dua orang siswi sekola menengah atas mengahampiri pak alif yang masih
sibuk dengan kantong kantong besar bukunya.
“Permisi,
Pak. Kami mau menyumbang buku untuk DM.” Mereka mnyodorkan setumpuk buku pada
pak alif.
“alhamdulillah.
Semoga berkah, neng. Makasi banyak ya.” Pak alif menyambutnya dengan senyum
ramah. Setelahnya dua gadis itu berlalu, meninggalkan pak Alif yang makin
kebingungan dengan buku bukunya. Aku hanya mengamati interaksi dengan diam
sembari menyesap kopiku.
Dari
informasi ibu kedai, Pak Alif adalah pengurus sebuah rumah baca yang cukup
terkenal di daerah ini. Daruul Muqoomah namanya atau di singkat dengan DM oleh
penduduk daerah sini. DM dididrikan untuk membantu anak anak putus sekolah di
daerah ini. Disana mereka diajarkan membaca, berhitung dan pelajarn lainnya.
Kesungguhan pak alif untuk berbuat bagi generasi muda mendapat banyak tangapan
positif dari penduduk. Apa lagi rumah baca ini berdiri dari semenjak 8 tahun
lalu, jadi tak heran jika DM masuk TV beberapa hari yang lalu. Semenjak masuk
tv itulah sumbangan buku membajir tiap harinya. Para penyumbang yang tak
bertemu dengan pak alif terkadang menitipkan buku di kedai kopi ini, karna
memang letak DM sendiri agak jauh dari jalan besar, mobil tak bisa masuk lebih
jauh, hanya sampai kedai kopi ini.
Setiap
siang, pak alif akan mengumpulkan buku buku yang disumbangkan melalui kedai
kopi dan mengngkutnya sendiri ke DM. Seperti saat ini misalnya. Pak alif jelas
jelas kebingungan membawa semua buku yang mengunung ini ke DM sekaligus.
“Butuh
bantuan, Pak.” Aku menawarkan bantuan begitu saja. Melihat cahaya antusias
dalam pancarn mata si bapak membutku tersentuh. Meski terlihat beberapa tahun
lebih tua dari bapak, tapi semangat
dalam dirinya tak kalah dari semangat bapak dahulunya.
“oh,
terimakasih. Kebetulan sekali bapak benar benar butuh bantuan untuk membawa
buku ini ke DM. Alhamdulllah buku sumbangan hari ini banyak sekali.” Paka alif
menyambut lega.
Aku
tersenyum. Cekatan aku ikut membagi buku tersebut kedalam tiga kantong besar.
Memastikan jika semua buku telah masuk seluruhnya ke dalam kantong besar.
“ayo,
pak.” Aku mendahului pak alif menyambar dua kantong besar buku sekaligus.
“eh,
tak apa nak, biar bapak dua.”
“hehe,
tak apa pak. Saya cukup kuat mengankat dua.” Balasku berjalan keluar kedai
duluan.
Pak
alif tertawa dan menyusulku keluar kedai. “kau meremehkanku anak muda.”
Kelakarnya.
Aku
ikut tertawa dan membiarkan Pak alif berjalan duluan. Aku memang tak tahu letak
persisnya DM. Pak alif memimpin jalan sambil bercerita ini itu mengenai rumah
baca DM. Mulai dari seorang dermawan yang menjadi pengagas berdirinya DM,
relawan dari kalangan mahasiswa yang ikut membantu jalanya DM hingga saat.
Sesekali pak alif akan berkelakar
menganggap DM tak ubahnya sekolah bagi anak anak kurang mampu di daerah ini.
Bagunan
DM seperti rumah kebanyakan. Di gapura yang berdiri di depan rumah ditulis
dengan lengkap Rumah Baca Daruul Moqoomah. Sejenak aku tertegun saat kami
sampai di depan gapura itu. Cara penulisan Daruul Muqoomah terasa familiar
bagiku. Rasa rasanya aku pernah melihat tulisan seperti itu, tapi dimana?
“lho
kok bengong di sana. Ayo masuk.” Teguran Pak alif menyadarkanku dari situasiku
saat ini, masih mematung di depan pigura dengan kantung besar buku di kedua
tanganku. Aku mengangguk kikuk.
DM
jamaknya rumah baca umumnya, setiap sisi ruangan utama di penuhi rak rak buku.
Rumah besar seperti rumah penduduk kebanyakkan, tidak betingkat namun memiliki
beberapa ruang yang lumayan luas untuk belajar. Saat memasuki DM, kami langsung
disambut oleh suara tawa anak anak yang tengah mendengarkan cerita seorang
wanita muda di ruangan paling depan. wanita itu tersenyum menyambut bapak, di
ikuti oleh seorang orang lelaki yang
sigap mengmbil alih barang bawaan kami.
“alhamdullah,
pak alif, banyak sekali buku yang kita dapat hari ini.”
“alhamdullah
lah Mat. Oya, kenalin, ini temannya Roden. Untung ada dia yang bantuin bawa
buku buku ini.” Pak alih berucap setelah barang bawaaan kami berpindah tangan.
“oh,
makasi bang. Saya Ahmad. Salah satu pengurus DM.” Aku balas menjabat tangannya.
“Deris.”
“silahkan
duduk bang deris.” Tawarnya ramah.
Pak
alif dan Ahmad duduk di sebuah sofa sederhana di ruang depan rumah, aku
menyusul tak lama setelah ak Alif menyandarkan punggungnya dengan nyaman. Dari
sini aku bisa melihat anak anak di ruangan lain masih asik mendengarkan gadis
muda tadi bercerita.
“silahkan
di minum bang.” Ahmad kembali berbasa basi menyodorkan air meneral yang teretak
di atas meja ke hadapanku.
“terima
kasih.” Balasku singkat.
“tak
usah mau malu nak deris. Anggap saja rumah sendiri.”
Pak
alif kembali melanjutkan cerita sesi pejalanan yang tdi terpotong. Di DM
pengurus sekaligus guru pembimbing anak anak belajar berasal dari pemuda pemudi
yang memang peduli pada nasip malang anak anak bangsa ini. Seperti Ahmad yang
merupakan mahasiswa manajemen di kampus yang cukup ternama di jakarta. Aisyah,
gadis yang bercerita tadi, adalah mahasiswi tingkat pertama jurusan sastra. Dia
bersama dua teman perempuan lainnya, akan ke sini tiga kali seminggu. Sekitar
20 orang guru pembimbing di DM yang kesemuannya adalah mahasiswa dari erguruan
tinggi bergengsi di sini. namun ke20 oang tersebut datang bergantian setiap
harinya. Seperti hari ini, guru pengurus di DM hanya ahmad, aisyah dan dua
temannya yang bertugas.
Sedikit
banyak, aku kagum dengan loyalitas mahasiwa ini. Hanya sebagai relawan saja,
mereka mengabdikan diri sepenuh hati pada anak negri. Benar banar tampa pamrih.
Saat
kami tengah bercerita. Kepingan puzzel yang hilang dalam pencarian tak
berujungku selama ini, tiba tiba saja menapakkan diri. Bola mataku nyaris
keluar saking melototnya.
“
buku gambar anak anak kemarin. Bapak yang simpan?”
“astafirullah..
bapak lupa Mad. Tolong kamu ambilkan di lemari bapak.” Pak alif merogoh saku
baju kokonya, dan menyodorkan sebuah kunci dengan gantungan kunci dari plastik
bernomor 04, dan Tulisan Daruul Muqoomah yang telah pudar. Tak terbaca lagi,
tapi jelas cara penulisannya sama persis dengan tulisan di grapura depan.
Semunya
seperti di perlambat. Mataku melotot penuh shock melihat gantungan kunci itu
terulur tepat di depan hidungku, karna memang pak alif dan ahmad duduk
berhadapan di batasi meja. Sedang aku tepat berada di sisi yang berbeda.
Itu...
itu mainan kunci yang sama persis. Sama prsis dengan kunci yang di berikan
bapak. Kunci seribu misteri yang menekan pundakku selama ini.
Kurasakan
tubuhku bergerak otomatis cepat, tahu tahu kunci itu telah berada
digenggamanku. Tak kupedulikan pekikan kaget pak alif maupun ahmad yang
melihatku nyaris melompat menyambar kunci dari jemari pak alif.
Aku
bediri mematung.mengamati dengan cermat tiap incinya. Ya.. aku mengenali
permukaan kasar di plastik tuliskan angka dan nomor ini. Aku mengenali dengan persis
tulisan kabur di plastiknya. Sama dengan tulisan di gapura depan, dan juga
mainan kunci yang di berikan bapak. Takdirkah? Tak salah lagi. Ini kunci yang
sama.
“nak
deris, ada yang salah?”
Aku
mengangkat wajah, menatap lurus lurus pada wajah tua di hadapanku. Wajah tegas
yang jelas jelas terlihat bingung dan tak mengerti dengan sikapku barusan.
“apakah
setiap kunci lemari di DM menggunakan mainan seperti ini?” tanyaku tajam.
Bahkan wajahku terasa mengeras akan gertekanan antusias.
“ya!
Kenapa? ada yang salah?” kejar pak alif lagi.
Sesaat
aku di kuasaai bimbang. Bagaimana menjelaskannya? Di mulai dari manakah? Dari
sudut mataku, ahmad terlihat berwaspada dengan ancang ancang menyerang.
“siapakah
pemilik lemari 107?”
Pak
alif ternganga, sebelum kemudian wajahnya berubah tenang tak wajar. Dia
menatapi lamat lamat seolah menilai.
“tidak
ada lemari 107 di sini.” ucapnya tenang.
Seketika
aku menegang gusar. “Bohong!” suaraku satu oktaf naik lebih tinggi.
“jaga
nada bicara anda! Di sisni bukan tempat berteriak teriak.” Ahmad membentakku
tak terima.
Pak
alif masih tetap tenang. Raut wajah tuanya terkendali. “ada hubungan apa kau
dengan lemari 107?”
Kurasakan
kecurigaannya mulai mepengaruhi nada suara pak alif padaku. aku balas
menantang, berusaha menyakinkan jika semua yang ku ucapkan bukanlah kebohongan.
“aku,
Deris Abdullah. Anak Abdullah pemilik lunci lemari Daruul Muqoomah nomor 107.”
Ucapku penuh penekanan.
Wajah
pak alif menegang sesaat. “Tidak mungkin. Abdulah dan anak anaknya tidak di
sini.”
Aku
menarik nafas berat. Pandanganku tertumpu ada kunci di genggamanku. “lebih tak
mungkin lagi fakta jika abdullah, bapakku, telah meninggal besarta sepuluh
saudaraku yang lain. Tersisa aku, satu saudaraku dan sebuah kunci bernomor 107
yang tak kami tahu terletak dimana lemarinya. Satu satunya petunjuk untuk
apapun yang tersisa.”
Mata
pak alif membulat kaget. Aku tersenyum sendu. Setidaknya benar pak alif ini
mengenal bapak. Itu sudah cukup. Tinggal lagi bagaimana aku menemukan
lemarinya.
“Melihat
reaksi bapak, mungkin pak alif tahu siapa bapak. Jika bapak ingin tahu kenapa
semua tak lagi sesuai dengan yanag pak alif bayangkan, itu karna masa lalu
bapak telah menemukan kami.” Suaraku menambah kesunyian.
Ahmad
hanya berdiri gelisah tak mengerti tentang apa yang sedang berlangsung. Aku
menatap pak alif dalam dalam. Pak alif menarik nafas. Membalas tatapanku.
“oh..
kamu anak pak abdullah? Benar benar salah satu dari 12 anak pak abdullah?”
meski terdengar tak yakin, jelas sekali pak alif telah memilih untuk percaya
padaku.
Aku
tersenyum. “ya.. aku anak pak abdullah.”
*****
Kakiku terpancang kaku. Tiba tiba
saja rasanya jantungku terpacu penuh kepanikkan. Aku menghambur masuk kedalam
rumah yang berantakkan. Semua jungkir balik tak lagi pada tempatnya.
“daffa!”
aku berteriak histeris, menerobos masuk ke kamar daffa. Semua dalam ruangan itu
bernasip sama dengan ruang depan. isi lemari keluar tak beraturan, kasur dan
bantal berserakan di mana mana. Buku buku dan perlengkapan daffa bertebaran tak
tentu arah. Ada yang memeriksa kamar ini. Malingkah?
panik aku kembali berlari kekamar
yang baru dua minggu lalu kutinggalkan. Berantkan. Seperti baru saja di terjang
puluhan benteng liar yang mengamuk. Baju bajuku berserakan begitu saja, tempat
tidurku di jungkir balikkan. Seketika kekacuan ini membuatku pening. Apa yang
di cari?
Ottakku
langsung buntu. Tak ada keberadaan daffa di manaupu. Tak mungkin dia yang
melakukan kekacauan ini. Ada sesuatu yang terjadi di sini. dan setiap sel di
tubuhku berontak mencemaskan daffa.
Hari ini aku berencana pulang
kembali ke kontrakan lama ku bersama daffa untuk mengambil kunci lemari
peninggalan bapak. Setelah bicara panajang lebar dengan pak alif, akhirnya ku
temukan lemari itu. Bukan lemari, loker lebih tepatnya, persisi seperti tebakan
daffa dulu. Loker 17. Penambahan angka nol di mainan kunci itu adalah ide
bapak. Mungkin beliau tak ingin loker 17 di temukan orang lain. Cermat sekali.
Tipe bapak sekali.
Loker itu masih dalam keadaan terkunci. Di
bagian atas pintu loker dubuatkan celah panajng layaknya kotak pos. Menurut pak
alif, memang terkadang setiap satu minggu akan datang surat untuk bapak entah
dari siapa. Pak alif maupun pengurus lain yang menerima surat itu akan lansung
memasukkan surat dalam loker. Itu pesan bapak dahulu. Jika nanti surat yang di
tujukan kepadanya datang, masukan saja ke dalam loker. Beliau akan mengambilnya
langsung ke sini. sedang sampai saat ini, sudah enam belas bulan semenjak tarakhir
bapak ke sini.
“jadi bapak sering ke sini?”
“tidak juga. Terkang hanya akbar
dan aulia saja yang ke sini sekedar mengambil surat surat yang datang.”´aku
tercenung di depan loker 17. Pak aliif dan ahmad berdiri tak jauh di
belakangku.
Bang akbar, bang aulia.
Rasanya terasa aman, meski aku
hanya mendengar nama mereka saja. Terlebih saat tau jika saat ini aku
berhadapan dengan orang yang juga mengenal mereka.
“pak alif kenal bang akbar dan
bang aulia?”
“ya. Beberapa pengerus di sini juga mengenal mereka.
Bahkan, Aisyah memintaku untuk menjodohkanya dengan aulia. Haha..” pak alif
tertawa sumbang.
Aku tersenyum. Sedikit lega saat
membayang kan aisyah yang mendongeng penuh kasih di depan anak anak tadi,
bagaimana dulu salah tingkahnya bang aulia di perhatikan gadis seanggun itu.
Tawa pak alif berhenti. Terdengar
tarikan nafasnya.
“bapak ikut berduka atas semua
yang menimpa keluargamu.”
Aku mengangguk mengerti.
“kau boleh membuka loker itu.
Barang kali orang yang mengirimkan surat itulah yang di maksud bapakmu.”
Ya. Aku juga berfikiran sama.
“apakah bapak punya kunci
cadangan?” aku bertanya lirih. Bahkan sedari tadi posisiku masih belum berubah,
menatapi loker itu dengan perasaan campur aduk.
“tidak. Kami tak punya kunci yang
lain di sini. Pak abdullah sendiri yang meminta begitu.”
Aku menarik nafas. Kunci itu
menyatu dengan kunci kontrakan lamaku dengan Daffa. Jika begini ceritanya, tak
ada jalan lain selain aku harus kembali ke kontrakanku, dan mengambil kunci
itu. Mengingat, pak alif dan ahmad yang masih menatapiku curiga,mereka tak akan
senang jika salah satu lokernya kurusak. Lagian, daffa juga berhak tahu untuk
semua ini.
Belum lagi matahari bersinar
penuh, aku telah berebutan bus dengan beberapa pelajar untuk dapat keluar dari
daerah ini. Jarak tempa ini dengan lokasi kontrakanku dulu tak terlalu jauh
sebenarnya, namun karna tak ada angkutan umum yang berangkat langsung kesanan
dari dua tempat ini, terpaksalah aku mutar mutar dulu. Sambung menyambung bus
dan angkot.
Setelah sampai di kontrakanku
sekeitar jam 10, aku mencium firasat buruk. Dari jauh aku bisa melihat
jendelanya terbuka lebar. Bukan kebiasaan daffa sekali. Semakin dekat, ku
sadari jika pintu tak terkunci, sedang pemandangan di dalam kontrakan centang
perenang tak karuan. Ku percepat langkahku satu kali dorongan ku sentak kasar
pintu yang masih setengah membukan, mataku langsun memandang nanar. Ruangan ini
tak lebih layaknya gundang yang di obraik abrik seenak hati. Apa yang terjadi?
“Daffa!”
Terengah aku keluar dari kamarku.
Panik membuat tubuhku gemetar. Kemana daffa? Saat kesadaran menyapaku, setengah
berlari aku kembali ke ambang pintu, menyentakkankan daun pintu. Setika
perasaan lege menyergapku. Di sana, di balik daun pintu masih tergantung kunci
kontrakanku yang menyatu dengan kunci loker tujuanku. Syukurlah. Setidaknya
kunci loker masih aman. Tanpa pikir panjang kurenggutkan kunci itu,
menyimpannya dalam jaketku.
Sekarang, aku harus mencari tahu
apa yang terjadi. Aku harus mencari keberadaan daffa. Harusnya, dalam situasi
normal daffa di jam segini masih ada dirumah. Barang berantakan yang masih baru
menandakan jika kejadian ini belum lama terjadi. Barang barang daffa juga masih
ada, mustahil dia pindah dari sini.
“Deris?”
Aku menoleh. Diambang pintu
kulihat abra memandangku memastikan. Bebrapa tetangga juga terlihat melongok
dari luar.
“abra, kenapa..”
“kemana saja kau? Ponselmu juga
tak pernah bisa di hubungi.”
Aku menangkap nada urgensi dari
ucapannya.
“mana daffa?” aku memilih
mengabaikan, “apa yang terjadi di sini ab?”
“jadi kau baru datang?”
Ku balas dengan anggukan. Abra
melihat keluar, ke arah tetangga yang mulai berbisik bisik dan menatapiku
dengan pandangan aneh.
“ikut aku. Tak aman bagimu di
sini.” abra menarik tanganku keluar, terus berjalan menjauhi para tetangga yang
mulai berkerumun.
“ada apa di sini?”
“nanti kujelaskan.”
Kami berhenti di gang belakang
pasar yang lengang.
“di mana kau selama ini?”
cecarnya tanpa basa basi.
“di tempat kenalanku. Sekarang
itu tak penting ab. Tolong jelaskan kepadaku kenapa kontrakanku seperti itu.
Mana daffa?”
“Terjadi kejadian dua malam lalu.
Beberapa orang datang membawa daffa kembali kekontraknmu saat aku pulang
kerja.”
“kau melihat orang itu? Siapa?”
“mereka memakai pakaian rapi ala
kantoran, aku dapat melihat mereka mengikat daffa dan memaksanya masuk ke
kontrakan kalian. Setelah itu ku dengar ribut ribut dari dalam rumah.”
Nafasku seakan lepas. Berpakaian
rapi ala kantoran? Apakah kami telah di temukan?
“saat aku dan beberapa warga
hendak masuk untuk melihat apa yang terjadi, salah satu dari orang tersebut
keluar. Dia memakai senjata, dan mengancam kami unuk tidak ikut campur apa lagi
menelfon polisi. Aku tak tahu siapa mereka, tapi melihat bergerakan mereka aku
jadi ingat cerita anji dulu. Kira kira seperti itulah gambaran anji terhadap
komplotannya dulu.”
Sekarang ku benar benar membeku.
“tak lama setelahnya, mereka
membawa daffa pergi. Dan tak kembali sampai detik ini. Mereka selalu ke sini
setiap harinya. Bahkan ada yang menanyakan keberadaanmu kepada warga di sini.
mereka juga mengincarmu. Dan mereka jelas tak memiliki niat baik. Entah
bagaimana keadaan daffa saat ini, saat sebelum pergi yang kulihat keadaannya
cukup memprihatikan. Memar dan babak belur.” Abra menatapku, “tak aman bagimu
jika tetap berada di sini.”
Lututku terasa goyah untuk
sesaat. Bayangan pembunuhn keluargaku menari di pelupuk mataku. Sudah cukup
banyak aku kehilang. Tidak lagi. Aku tak akan sanggup menerima kehilangan
saudara terakhirku dengan misteri kunci pemberian bapak yang satu langkah lagi
terpecahkan.
Abra menatampu prihatin. Seakan
tak yakin dia kembali bersuara. “hm.. mungkin aku tahu kemana mereka mambawa
daffa.”
pandanganku kembali menatapnya
tajam. “dimana?”
“aku pernah mengikuti yang
mengawasi rumahmu kemaren. Kemungkinan besar mereka juga membawa daffa ke
sana.”
“dimana?” kejarku tak sabar.
“di daerah pesisir, jakarta
utara. Rumah itu di jaga dengan ketat oleh orang yang berpakaian sama dengan
orang yang membawa daffa dulu.”
Aku mengerjab. Artinya tak
terlalu jauh dari tempat tinggalku dua minggu ini.
“tunjukan tempatnya padaku!” kucengkram
lengan abra, menolak semua keberatan.
Kami berangkat dengan munggunkan
motor Da Edi. Abra tak banyak bicara, selain memperingatkanku untuk tidak lagi
ke kontrakanku. Tak ada yang menjamin jika tetangga kami akan tutup mulut
mengenai kedatanganku tadi. Aku sendiri terfokos sepenuhnya pada orang orang
yang membawa daffa. Mereka benar benar tak melepaskan kami. Secepat ini, dan
mereka berhasil menemukan kami.
Setelah menempuh perjalanan
lumayan jauh, abra memberhentikan motornya tak jauh dari tempat wisata pantai. Dari
sini aku dapat meliahat rumah mewah yang dibangun tak jauh dari bibir pantai
dengan tembok dua meter menglilinginya.
“itu rumahnya.”
Aku memicing. Dari kejauah rumah
tiga tinkat itu terlihat sangat mewah. Dua pilar besar menyangga balkom latai
dua dan tiga. Rumah bercat pitih itu terlihat seperti puri yang tak terjamah.
Tombok setinggi dua meter mengeliligi rumah dengan tumbuhan merambat menghiasa
permuakaan tembok. Hanya ada satu gerbang yang terlihat dijaga oleh bebrapa
orang mencurigakan. Melihat pakainnya dapatkupastikan itu bawahan hyena.
“aku akn masuk kesana...”
“jangan tanpa perhitungan begitu.
kita lapor saja pada polisi.”
“tidak. Kami buron ab.”
Mulut abra terbuka seakan hendak
protes, namun menutup kembali seiring bersit ragu di kedua matanya. “apa
rencanamu?”
“kita tunggu hingga malam. Aku
akan menyusup masuk ke sana.”
“tak semudah itu!” dalam situasi
ini abra menghilangkan kosa kata ‘bego’ diujung protesnya.
“aku tahu. Tapi pasti ada cara.”
Aku bersikukuh.
“terserah kau saja. Sekarang
sebaiknya kita menyingkir dari sini. ketahuan sedikit saja sama saja bunuh diri
namanya.
******
Next episode
“oh, tidak! Tidak, tidak lagi. Daffa!
Daf? Bangun!”
.....
“oh, lihat siapa yang datang
mengntarkan nyawa.”
.....