Selasa, 12 September 2017

Pangeran Maestro 7; aku Deris Abdullah, pemilik loker 107!



             
 

       “aku anak pelacur di gang Bojol depan stasiun. Tapi yang bisa kuingat hanya tendangan dan bahasa kasar umpatan wanita saja. Aku tak ingat wajahnya. Aku tinggal dengan salah seorang nenek penjual ketoprak keliling. Nggak lama, nenek iu meninggal. Aku jadi pengemis. Kadang, aku iri liat anak anak lain pagi pagi peke baju merah putih.” Yol menyudahi kisahnya. Kisah yang sudah beberapa kali kudengar semenjak aku bergabung dengan kelompok anak jalanan ini.
       Aku menyelimuti Ica disebelahku dengan kain buruk yang entah apa dulu. Mungkin bekas gorden. Ica sudah tertidur pulas, tak terusik cerita Yol. Dia satu satunya perempuan diantara kami. Si bungsu yang harus kami jaga hati hati. Kami masih berusia tak lebih dari 8 tahun, sedang ica baru 6 tahun. Meski terhitung masih belia, jalanan telah memberikan kami pengajaran melebihi umur kami. Jadi kami paham kenapa ica harus di jaga, paling dijaga diantara kami.
       Daffa masih melamun, entah melamunkan apa, duduk berpangku lutut disebelah ica. Matanya menarawang keluar rumah kardus kami.
       Sten yang duduk disebelah Yol, menepuk  nepuk pundaknya.
       “aku juga iri. Tapi yang penting kita bisa makan dan tidur bersama sama. Menjaga ica, sampai kita besar dan jadi preman nantinya.” Sten menyuarakan pikiran kanak kananknya. Setidaknya dia cukup pintar dari bocah kebanyakan, dia tak bercita cita jadi dokter seperti ica, dia lebih memilih menjadi preman ditakuti. Karna memang segitulah yang mampu ditolerir oleh pikiran kecilnya.
       Sebenarnya nasip sten dan yol tidaklah jauh beda. Sten tahu siapa ibunya, tapi tidak bapaknya. Dari kecil ibunya menyewakan sten sebagai poperti pengemis. Bergantian mereka membawa sten yang recoki obat tidur. Tak ada kasih sayang, hanya boneka bernyawa yang mereka bawa bawa untuk mendapatkan belas kasihan orang orang. Itu berlanjut sampai sten beusia 6 tahun. Dia mulai menolak dibawa bawa, sampai akhirnya dia diusir begitu saja. Luntang lantung dijalanan, menemukan daffa dan mumutuskan berteman. Lalu menemukan yol tak lama setelahnya.
       Kami masih bocah, tapi cukup tau dengan kerasnya Jakarta.
       Rian merebahkan badan disampingku. Dia memang paling pendiam diantara kami. Tapi pernah sekali dia bercerita mengenai hidupnya. Dahulu dia tinggal bersama kakaknya. Salah satu preman paling ditakuti di terminal. Suka memalak,mencuri bahkan menjual obat obatan terlarang. Namun semua aksinya harus berhenti saat polisi berhasil menciduknya. Perlawanan yang dibuat membuat polisi kewalahn, hingga satu letusan mengakhiri semuanya. Semuanya tepat berlangsung di depan mata Rian sendiri. Mayat itu dibawa, dan tak pernah lagi kembali. Menyisakan rian yang tak punya apa apa. Berjalan tanpa tujuan. Yol, sten dan daffa menemukannya saat dipalak oleh beberapa anak jalanan lain. Miris.
       Selalu begini setiap malam menjemput lelap di rumah kardus ala kadar yang kami buat besama sama ini. Daffa tak kan pernah membuka cerita apa apun. Sesekali jika perlu dia akan ikut memberikan tanggapan pada cerita seten, yol maupun rian. Pernah yol memberanikan diri bertanya, daffa hanya menangapi kasar. Mengatakan jika masa lalunya bukanlah urusan kami. Sebagai orang yang pertama berada dirumah kardus ini, dia punya hak untuk tak mau bicara. Aku bersyukur dengan sikapnya yang seperti itu, karna saat Yol juga menanyakan asal usulku dan aku menjawab dengan diam, dia takkan berani memaksaku. Meskipun, aku hanyalah anggota baru setelah ica dalam persaudaraan ini.
       “tapi aku senang kita bisa bersam sama.” Yol menambahkan ceritanya.
       Aku menangapi dengan senyum. Tak terlalu bersemngat seperti tadi, kantuk mulai mendatangiku. Mungkin sudah tengah malam, daffa juga sudah membaringkan tubuh kurusnya, sten dan yol menyusul setelahnya. Meski sudah lewat tengah malam, tapi kolong jembatan ini masih terdengar ramai. Suara bahak preman dan cekikian para wanita saling berbagi lelucon di tengah himpitan rumah rumah kardus tak beraturan.
       Aku memuluk ica yang terlihat kedinginan. Tubuhnya kecilnya memang sengaja kami tidurkan ditengah, bentuk penjagaan agara tak ada orang luar yang menyakitinya. Ica sendiri kami temukan baru beberapa bulan yang lalu. Saat itu seorang preman menjambak rambut gadis kecil ini dan menyeretnya kerumah mami iva. Tempat pelacuran terbesar di daerah ini. Kami yang saat itu tengah memulung di depan rumah bordir itu hanya mampu melongo melihat gadis sekecil itu di tarik begitu kasar. Sebenarnya pemandangan itu tak begitu aneh disini, banyak anak anak jalanan perempuan yang dijual paksa oleh kerabatnya kesini. Tapi tidak sekecil itu.
       “ais, kau pikir ini tempat pengasuh anak, hah?” terdengar bentakan kasar mami iva.
       Takut, takut aku melongok kepintu, klihat gadis kecil itu duduk tersedu sedu dibawah kaki mami iva yang sedang duduk dikursi kebesarannya. Beberapa orang yang lalu lalang tak terlalu peduli pada pemandangan menyedihkan di sana.
       “terserah, mau beli berapapun Mi, gue lagi butuh duit nih.”
       “bego kau ya. Sekecil gini gak ada gunanya di sini, tau? Cepat kau bawa dia dari sini.”
       Wanita gendut berdandan menor itu justru menyipak si gadis kecil itu tanpa perasaan. Tanganku tanpa sadar terkepal melihat ratapan gadis itu makin menjadi jadi.
       “tolonglh Mi..” si preman memelas.
       Mami iva tampak terdiam. Memainkan rokoknya di jemari kirinya. Menimbang nimbang.
       “ku dengar kau punya anak sulung.”
       Si preman menegak. Kurasakan ketegangan disana.
       “i-iya..” batanya mengubur sisi premannya sendiri.
       “kau bawa dia kesini, ku kasih 5 juta tunai.”
       Mereka terus berbicara dan melupakan si gadis kecil yang tak lagi menangis. Dia merangkak perlahan kearah kami. Matanya menatap penuh harap kearahku. Bukan. Arah sampingku. Aku menoleh. Daffa berdiri disampingku dengan tangan melambai, memanggil si gadis mendekat. Pancaran matanya membuatku tertegun. Pancaran kasih tulus seorang kakak.
       “oh, jadi karna kutu ini anak selingkuhan istrimu makanya kau jual dia padaku?” suara mami iva makin meninggi.
       Aku mulai cemas. Sedikit lagi si gadis akan sampai ditempat kami. Sedang perdebatan preman dan mami iva tampak akan segera berakhir. Sedikit lagi.
       Hap.
 Daffa berhasil merengkuhnya, dan tanpa ba bi bu bergerak cepat meninggalkan rumah bordir terkutuk itu. Kami mengikuti, menyamarkan daffa dengan berjalan disekiling daffa. Dan begitulah kami membentuk persaudaraan dengan ica sebagai tambahan terkecil. Bagai sekuntum bunga ditengah semak belukar.
Awalnya terasa berat saat kami harus menambah anggota perempuan dalam keluarga kami, terlebih harus ada yang menjaga ica saat yang lain mencari uang. Namun daffa tak pernah memperihatkan keberatan sama sekali. Perhatiannya pada ica sdikit berbeda. Sayangnya benar benar layaknya seorang kakak laki laki sejati. Aku- kami semua lebih tepatnya- beberapa kali pernah mendengar daffa memnggil ica dengan nama yang berbeda. Saat tersadar dengan panggilannya, wajahnya akan berubah sendu. Pancaran matanya menggambarkan kesendirian dan kesepian meski kami semua menglilinginya. Tapi, kami tak prnah berani bertanya terlalu dalam. Mungkin saja daffa dulunya memang punya seorang adik perempuankan?
       Kehidupankami sehari hari diisi dengan lari larian untuk bertahan hidup. Berlari dari anak jalanan yang lebih besar, dari preman yang suka main kasar, dari satpoll pp hingga berlari rebutan untuk mencari makan. Mengamen dan memulung menjadi tulang unggung kehidupan kami. Kami selalu bersama sama. Dan secara tak langsung menjadikan daffa pimpinan kami. Dia cerdas, berani dan paling peka diantara kami. Kami berlima diperlakukan layaknya adiknya sendiri.
Belum genap setahun ica bersama kami, di pagi kota jakarta seperti biasanya kami di datangi seorang wanita berperhiasan mencolok dan lelaki setengah baya saat hendak memulai aktifitas mengamen kami. Refleks daffa menarik ica yang asik bermain boneka lusuh pemberian sten, kebalik punggungnya. Yol ikut meloncat sigap melindungi disamping daffa, begitu pun dengan sten. Aku dan rian memilih berdiri dibelakang ica, memastikan dia benar benar berada ditengah tengah kami.
       Dalam pindaianku, bapak tua disamping wanita berpakaian mewah itu adalah orang yang sering kulihat berada disekitar kolong jembatan ini. Salah seorang pemulung dermawan yang sering memberi kami makanan. Namun gerak gerik si wanita disampingnya terlihat mencurigakan, wajar daffa langsung bersikap waspada.
       “bagaimana nak, daffa?” si bapak membuka pembicaraan langsung.
       Daffa bergeming, namun genggamannya pada pergelangan ica di sampingnya semakin menguat. Dari belakang, kulihat sten dan yol saling berpandangan bingung. Sepertinya bukan aku saja yang tak mengerti apa apa di sini.
       “jalanan tak aman baginya, nak daffa. Dia butuh keluaga rumah. Dia bebeda dengan kalian. Tak mungkin selamanya dia berada dalam lindungan kalian bukan?”
       Kulihat wanita lembut ini tersenyum meyakinkan.
       “kamu sudah tahu alamat kami kan? Kalian semua bisa mengunjunginya kapan saja.” Tambah wanita itu lagi. Ica menatap daffa penuh tanya.
       “biar kami bicara dulu.” Balas daffa singkat.
       Daffa berbalik memandang ica yang terlihat cemas, mentapi wajah kami satu persatu.
       “ada apa daf?
“Apa yang ibu itu inginkan?” sten dan yol bertanya tanpa jeda.
       “ibu itu ingin mengadopsi ica.” Aku nyaris terjengkang mendengar suara tegas daffa.
       Serentak kami memandang wanita berambut sebahu itu dengan pandang menyelidik. Sedang ica mencicit takut merapatkan tubuhnya padaku.
       “tapi, daf..” yol menyuarakan keberatanya, “kita tak benar benar tahu dia orang baik atau tidak.” Kami mengaminkan dengan anggukan setuju.
       “tenang saja. Aku tahu siapa ibu itu. Dia pemilik butik di saming rumah sakit depan sana. Dia ingin mengadopsi ica karna dia tak bisa punya anak.”
       “kenapa harus ica?”
       Daffa terdiam mendengar protesku.
       “ica itu perempuan daffa. Kita tak bisa mempercayakannya pada semberangan orang.” Kali ini sten yang menyuarakan keberatannya. Berada dilingkungan protitusi semenjak bayi, membuatnya lebih waspada terhadap kehidupan perempuan.
       “karna itulah... akan lebih baik jika ica tinggal dengan ibu itu.” Kami terdiam. Daffa mengusap kepala ica sayang. “dia akan memiliki keluarga, rumah, pakaian yang bagus dan bahkan bisa sekolah. Ica mau sekolah kan? Makan makanan enak tiap hari?”
       Ragu ragu gadis kecil itu mengangguk.
       “aku setuju. Akan sulit bagi ica jika dia terus bersama kita. Aku tak ingin ica seperti santi, ros dan yang lainnya.” Pas. Tak ada lagi protes saat rian mengemukakan alasannya. Siapa yang tak tahu santi dan ros. Dua gadis jalanan pengamen berusia lebih besar dari kami. Ketika mereka mulai terlihat cantik, mereka diperkosa oleh preman pasar. Dan sekarang nasip tragis selalu menaungi keduanya. Mereka jadi budak abadi mami iva. Miris. Tinggal soal waktu ica juga akan terlihat cantik, meski kami bersama taka ada jaminan ica akan selalu bisa kami lindungi.
       Malam itu daffa berubah menjadi lebih pendiam setelah ica dibawa pergi oleh ibu angkatnya. Sten dan yol sempat menangis tersedu saat ica berlari memeluk mereka erat erat. Tak mau berpisah. Wanita itu menjanjikan jika kami masih bisa mengunjungi ica kapanpun kami mau di alamat yang diberikan pada daffa. Kami melepaskan ica dengan tak rela. Mataku membasah saat dia melangkah terpaksa mengikuti ibu kaya yang menggengam tangan kecilnya. Wajahnya coreng moreng karna air mata, rambut jagung kusutnya makin kusut saat dia menggeleng geleng tak ingin melepaskan pakian daffa yang digemgam erat. Daffa mengikuti sampai ke mobil mewah ibu angkat ica. Sebelum kemudian melepas kan genggaman ica paksa.
        Tangis ica membuat kami tak tega dan untuk pertama kalinya kuliahat daffa meraung pedih kehilangan setelah mobil yang membawa ica hilang di tikungan. Hanya rian yang tak meneteskan air mata. Seminggu setelahnya daffa selalu saja bermimpi buruk. Mengigau mamanggil ica dan nama nama yang asing bagi kami. Lebih parahnya, kami tak menemukan ica di alamat yang diberikan ibu kaya itu. Butik milik ibu kaya itu juga sudah berubah menjadi indomaret. Tak ada ibu itu di sana.
       Rumah mewah dalam alamat yang diberikan si ibu juga kosong melompong. Tetangga sekitar rumah mengatakan jika pemlik rumah telah pindah bebrapa hari yang lalu entah kemana. Hilang sudah jejak ica. Kami tak mampu berbuat apa apa. Bahkan daffa berubah jadi pemurung setelah kejadian itu.
       “apapun yang terjadi,aku yakin ibu itu telah menjaga ica dengan baik. Mungkin dia tak ingin ica berhubungan lagi dengan kita.” Rian mencoba menenangkan daffa. Namun semua tak kan sama lagi. Daffa berubah lebih pendiam. Tak ada yang membuatnya kembali hidup hingga akhirnya Bapak datang. Memeluk kami dengan perlindungan dan sebuah keluarga.
Keluarga yang bahagia.

Mataku mengawasi beberapa anak anak yang berangkulan bahagia setelah berhasil mencetak gol di jaring lawan. Terlihat tulus mengakui persaudaraan yang tiba tiba saja terasa mengental dari pancaran mata polos mereka. Sebuah pemandangan yang membuatku terhalau kembali pada masa masa aku dijalanan. Masa bocah keras yang tak terbayangkan bisa kulalui hingga saat ini.
       Ah.. tapi lihat sekarang yang tersisa. Kekosongan.
       “bang tolong bolanya, bang!”
       Lamunanku terpotong begitu saja. Sebuah bola lusuh menggelinding tepat ke kakiku. Beberapa pemain amatiran di lahan kosong bekas pabrik di hadapanku tengah berteriak teriak menarik perhatianku.
       “aih, malah bengong nih si abang. Cep, kau saja yang ambil sana!”
       Aku tertawa melihat salah seorang pemain memerintah dengan nada mutlak. Entah kenapa, sosoknya mengingatkanku pada sosok daffa.  Kuusap wajahku kasar,sebelum kemudian meraih bola di kakiku dan melemparkan kembali ketengah lapangan. Tanpa terima kasih bocah bocah tujuh tahunan itu kembali asik dalam permainannya.
       “anak dari mana. Bapak tak pernah lihat sebelumnya.” Pemilik kedai kopi tempatku duduk mengajukan pertanyaan penasaran. Aku tersenyum ramah pada ibu 40an yang masih terlihat sintal dalam balutan kebaya sederhananya.
       “ saya orang baru di sini, Bu. asik juga melihat anak anak itu bermain bersama.”
       “ah.. ya gitulah anak anak. Kerjanya ya masih main saja. Apa lagi mereka, kebanyakan mah nggak sekolah. Jadi hari hari ya main.”
       Tak langsung menanggapi aku kembali mengamati tawa bahagia bocah yang tengah bermain bola. Penampilan mereka boleh dikatakan lusuh dan kotor. Belum lagi debu yang berterbangan dari tanah tempat kaki kaki kecil itu berakselerasi.
       Aku tengah berada di salah satu daerah perkampungan kumuh pesisir jakarta. Setelah berkelahianku dengan daffa seminggu yang lalu, aku memutuskan untuk menajauh sementara dengannya dulu, kalau bisa sih selamanya. Salah seorang pelanggan di rumah makan tempatku bekerja menawarkanku pekerjaan di salah seorang nelayan di daerah ini. Memang kerja berat tapi gajinya lumayan besar dibandingkan dengan gajiku sebelumnya. Kerjaku menyotir ikan dan mengakutnya kepasar menggunakan gerobak.
 Masalah gaji bukanlah hal yang utama kenapa aku menerima pekerjaan ini. Alasanku yang sebenarnya adalah ingin mencari suasanan baru agar kepalaku sedikit lebih ringan dari semua teka teki kehidupannku. Terlebih lagi, di sini aku hanya bekerja di pagi hari saja saat kapal nelayan merapat, selebihnya aku punya cukup banyak waktu luang untuk berfikir dan bergerak.
Terhitung sudah seminggu aku melakoni pekerjaan baruku. Sejauh ini semua berjalan cukup santai meski belum kunjung menemukan petunjuk. Di hari pertama bahkan aku telah sukses menghancurkan ponselku sendiri –salahkan abra yang menelpon kesetanan saat aku tengah bekerja. Jatuhlah ponsel malang itu saat aku buru buru menerima panggilannya. Walau tak terlalu banyak mendapatkan hasil namun aku punya firasat baik di sini. Roden, yang menawariku pekerjaan di sisni, bahkan mengakui jika daerah ini termasuk daerah yang cukup sering disinggahi mafia. Tak jarang mereka menggunkan kapal nelayan untuk mengangkut barang dagangannya. Entah itu narkoba, wanita bahkan senjata api sekalipun.
“anak ini sering melamun, ya.”
Suara Ibu kedai kopi membuatku menoleh hanya untuk mendapati seorang bapak bapak duduk tak jauh dariku menatapiku dengan tatapan menunggu. Eng.. dari tatapannya membuatku curiga, pasti ada sesuatu yang kulewatkan karna terlalu asik dengan fikirannku sendiri. Sang bapak tersenyum maklum, membuatku merasa tak enak.
“bapak ini menanyakan, anak kerja di mana?” ibu warung yang mengerti dengan situasi kami menjelaskan sambil menahan tawa geli.
Aku mengangguk kaku.
“hm.. maaf pak, saya tak dengar tadi. Saya bekerja di pelabuhan nelayan sini.”
“oh, bekerja dengan siapa, Nak? Komar, suhin atau Roden?”
“bang Roden, Pak.”
“wah, bagus itu. Roden memang terkenal jujur di sini. Tak salah lah anak bekerja dengannya.”  Bapak itu tersenyum bijak. Umurnya munkin lebih tua dari bapak, rambutnya yang telah memutih tersimpan rapi di bali peci sederhananya. Penuh wibawa. Aku hanya membalas dengan anggukan setuju.
Si Bapak berpeci berdiri dari duduknya. Bersiap untuk pergi dengan merapikn berapa buah buku bacaan anak anak yang diletakkan di mejanya. Sebelum pergi beliau kembali menoleh padaku.
“Jika bosan, silakan mampir ke rumah baca kami ya. Assalamualaikum.”
“walaikumussalam.” Aku membalas dengan anggukan ramah. Tanpa kusadari petunjuk inti bapak, tengah lewat persis di depan hidungku.
       *****
       Hampir dua minggu dan aku masih hidup. Masih tanpa hasil. Dan mungkin saat ini orang orang telah mengangapku mati. Aku hanya bicara sama Da edi saja mengenai pengunduran diriku dulu. Sedang pada abra dan Tiara hanya kubilang pergi liburan kerumah teman. Daffa? Tak perlu kuceritkan. Kami bahkan tak saling melihat roman semenjak prkelahian dulu.
       Cuaca siang ini terasa cukup panas. Selepas  menyotir ikan dari kapal Bang Roden dan membawanya ke pasar sesuai permintaan pedagang, aku kembali melepas lelas sembari minum kopi di kedai biasa. Mengistirahatkan sebentar tubuhku dari sengatan rajam matahari. Huftt. Letak kedai ini tak jauh dari kontrakanku membuat ibu kedai ini hapal betul dengan pesanan tetapku tiap harinya.
       “assalamualaikum, anak muda.” Sebuah suara berwibawa menyapaku. Pandangan kami bertemu dan berbinar familiar.
       “walaikumussalam, Pak.” Netraku merangkai sosok berpeci sederhana kemaren tengah duduk tak jauh dariku. Si bapak yang ku tahu bernama Pak Alif dari ibu kedai terlihat kerepotan memindah mindakah tumpukan buku dalam tiga buah kantol besar menjadi dua kantong yang lebih besar. Bersamaan dengan ibu kedai membawakan kopi pesananku dua orang siswi sekola menengah atas mengahampiri pak alif yang masih sibuk dengan kantong kantong besar bukunya.
       “Permisi, Pak. Kami mau menyumbang buku untuk DM.” Mereka mnyodorkan setumpuk buku pada pak alif.
       “alhamdulillah. Semoga berkah, neng. Makasi banyak ya.” Pak alif menyambutnya dengan senyum ramah. Setelahnya dua gadis itu berlalu, meninggalkan pak Alif yang makin kebingungan dengan buku bukunya. Aku hanya mengamati interaksi dengan diam sembari menyesap kopiku.
       Dari informasi ibu kedai, Pak Alif adalah pengurus sebuah rumah baca yang cukup terkenal di daerah ini. Daruul Muqoomah namanya atau di singkat dengan DM oleh penduduk daerah sini. DM dididrikan untuk membantu anak anak putus sekolah di daerah ini. Disana mereka diajarkan membaca, berhitung dan pelajarn lainnya. Kesungguhan pak alif untuk berbuat bagi generasi muda mendapat banyak tangapan positif dari penduduk. Apa lagi rumah baca ini berdiri dari semenjak 8 tahun lalu, jadi tak heran jika DM masuk TV beberapa hari yang lalu. Semenjak masuk tv itulah sumbangan buku membajir tiap harinya. Para penyumbang yang tak bertemu dengan pak alif terkadang menitipkan buku di kedai kopi ini, karna memang letak DM sendiri agak jauh dari jalan besar, mobil tak bisa masuk lebih jauh, hanya sampai kedai kopi ini.
       Setiap siang, pak alif akan mengumpulkan buku buku yang disumbangkan melalui kedai kopi dan mengngkutnya sendiri ke DM. Seperti saat ini misalnya. Pak alif jelas jelas kebingungan membawa semua buku yang mengunung ini ke DM sekaligus.
       “Butuh bantuan, Pak.” Aku menawarkan bantuan begitu saja. Melihat cahaya antusias dalam pancarn mata si bapak membutku tersentuh. Meski terlihat beberapa tahun lebih tua dari bapak,  tapi semangat dalam dirinya tak kalah dari semangat bapak dahulunya.
       “oh, terimakasih. Kebetulan sekali bapak benar benar butuh bantuan untuk membawa buku ini ke DM. Alhamdulllah buku sumbangan hari ini banyak sekali.” Paka alif menyambut lega.
       Aku tersenyum. Cekatan aku ikut membagi buku tersebut kedalam tiga kantong besar. Memastikan jika semua buku telah masuk seluruhnya ke dalam kantong besar.
       “ayo, pak.” Aku mendahului pak alif menyambar dua kantong besar buku sekaligus.
       “eh, tak apa nak, biar bapak dua.”
       “hehe, tak apa pak. Saya cukup kuat mengankat dua.” Balasku berjalan keluar kedai duluan.
       Pak alif tertawa dan menyusulku keluar kedai. “kau meremehkanku anak muda.” Kelakarnya.
       Aku ikut tertawa dan membiarkan Pak alif berjalan duluan. Aku memang tak tahu letak persisnya DM. Pak alif memimpin jalan sambil bercerita ini itu mengenai rumah baca DM. Mulai dari seorang dermawan yang menjadi pengagas berdirinya DM, relawan dari kalangan mahasiswa yang ikut membantu jalanya DM hingga saat. Sesekali  pak alif akan berkelakar menganggap DM tak ubahnya sekolah bagi anak anak kurang mampu di daerah ini.
       Bagunan DM seperti rumah kebanyakan. Di gapura yang berdiri di depan rumah ditulis dengan lengkap Rumah Baca Daruul Moqoomah. Sejenak aku tertegun saat kami sampai di depan gapura itu. Cara penulisan Daruul Muqoomah terasa familiar bagiku. Rasa rasanya aku pernah melihat tulisan seperti itu, tapi dimana?
       “lho kok bengong di sana. Ayo masuk.” Teguran Pak alif menyadarkanku dari situasiku saat ini, masih mematung di depan pigura dengan kantung besar buku di kedua tanganku. Aku mengangguk kikuk.
       DM jamaknya rumah baca umumnya, setiap sisi ruangan utama di penuhi rak rak buku. Rumah besar seperti rumah penduduk kebanyakkan, tidak betingkat namun memiliki beberapa ruang yang lumayan luas untuk belajar. Saat memasuki DM, kami langsung disambut oleh suara tawa anak anak yang tengah mendengarkan cerita seorang wanita muda di ruangan paling depan. wanita itu tersenyum menyambut bapak, di ikuti  oleh seorang orang lelaki yang sigap mengmbil alih barang bawaan kami.
       “alhamdullah, pak alif, banyak sekali buku yang kita dapat hari ini.”
       “alhamdullah lah Mat. Oya, kenalin, ini temannya Roden. Untung ada dia yang bantuin bawa buku buku ini.” Pak alih berucap setelah barang bawaaan kami berpindah tangan.
       “oh, makasi bang. Saya Ahmad. Salah satu pengurus DM.” Aku balas menjabat tangannya.
       “Deris.”
       “silahkan duduk bang deris.” Tawarnya ramah. 
       Pak alif dan Ahmad duduk di sebuah sofa sederhana di ruang depan rumah, aku menyusul tak lama setelah ak Alif menyandarkan punggungnya dengan nyaman. Dari sini aku bisa melihat anak anak di ruangan lain masih asik mendengarkan gadis muda tadi bercerita.
       “silahkan di minum bang.” Ahmad kembali berbasa basi menyodorkan air meneral yang teretak di atas meja ke hadapanku.
       “terima kasih.” Balasku singkat.
       “tak usah mau malu nak deris. Anggap saja rumah sendiri.”
       Pak alif kembali melanjutkan cerita sesi pejalanan yang tdi terpotong. Di DM pengurus sekaligus guru pembimbing anak anak belajar berasal dari pemuda pemudi yang memang peduli pada nasip malang anak anak bangsa ini. Seperti Ahmad yang merupakan mahasiswa manajemen di kampus yang cukup ternama di jakarta. Aisyah, gadis yang bercerita tadi, adalah mahasiswi tingkat pertama jurusan sastra. Dia bersama dua teman perempuan lainnya, akan ke sini tiga kali seminggu. Sekitar 20 orang guru pembimbing di DM yang kesemuannya adalah mahasiswa dari erguruan tinggi bergengsi di sini. namun ke20 oang tersebut datang bergantian setiap harinya. Seperti hari ini, guru pengurus di DM hanya ahmad, aisyah dan dua temannya yang bertugas.
       Sedikit banyak, aku kagum dengan loyalitas mahasiwa ini. Hanya sebagai relawan saja, mereka mengabdikan diri sepenuh hati pada anak negri. Benar banar tampa pamrih.
       Saat kami tengah bercerita. Kepingan puzzel yang hilang dalam pencarian tak berujungku selama ini, tiba tiba saja menapakkan diri. Bola mataku nyaris keluar saking melototnya.
       “ buku gambar anak anak kemarin. Bapak yang simpan?”
       “astafirullah.. bapak lupa Mad. Tolong kamu ambilkan di lemari bapak.” Pak alif merogoh saku baju kokonya, dan menyodorkan sebuah kunci dengan gantungan kunci dari plastik bernomor 04, dan Tulisan Daruul Muqoomah yang telah pudar. Tak terbaca lagi, tapi jelas cara penulisannya sama persis dengan tulisan di grapura depan.
       Semunya seperti di perlambat. Mataku melotot penuh shock melihat gantungan kunci itu terulur tepat di depan hidungku, karna memang pak alif dan ahmad duduk berhadapan di batasi meja. Sedang aku tepat berada di sisi yang berbeda.
       Itu... itu mainan kunci yang sama persis. Sama prsis dengan kunci yang di berikan bapak. Kunci seribu misteri yang menekan pundakku selama ini.
       Kurasakan tubuhku bergerak otomatis cepat, tahu tahu kunci itu telah berada digenggamanku. Tak kupedulikan pekikan kaget pak alif maupun ahmad yang melihatku nyaris melompat menyambar kunci dari jemari pak alif.
       Aku bediri mematung.mengamati dengan cermat tiap incinya. Ya.. aku mengenali permukaan kasar di plastik tuliskan angka dan nomor ini. Aku mengenali dengan persis tulisan kabur di plastiknya. Sama dengan tulisan di gapura depan, dan juga mainan kunci yang di berikan bapak. Takdirkah? Tak salah lagi. Ini kunci yang sama.
       “nak deris, ada yang salah?”
       Aku mengangkat wajah, menatap lurus lurus pada wajah tua di hadapanku. Wajah tegas yang jelas jelas terlihat bingung dan tak mengerti dengan sikapku barusan.
       “apakah setiap kunci lemari di DM menggunakan mainan seperti ini?” tanyaku tajam. Bahkan wajahku terasa mengeras akan gertekanan antusias.
       “ya! Kenapa? ada yang salah?” kejar pak alif lagi.
       Sesaat aku di kuasaai bimbang. Bagaimana menjelaskannya? Di mulai dari manakah? Dari sudut mataku, ahmad terlihat berwaspada dengan ancang ancang menyerang.
       “siapakah pemilik lemari 107?”
       Pak alif ternganga, sebelum kemudian wajahnya berubah tenang tak wajar. Dia menatapi lamat lamat seolah menilai.
       “tidak ada lemari 107 di sini.” ucapnya tenang.
       Seketika aku menegang gusar. “Bohong!” suaraku satu oktaf naik lebih tinggi.
       “jaga nada bicara anda! Di sisni bukan tempat berteriak teriak.” Ahmad membentakku tak terima.
       Pak alif masih tetap tenang. Raut wajah tuanya terkendali. “ada hubungan apa kau dengan lemari 107?”
       Kurasakan kecurigaannya mulai mepengaruhi nada suara pak alif padaku. aku balas menantang, berusaha menyakinkan jika semua yang ku ucapkan bukanlah kebohongan.
       “aku, Deris Abdullah. Anak Abdullah pemilik lunci lemari Daruul Muqoomah nomor 107.” Ucapku penuh penekanan.
       Wajah pak alif menegang sesaat. “Tidak mungkin. Abdulah dan anak anaknya tidak di sini.”
       Aku menarik nafas berat. Pandanganku tertumpu ada kunci di genggamanku. “lebih tak mungkin lagi fakta jika abdullah, bapakku, telah meninggal besarta sepuluh saudaraku yang lain. Tersisa aku, satu saudaraku dan sebuah kunci bernomor 107 yang tak kami tahu terletak dimana lemarinya. Satu satunya petunjuk untuk apapun yang tersisa.”
       Mata pak alif membulat kaget. Aku tersenyum sendu. Setidaknya benar pak alif ini mengenal bapak. Itu sudah cukup. Tinggal lagi bagaimana aku menemukan lemarinya.
       “Melihat reaksi bapak, mungkin pak alif tahu siapa bapak. Jika bapak ingin tahu kenapa semua tak lagi sesuai dengan yanag pak alif bayangkan, itu karna masa lalu bapak telah menemukan kami.” Suaraku menambah kesunyian.
       Ahmad hanya berdiri gelisah tak mengerti tentang apa yang sedang berlangsung. Aku menatap pak alif dalam dalam. Pak alif menarik nafas. Membalas tatapanku.
       “oh.. kamu anak pak abdullah? Benar benar salah satu dari 12 anak pak abdullah?” meski terdengar tak yakin, jelas sekali pak alif telah memilih untuk percaya padaku.
       Aku tersenyum. “ya.. aku anak pak abdullah.”
*****
Kakiku terpancang kaku. Tiba tiba saja rasanya jantungku terpacu penuh kepanikkan. Aku menghambur masuk kedalam rumah yang berantakkan. Semua jungkir balik tak lagi pada tempatnya.
       “daffa!” aku berteriak histeris, menerobos masuk ke kamar daffa. Semua dalam ruangan itu bernasip sama dengan ruang depan. isi lemari keluar tak beraturan, kasur dan bantal berserakan di mana mana. Buku buku dan perlengkapan daffa bertebaran tak tentu arah. Ada yang memeriksa kamar ini. Malingkah?
panik aku kembali berlari kekamar yang baru dua minggu lalu kutinggalkan. Berantkan. Seperti baru saja di terjang puluhan benteng liar yang mengamuk. Baju bajuku berserakan begitu saja, tempat tidurku di jungkir balikkan. Seketika kekacuan ini membuatku pening. Apa yang di cari?
       Ottakku langsung buntu. Tak ada keberadaan daffa di manaupu. Tak mungkin dia yang melakukan kekacauan ini. Ada sesuatu yang terjadi di sini. dan setiap sel di tubuhku berontak mencemaskan daffa.
Hari ini aku berencana pulang kembali ke kontrakan lama ku bersama daffa untuk mengambil kunci lemari peninggalan bapak. Setelah bicara panajang lebar dengan pak alif, akhirnya ku temukan lemari itu. Bukan lemari, loker lebih tepatnya, persisi seperti tebakan daffa dulu. Loker 17. Penambahan angka nol di mainan kunci itu adalah ide bapak. Mungkin beliau tak ingin loker 17 di temukan orang lain. Cermat sekali. Tipe bapak sekali.
 Loker itu masih dalam keadaan terkunci. Di bagian atas pintu loker dubuatkan celah panajng layaknya kotak pos. Menurut pak alif, memang terkadang setiap satu minggu akan datang surat untuk bapak entah dari siapa. Pak alif maupun pengurus lain yang menerima surat itu akan lansung memasukkan surat dalam loker. Itu pesan bapak dahulu. Jika nanti surat yang di tujukan kepadanya datang, masukan saja ke dalam loker. Beliau akan mengambilnya langsung ke sini. sedang sampai saat ini, sudah enam belas bulan semenjak tarakhir bapak ke sini.
“jadi bapak sering ke sini?”
“tidak juga. Terkang hanya akbar dan aulia saja yang ke sini sekedar mengambil surat surat yang datang.”´aku tercenung di depan loker 17. Pak aliif dan ahmad berdiri tak jauh di belakangku.
Bang akbar, bang aulia.
Rasanya terasa aman, meski aku hanya mendengar nama mereka saja. Terlebih saat tau jika saat ini aku berhadapan dengan orang yang juga mengenal mereka.
“pak alif kenal bang akbar dan bang aulia?”
“ya.  Beberapa pengerus di sini juga mengenal mereka. Bahkan, Aisyah memintaku untuk menjodohkanya dengan aulia. Haha..” pak alif tertawa sumbang.
Aku tersenyum. Sedikit lega saat membayang kan aisyah yang mendongeng penuh kasih di depan anak anak tadi, bagaimana dulu salah tingkahnya bang aulia di perhatikan gadis seanggun itu.
Tawa pak alif berhenti. Terdengar tarikan nafasnya.
“bapak ikut berduka atas semua yang menimpa keluargamu.”
Aku mengangguk mengerti.
“kau boleh membuka loker itu. Barang kali orang yang mengirimkan surat itulah yang di maksud bapakmu.”
Ya. Aku juga berfikiran sama.
“apakah bapak punya kunci cadangan?” aku bertanya lirih. Bahkan sedari tadi posisiku masih belum berubah, menatapi loker itu dengan perasaan campur aduk.
“tidak. Kami tak punya kunci yang lain di sini. Pak abdullah sendiri yang meminta begitu.”
Aku menarik nafas. Kunci itu menyatu dengan kunci kontrakan lamaku dengan Daffa. Jika begini ceritanya, tak ada jalan lain selain aku harus kembali ke kontrakanku, dan mengambil kunci itu. Mengingat, pak alif dan ahmad yang masih menatapiku curiga,mereka tak akan senang jika salah satu lokernya kurusak. Lagian, daffa juga berhak tahu untuk semua ini.
Belum lagi matahari bersinar penuh, aku telah berebutan bus dengan beberapa pelajar untuk dapat keluar dari daerah ini. Jarak tempa ini dengan lokasi kontrakanku dulu tak terlalu jauh sebenarnya, namun karna tak ada angkutan umum yang berangkat langsung kesanan dari dua tempat ini, terpaksalah aku mutar mutar dulu. Sambung menyambung bus dan angkot.
Setelah sampai di kontrakanku sekeitar jam 10, aku mencium firasat buruk. Dari jauh aku bisa melihat jendelanya terbuka lebar. Bukan kebiasaan daffa sekali. Semakin dekat, ku sadari jika pintu tak terkunci, sedang pemandangan di dalam kontrakan centang perenang tak karuan. Ku percepat langkahku satu kali dorongan ku sentak kasar pintu yang masih setengah membukan, mataku langsun memandang nanar. Ruangan ini tak lebih layaknya gundang yang di obraik abrik seenak hati. Apa yang terjadi?
“Daffa!”
Terengah aku keluar dari kamarku. Panik membuat tubuhku gemetar. Kemana daffa? Saat kesadaran menyapaku, setengah berlari aku kembali ke ambang pintu, menyentakkankan daun pintu. Setika perasaan lege menyergapku. Di sana, di balik daun pintu masih tergantung kunci kontrakanku yang menyatu dengan kunci loker tujuanku. Syukurlah. Setidaknya kunci loker masih aman. Tanpa pikir panjang kurenggutkan kunci itu, menyimpannya dalam jaketku.
Sekarang, aku harus mencari tahu apa yang terjadi. Aku harus mencari keberadaan daffa. Harusnya, dalam situasi normal daffa di jam segini masih ada dirumah. Barang berantakan yang masih baru menandakan jika kejadian ini belum lama terjadi. Barang barang daffa juga masih ada, mustahil dia pindah dari sini.
“Deris?”
Aku menoleh. Diambang pintu kulihat abra memandangku memastikan. Bebrapa tetangga juga terlihat melongok dari luar.
“abra, kenapa..”
“kemana saja kau? Ponselmu juga tak pernah bisa di hubungi.”
Aku menangkap nada urgensi dari ucapannya.
“mana daffa?” aku memilih mengabaikan, “apa yang terjadi di sini ab?”
“jadi kau baru datang?”
Ku balas dengan anggukan. Abra melihat keluar, ke arah tetangga yang mulai berbisik bisik dan menatapiku dengan pandangan aneh.
“ikut aku. Tak aman bagimu di sini.” abra menarik tanganku keluar, terus berjalan menjauhi para tetangga yang mulai berkerumun.
“ada apa di sini?”
“nanti kujelaskan.”
Kami berhenti di gang belakang pasar yang lengang.
“di mana kau selama ini?” cecarnya tanpa basa basi.
“di tempat kenalanku. Sekarang itu tak penting ab. Tolong jelaskan kepadaku kenapa kontrakanku seperti itu. Mana daffa?”
“Terjadi kejadian dua malam lalu. Beberapa orang datang membawa daffa kembali kekontraknmu saat aku pulang kerja.”
“kau melihat orang itu? Siapa?”
“mereka memakai pakaian rapi ala kantoran, aku dapat melihat mereka mengikat daffa dan memaksanya masuk ke kontrakan kalian. Setelah itu ku dengar ribut ribut dari dalam rumah.”
Nafasku seakan lepas. Berpakaian rapi ala kantoran? Apakah kami telah di temukan?
“saat aku dan beberapa warga hendak masuk untuk melihat apa yang terjadi, salah satu dari orang tersebut keluar. Dia memakai senjata, dan mengancam kami unuk tidak ikut campur apa lagi menelfon polisi. Aku tak tahu siapa mereka, tapi melihat bergerakan mereka aku jadi ingat cerita anji dulu. Kira kira seperti itulah gambaran anji terhadap komplotannya dulu.”
Sekarang ku benar benar membeku.
“tak lama setelahnya, mereka membawa daffa pergi. Dan tak kembali sampai detik ini. Mereka selalu ke sini setiap harinya. Bahkan ada yang menanyakan keberadaanmu kepada warga di sini. mereka juga mengincarmu. Dan mereka jelas tak memiliki niat baik. Entah bagaimana keadaan daffa saat ini, saat sebelum pergi yang kulihat keadaannya cukup memprihatikan. Memar dan babak belur.” Abra menatapku, “tak aman bagimu jika tetap berada di sini.”
Lututku terasa goyah untuk sesaat. Bayangan pembunuhn keluargaku menari di pelupuk mataku. Sudah cukup banyak aku kehilang. Tidak lagi. Aku tak akan sanggup menerima kehilangan saudara terakhirku dengan misteri kunci pemberian bapak yang satu langkah lagi terpecahkan.
Abra menatampu prihatin. Seakan tak yakin dia kembali bersuara. “hm.. mungkin aku tahu kemana mereka mambawa daffa.”
pandanganku kembali menatapnya tajam. “dimana?”
“aku pernah mengikuti yang mengawasi rumahmu kemaren. Kemungkinan besar mereka juga membawa daffa ke sana.”
“dimana?” kejarku tak sabar.
“di daerah pesisir, jakarta utara. Rumah itu di jaga dengan ketat oleh orang yang berpakaian sama dengan orang yang membawa daffa dulu.”
Aku mengerjab. Artinya tak terlalu jauh dari tempat tinggalku dua minggu ini.
“tunjukan tempatnya padaku!” kucengkram lengan abra, menolak semua keberatan.
Kami berangkat dengan munggunkan motor Da Edi. Abra tak banyak bicara, selain memperingatkanku untuk tidak lagi ke kontrakanku. Tak ada yang menjamin jika tetangga kami akan tutup mulut mengenai kedatanganku tadi. Aku sendiri terfokos sepenuhnya pada orang orang yang membawa daffa. Mereka benar benar tak melepaskan kami. Secepat ini, dan mereka berhasil menemukan kami.
Setelah menempuh perjalanan lumayan jauh, abra memberhentikan motornya tak jauh dari tempat wisata pantai. Dari sini aku dapat meliahat rumah mewah yang dibangun tak jauh dari bibir pantai dengan tembok dua meter menglilinginya.
“itu rumahnya.”
Aku memicing. Dari kejauah rumah tiga tinkat itu terlihat sangat mewah. Dua pilar besar menyangga balkom latai dua dan tiga. Rumah bercat pitih itu terlihat seperti puri yang tak terjamah. Tombok setinggi dua meter mengeliligi rumah dengan tumbuhan merambat menghiasa permuakaan tembok. Hanya ada satu gerbang yang terlihat dijaga oleh bebrapa orang mencurigakan. Melihat pakainnya dapatkupastikan itu bawahan hyena.
“aku akn masuk kesana...”
“jangan tanpa perhitungan begitu. kita lapor saja pada polisi.”
“tidak. Kami buron ab.”
Mulut abra terbuka seakan hendak protes, namun menutup kembali seiring bersit ragu di kedua matanya. “apa rencanamu?”
“kita tunggu hingga malam. Aku akan menyusup masuk ke sana.”
“tak semudah itu!” dalam situasi ini abra menghilangkan kosa kata ‘bego’ diujung protesnya.
“aku tahu. Tapi pasti ada cara.” Aku bersikukuh.
“terserah kau saja. Sekarang sebaiknya kita menyingkir dari sini. ketahuan sedikit saja sama saja bunuh diri namanya.
******

Next episode
“oh, tidak! Tidak, tidak lagi. Daffa! Daf? Bangun!”
.....
“oh, lihat siapa yang datang mengntarkan nyawa.”
.....