Minggu, 28 Agustus 2016

seklise 'masih banyak yang lain"



Dulu.. dulu sekali aku akan tertawa meliahat orang lain menangis karna cinta. Setiap kali aku dipaksa jadi tong sampah cerita diluar makanan itu, selalu kata sindiran terselubungi pengertian sebagai balasanku. Sumpah aku gagal paham. Mereka menangis, tentunya sedih, tapi aku tak tahu sedihnya itu dimana. Aku bingung dengan respon hatiku yang cendrung sensitif tak mampu menelaah sakit yang membuat mereka tersedu sedu tiga malam. Full.
Lalu, saat aku di hadapkan pada kondisi sulit seperti “beri saran atau aku mati dehidrasi kehabisan cairan karna air mata ini”, aku mengalah. Kucerna pakai satu satunya yang bagian diriku yang mampu merespon keluhan mereka. Logika.
“sudahlah.. toh putus dengannya gak bakalan bikin stok beras habiskan?”
Atau
“hus hus, buang tuh ke parit. Gak penting. Kalo dia udah bikin jarimu ilang, trus gak tau sekarang keberadaannya dimana, oke! Baru deh ku kejar, kucincang, trus ku kasih ke ayam. Gak sampai gitu kan? Ya udah, diem”
Bahkan saat itu, kata kata paling klise seklise ‘masih banyak cowok lain, mungkin dia bukan yang terbaik buatmu’ saja tak terlintas dalam fikiranku. Haha.. entahlah. Jangan tanya respon mereka yang mendapat nasehat terpaksa dariku. Sebagian, ada yang terpengaruh haluanku.  Manggut manggut. Berehenti nangis. Trus ulang lagi dua jam berikutnya. Sebagian, bahkan langsung mem-black list namamku sebagai daftar orang yang harus dijauhi saat patah hati. Ini pencapain. Aku bangga, setidaknya tak ada yang mamaksa otakku bekerja diluar jalurnya.
Eits.. tunggu, tunggu. Bukan berarti aku tak peduli temannya. Aku peduli banget. Cuma memang ada beberapa hal yang tak bisa menyentuh rasa peduliku. Meski nangis darah sekalipun. Itu rasanya gimana sih? Kayak kelilipan bukan? Atau kayak jerawatan di lubang hidung? Atau kajatuhan martil pas kena jempol? Itu pertanyaan konyol. Beneran. Terakhir kali nanya begitu, aku langsung dicap sebagai manusia tak punya hati. Sadis. Tak punya perasaan. Tambah sadis. Teman nggak pengertian. Oke, sadis dan pedas. Makanya jomblo. Okesip, aku pergi!
Aku punya pacar kok! Punya! Tapi nggak gitu. Kami sering telfonan juga. Sama juga seperti telfonan para non jomblo. Pertanyaan yang paling aku suka dan bikin aku melayang adalah:  
“udah makan belum?”
Yap. Ini dia.
“belum, bawain makanan kesini ya”
Lumayankan, dapet makanan gratis. Nah belajar dari pengalaman ini, aku paling anti memberikan pertanyaan kayak gitu. Pada siapapun! Aku sudah lihat efek pertanyaan itu pada dia yang meringis nggak rela membawakan makanan. Jelas kali tersiksanya. Jadi, aku tak ingin ikutan tersiksa seperti itu.
Iya  aku pacaran. Tapi tetap saja. Ogah ah, nangis karana cowok kayak gitu!
Yah.. mungkin karna cowokku ini bukan level cowok  yang pantas ditangisi kali ya. Hehe.. (aku sadis..)
Pacaran ini bahkan berakhir entah kapan. Aku nggak tahu persisinya. Tahu kami udah putus karna kami nggak sengaja pertemu satu tahun kemudian. Gandeng cewek lain, disitu baru ku tahu jika kami putus. Dan baru nyadar jika sudah satu tahun kami tak berkomunikasi. Itu pacaran ala aku dulu. Jadi bukan hal aneh jika tiba tiba aku ngenalin cowokku hari ini, trus besoknya aku lupa yang mana orangnya. Catet, bukan karana banyak trus akunya cantik, tapi karana bagiku pacaran itu gak ada asiknya (kecuali makanan gratis), dan hal kuanggap tak penting sering kali kulupakan, meski berjarak 1 jam sekalipun.
Dari pembandingan pacaran ini, dapat ku tahu inilah perbedaanku dengan mereka yang mewek 3 malam karna cinta. Entahlah..
Tapi sekali lagi.. itu dulu sekali.
Sekarang?
Hmmm...

Senin, 22 Agustus 2016

Pangeran Maestro 3



                  “Ris, kau pernah jatuh cinta?” 

                Aku berhenti menggerakkan jemariku d iatas keyboard lettop di pangkuanku. Rangkaian kata untuk essay Bilogi terputus begitu saja. Menatap tak mengerti pada Rian di sampingku. Sebagai pribadi yang pendiam, pertanyaan Rian itu sukses membuatku bingung. Rian masih terpekur rebahan menelungkup pada lettop di depannya. Seolah bukan dia yang bertanya.

                “Tak usah menantapku begitu”  Rian mengangkat wajahnya, menatapku datar.

                “Hm.. ”  itu jelas pertanyaan yang membutuhkan jawaban.

                “Kau belum menjawab” tuntutnya tak sabar.

                “Ngapain kau menanyakan itu?”

                “Oi, itu juga bukan jawaban”

                Oke. Itu pertanyaan konyol. Kami bahkan tak menjumpai mahluk bernama perempuan di sini. Kecuali saat kami mendapat giliran menjual hasil ladang ke pasar desa. Jika yang bertanya Yol atau Sten, mungkin aku akan terpingkal pingkal menyemburkan tawa sampai perutku kejang. Tapi ini Rian. Orang yang tak kan terlalu peduli skitar kecuali hal yang membuatnya tertarik. Orang yang tak kan bicara panjang lebar setiap harinya. Dan menertawakan Rian bukanlah pekerjaan yang aman. Dia dulu bahkan sempat meninju Yol karna si biang rusuh mengusili lukisannya si kamar. Dan menertawakan Rian, tak lebih buruk dari itu. Aku tak ingin berakhir sama. Di tambah lagi, aku sudah mengantuk. Aku hanya ingin menyelesaikan essay ini, lalu tidur secepat mungkin. Ini sudah jam 10 mlam. 

                “Hei,  kau hanya perlu menjawab pernah dan tidak saja kan?”

                “Hm.. tidak sih. Mungkin belum” tegasku lagi. Alis rian terngkat, sebelum dia bicara langsung kutambahkan buru buru, “Maksudku, aku tak tau jatuh cinta itu seperti apa. Tapi jika tertarik pada seseorang, aku pernah”

                “Hah? Kapan?’

                Aku tertawa. Ada kilat antusias di mata Rian sekarang. Kilat yang jarang sekali memperlihatkan diri.
                “sekitar satu tahun belakangan sih”

                Dan sekarang ekpresi kaget tak dapat di sembunyukannya.

                “serius kau? Siapa orannya?”

                “wah.. tumben kau ingin tahu sesuatu selain musik dan lukisan”

                Rian tak peduli.  “Aku Cuma penasaran saja. Kau jelas berbeda dari Yol dan Sten yang masih balita  dan sudah pasti takkan terlibat dalam urusan konyol bernama jatuh cinta. Lagian kita sudah 17 tahun, sudah seharusnya dekat dengan seorang wanita”

                “Maksudnya kau ingin bilang kalau sekarang kau sedang jatuh cinta bukan?”

 Pas. Tepat sasaran. Rian terdiam. Sebelum kemudian wajahnya memerah menahan malu. 

“hahaha.. Rian jatuh cinta, Rian jatuh cinta!” Persis Yol yang menyebalkan.

Rian salah tingkah. Tangannya menggapai buku dalam jangkauannya, dan detik berikutnya mendarat dengan tidak manusiawinya di kepalaku. Tawaku berubah jadi keluhan kesakitan.

“Tertawa lagi, kulempar lettop ini kewajahmu. Ya tuhan, ku tarik lagi kata kataku tadi. Kau sama saja dengan Yol dan Sten, tahu?”  

Aku mendengus geli.

“oke oke.. ini serius. Kau jatuh cinta? Pada siapa?’

Rian menarik nafas. Memdudukkan dirinya menyandar pada dinding ruang multi media. Hanya kami di sini. Kebetulan saja. Aku bahkan keget saat melihat Rian asik disini tadi. Mungkin dia juga sedang mengerjakan essay sama sepertiku. Tapi tak mungkin juga. Rian dan Daffa adalah orang yang takkan makan malam sebelum PR mereka selesai. Jadi ngapain dia di ruangan Wi Fi ini? Namun saat aku bertanya tadi, dia hanya mengangkat bahu tak peduli. Dan sekarang, dia mngajakku bicara masalah konyol.

“kau duluan”

“hei, kau yang memulai”

“pokoknya aku ingin kau yang pertama bicara” Bagus. Sekarang Rian setingkat di bawah Sten. Mau menang sendiri.

“oke” menyerah. Aku memulai. Lagian tak ada ruginya bicara dengan Rian. “ aku suka dengan anak tukang es cendol di pasar desa” aku melirik Rian. Memastikan ekpresinya. 

“Gadis berambut panjang yang membuat lehermu terkilir tempo hari karna terus melihat ke kedai cendol  itu?”

“hei, leherku tak terkilir!”

“setidaknya itu prediksi Bang Aulia sewaktu kau terus melihat ke arah sana”

Sial. Sekarang aku yang memerah. Bahkan Bang Aulia tau. Ini pasti saat kami belanja ke pasar dulu. Bang Aulia memang sempat tertawa melihatku. Tapi tak pernah sekalpun dia membahasnya. Memalukan. 

“bagaimana kau tahu?”

“ kau aneh waktu itu” 

Hello, dengan tanpa tawa mengejek, aku justru semakin malu melihat Rian menanggapi rahasiaku. 

“ah. Sudahkan?  Sekarang diliranmu” 

“belum.  Hm.. Sudah satu tahun kau suka pada gadis itu. Apakah kau sudah bicara dengannya”

“ish.. boro boro bicara, aku bahkan tak tahu namanya”

“tak kau tanyakan?”

“hei.. kau pikir itu gampang?”

“kau kan sudah sering beli es cendolnya. Bapak penjualnya mungkin sudah mengangap kau sebagai langganan.”

“jadi menurutmu aku harus tanya sama bapaknya?”

“apa salahnya!”

Mataku membulat. Dia bicara seolah itu gampang saja. Memang dia pernah merasakan bagaimana rasanya keringan dingin dan lidah tekelu hanya karna gadis itu mananyakan pesananku. Eh.. tunggu! Atau Rian sudah mengalami kejadian serupa? Lalu melangkah seperti sarannya padaku. Anak ini, mana mungkin lebih berani dari ku? 

“hei.. kau tak peru menatapku begitu”  dia bahkan tahu arti pandangan menilaiku.

“makanya ku bilang mungkinkan? Mungkin aku pernah jatuh cinta”

“itu bukan alasan. Kau saja yang kurang berani”

“orang yang tak berani bercerita duluan mengenai cinta, tak pantas bicara begitu padaku!”

Rian mengambil nafas sabar. “oke, mari kita simpulkan. Jadi kau suka pada si gadis anak penjual cendol di pasar desa. Kau selalu menatapinya dari jauh selama satu tahun belakangan ini. Jadi pelanggan tetap setiap mendapat giliran ke pasar, tapi tak tahu nama gadis itu. Benar?”

“kau tak perlu mengulasnya sejelas itu”     
       
“oke” Rian tak peduli protesku. “karna kau hanya akan seperti ini saja, giliran ke pasar selanjutnya aku kan membantumu”

Aku menatapinya sangsi. 

“oi, sudah berapa kali dari tadi kau meremehkanku. Aku bantu, oke?”

Ada nada penekanan di kata ‘bantu’ terakhir. 

“lalu, kau juga mau ku bantu?”langsung

Rian menyeringai. Firasatku menyatakan akan ada hal yang tak baik akan di ucapkannya.

“tentu saja”

“apa?”

“bantu aku keluar dari rumah ini” 

Sekarang giliranku yang tak dapat menetralisir kekagetanku. 

Rian memutar lettopnya menghadapku. Menunjukkan sesutu yang jadi tampilan layar.sebuah situs media sosia dengan profil gadis manis di sana. Sudah ku duga. Ini alasannya masuk ruangan kuat Wi Fi. Dan mungkin nyaris setiap malam.

“Dia pacarku”

“...” 

Hening. 

Apa dia bilang? Pacar? Sejak kapan? Ini bahkan melebihi dari ekspetasiku terhadapnya. 

“jangan mati di sini”

“A- aku tidak mati!”

“kalau begitu nyaris” 

“sejak kapan kau pacaran dengan.. ”aku menunjuk gadis di lettponya. Sial, lebih cantik dari Gadis cendol. 

“sudah 3 bulan”

“ceritakan!” aku tak mampu manahan rasa pnasaranku lagi. 

“aku kenal dia lewat media sosial ini sejak 6 bulan lalau. Namanya ranti. Cantik bukan?”

Aku tak memberi jawaban. 

“lalu?”

 “Dia sekolah di kota. kelas 1 SMA. Kami sudah lama chating, ngbrol juga. Tapi belum sekalipun bertemu. Tapi kami sudah merasa dekat, sudah merasa saling kenal. Dia sudah menceritakan semua tentang dirinya, begitu pun aku”

“apa? Tunggu tunggu!” aku mengibaskan tangan mengiterupsi cerita. Banyak hal yang harus ku pastikan di sini. 

“apa?” 

“pertama, kau bilang apa tadi? Ngobrol? Pake apa?” Bapak tak memberikan kami alat komunkasi luar, kecuali telepon rumah. Itu pun terlrtak di meja ruang baca Bapak. Tempat paling tabu untuk dikunjungi seenak nya. 

“Pake ini.” Rian menunjukkan lagi media sosialnya, tempat kolom obrolan. Di pojok sana,terdapat gambar berupa gangang telepon. “Ini bisa digunakan untuk telponan. Kau tak tau?  Bahkan  Yol dan Sten saja sudah menggunakan ini mingu lalu, meski sesama mereka saja sih. Dan tak satu ni saja yang menyediakan layanan seperti ini. Media sosial yang lain juga bisa. Bahkan kami juga sering video call dengan ini. Apa kau hanya menggunakan ruangan ini sekedar tugas Bang Akbar?”

“jangan bicara seolah aku yang paling kudet di sini” tegurku kesal. Aku tahu. Tentu saja aku tahu. Tapi tak pernah terfikir oleh ku untuk masuk sejauh ini dalam pergaulan dunia maya. Aku juga punya media sosial. Aku juga pernah chatingan. Tapi sekedar pertemanan biasa. Mengisi dan mengenal dunia di luar rumah dan pasar desa. Hanya itu. 

“jangan heran begitu. Aku yakin, Bang bas, Bang Aulia dan mungkin Bang Akbar juga punya gebetan lain di dunia seperti ini. Bahkan Daffa, Yol dan Sten sekalipun.Hanya ini dunia yang menghubungkan kita dengan dunia luar. Hanya ini yang mebuat kita di kenal, dan hanya ini yang membuat kita di akui. Berteman dengan perempuan, yang hanya bisa kita lihat saat giliran ke pasar desa.”

“Apakah Bang Akbar dan yang lain tahu hubunganmu dengan cewek itu?”

“Ranti, ris. Namanya Ranti. Hm.. tidak. Aku juga tak bodoh untuk memberitahu ini ke mereka. Lagian peraturan tak tertulis disini, jelas jelas menyuruhmu untuk terpisah dari dunia luar. Aku yakin, pacaran termasuk salah satu pelanggaran disini.”

Aku tak tahu harus bicara apa. Bapak tak mungkin mempenjarakan kami di sini. Kami nyaman disini, di beri tempat tingga, makan, pendidikan dan keluarga. Bapak memberikan kami kehidupan yang layak. Meskipun , seperti halnya Rian, aku juga merasakan Bapak membatasi pergaulan kami. Kehidupan kami seperti harus dirahasiakan dari dunia luar. Aku tak tahu kenapa, tapi Bapak meng memberi sinyal kerahasiaan tinggat tinggi terhadap kerahsian keluarga ini. Ini hal kedua yang harus kupastkan ke Rian.

“lalu, apa saja yang telah kau katakan padanya”

“hal yang menurutku tak apa apa jika kukatakan padanya” balas Rian santai. Sangat santai. “lupakan pembahasan ini. Kau sudah dengar ceritaku. Sekarang bantu aku, oke?”

Sip. Aku mencium aroma bahaya sekarang.

“apa?”

“bantu aku ketemuan dengan nya. Kami sudah pacaran, meski kami sudah saling mengetahui wajah dari foto dan video call, tapi tetap saja kami harus bertemu langsungkan?”

“kau memintaku untk memikirkan bagaimana caranya kau bisa bertemu dengannya?”

“tepat”

Aku melotot kesal. Inginya sih, aku berlalu saja tanpa ikut campur dengan masalah cinta Rian. Masa bodoh. Tapi, jika aku bisa membantuya, Rian juga akan membantuku kenalan dengan gadis cendol, bahkan mungkin bisa lebih dari sekedar kenalan saja. Dia saja sudah pacaran miski tak bertemu langsung dengan gadis itu, bukankah itu hebat?

Ku putuskan untuk tidak mengeluarkan aura membunuh. Iri memang,tapi tak ada salahnya saling membantu. Lagian siapa lagi yang bisa membantuku untuk dekat dengan gadis cendol. Sten dan Yol jelas jelas tak munkin. Daffa? Boro boro. Dia lebih mirip kaki tangan bang Akbar ketimbang sahabat. 

“baiklah..” 

“bagus!” Rian tersenyum lebar.

“kau bisa tukar giliran dengan Dori ke pasar minggu besok. Biar aku yang bilang padanya. Kau bisa bertemu pacarmu di situ”

“tak bisa, kau harus menemaniku ke kota”

“kau gila! Tak mungkin kita diizinkan ke sana, bego!

“kau baru saja menyandingkan kata gila dan bego untukku”

“agrh.. kita tak punya alsan unuk ke kota, bego” sergahku lagi. Abai pada protes Rian.

“jika ini mudah Deris Abdullah, aku sudah melakukannya dari tiga bulan, eh, bukan, satu tahu lalu”  katnya dramatis.

“kau sudah tau, kita Cuma punya peluang pertemuan di pasar desa. Tempat yang bisa kita kunjungi. Kau bisa menyuruhnya ke sana bukan? Masalah Bang Bas nanti, biar aku yang urus”

“kau tahu jarak kota ke sini kan? Tak mungkin seorang gadis kesini sendirian. Lagian, mau taruh dimana muka ku? Aku ini lelaki, aku yang berkewajiban menemuinya ke sana.”

“lalu kita ke sana pakai apa? Menghilang”

Rian terdiam. Ekpresinya terlihat sedang memikirkan hal yang rumit. Aku menunggu sembari mengira ngira, segila apa Rian jika sudah nekat. 

“Aku ikut rencanamu. Aku akn mengantikan Dori minggu depan. Lalu kita berpisah dari bang Bas, dan kita ke kota”

Aku melongo. Banyak hal yang cacat dari rencana gilanya.

“Rian Abdullah..” aku menjelaskan dengan suara tenang. Tenang untuk menekan keinginanku untuk segera beranjak pergi meninggalkan Rian dengan pikiran gilanya “ ada beberapa hal yang cacat dari rencanamu. Pertama, kita tak punya uang kesana. Kedua, meskipun kita punya uang, kita tak tahu bagaimana caranya kesana. Ketiga, kalu pun kita sampai ke kota, kita belum tahu daerah itu, meski kita penah disana dulu. Keempat, aku tak tega melihat bang Bas di hukum Bapak gara gara kita, dan yang kelima, AKU TAK MAU KENA HUKUM KARANA IDE GILAMU INI!” danlepas sudah emosiku.

“ssttt.. kau bisa bicara dengan pelan nggak sih? Kau mau Bang Akbar kesini? Ini sudah lewat jam 10 malam, dan aku tak ingin diusir dari sini.”

Aku memandang Rian dengan pandangan menhina. Biar!

“ayolah.. kita laki laki. Itu bisa kita atasi. Aku punya uang. Hei.. jangan membunuhku dengan pandanganmu itu” aku mengerjap. Tadi dia bilang apa? Punya uang? Dari mana? “ aku menjual tanaman obat yang kutemukan di hutan belakang. Lumayan untuk biaya kita ke kota”

Oh ya, pantas. Rian memang yang paling semangat dalam belajaran biologi. Berapa kali bang Aulia menegurnya karna terlalu sering pergi ke hutan belakang rumah dengan alasan peljaran ini. Begini rupanya pekerjaannya.  Apa ini memang sudah di rencanakan dari dulu? Bahkan kami tak pernah berfikir untuk mencari uang. Bagiku , uang tak ada gunanya disini. Toh semua kebutuhan kami tersedia. Jika ada masalah tinggal bicara. Hasil kebun pun sekedar untuk kebutuhan rumah dan belanja seperlunya. 

“bagaiman? Kau bisa membantuku kan?”

Aku bergeming

“ayolah.. kau juga pasti bosan selalu disini kan? Kita bisa jalan jalan. Sebelum malam kita sudah di sisni lagi. Kita juga bisa mngarang ngarang alasan jika nanti di tanya. Bilang saja kita tersesat, atau menolong orang lain. Percayalah Bapak tak akan curiga.”

Aku merenung sebentar. Benar juga sih. Aku juga ingin melihat kota. Meski bapak memberikan kan kami akses internet tanpa batas untuk bisa mengenali dunia luar, tatap saja rasanya berbeda. Meski dulu aku membenci kota,sekarang aku juga penasaranuntuk kembali menapaki kota dengan sdudut pandang yang berbeda. 

“baiklah.. aku ikut” putusku pasrah.

Rian berbinar. Sedikit melonjak saat dia memastikan.

“sip! Mingu besok, kita ke kota.”

Aku tersenyum miris. Entah apa tanggapan Daffa saat tahu aku menyetujui ide gila ini.

Dan Minggunya, rencana itu hancur jadi debu. Bakan aku dan Rian tak di perkenankan ikut ke pasar desa waktu itu. Bapak memergoki Rian di ruang multi media malam setelah kami bicara. Menyita lettopnya, dan mengorek semua yang sudah Rian sampaikan pada Ranti. Pelangaran! aku bahkan tak pernah melihat Rian semarah itu sebelumnya. Dia bahkan berteriak dan membantig pintu kamar. Membuat Ilham ketakutan dan mengungsi ke kamar Arfat. 

Aku di introgasi. Rian tak pernah bicara mengenai rencana kami, namun obrolannya dengan si pacar yang di periksa bapak, mau tak mau menyeret namaku juga. Aku tak melihat kemarahan bapak. Hanya kekhawatiran. Tapi atas apa? Aku tak tahu. Bang Akbar dan yang lain juga terlihat sama bingungnya.

“Bapak hanya ingin melindungi kalian” 

Konyol. Kami laki laki remaja. Larangan pacaran bukan kategori melindungi.




Sekrang, terjawab semua kekwatiran itu. 

Aku mencengkram batang pohon yang kebetulan terhanyut di sampingku. Sekuat tenaga ku hela tubuhku ke permukaan sungai yang masih mengila. Terbatuk dan mengambil nafas setelah lama terbenam. Entah sudah berapa banyak air memenuhi paru paruku. Di tengah ujan ku jamkan metaku memerksa sekitar. Aku tak melihat sosok daffa di manapu. Aku ingin berteriak memanilnya, api sungguh aku tak lagi punya tenaga. Sekuatnya kucengkram pokok pohon ini dalam ombang ambing arus sungai. 

“Deris..!”

Samar ku dengar suara Daffa. Ku cari dalam pekat malam. Kliahat seseorang tengah terduduk di tepi sungai. Basah kuyup dan kehabisan tenaga. Kayu yang kutumpangi melewati tempat itu begitu saja. 

Aku melompat. Mengayun tubuh ketepi dengan sisa tenaga terakhir. Setelah susah payah berjuang melawan arus, aku berhasil menghela diri ke tepi sungai. Hujan yang masih mengguyur membuat tepi sungai menjadi licin dan becek. Berkali kali aku tergelincir saat merangkak menuju tempat yang lebih tinggi. Aku menelungkup ke payahan. Menyembunyikan wajahku dari hujan. Tempat ini terletak jauh dari tempat Daffa tadi. 

Aku tak sanggup lagi berdiri. Tenagaku terkuras habis. Mereka tak mengejar lagi kan? Hujan membuat tubuhku kaku. Mati rasa. Ku rasakan langkah gontai ke arahku. Munkin Daffa. Aku tak peduli sekarang. Terlalu lelah untuk membuka mataku. Aku merasa tubuhku di seret. Entah kemana.

*********

Aku terbangun saat matahari tepat menghujam wajahku. Aku mengerjap silau. Dingin. Perlahan kupaksakan tubuhku untuk bangun. Sakit semua persendian, menanakan tubuhku tak di tidurkan di tempat yang nyaman. Aku mngucek mataku, mengumpulkan kesadaran. 

Butuh waktu 60 detik bagiku untuk merangkai dan mengingat semuanya. Dari penyerangan tiba tiba hingga aku terkpar di sisni. Terduduk di engah hutan aku brada dibwah pohon pohon besar. Di sampingku, tergeletak begitu saja sosok tubuh Daffa. Dari helan nafasnya yang tenang dapat ku pastikan dia tertidur. Baju kokonya kumal dan lembab, terlihat tak nyaman. Sama dengan pakaiannku.

Matahari telah tinggi. Sudahmendekati tengah hari. Aku meraba pinggangku, tempat tas basah pemberian Bapak masih melekat. Apa isinya? Tidak. Aku belum bisa membukanya skarang. Setidak setelah semuanya sudah pasti aman. Ini biang semua masalah kami.disini jawaban semua pertanyaan yag dari dulu selalu jadi misteri.

“argh...” Daffa bangun sembil mengegangi kepalanya. Terlihat kacau dan berantakan. 

                Satu jam setelahnya kami telah memasuki desa. Tanpa uang. nyaris seperti gembel.
Setelah musyawarah singkat kami, kami memutuskan untuk memulai dari desa. Melapor ke pada kepala desa dan melihat keadaan rumah kami. 

                Daffa berjalan tergesa membelah hutan dengan baju kumal kering di badan. Begitupun aku. Jarak rumah kepala desa tak jauh dari pasar. Mau tak mau kami haru melewati pasar dulu. Aku terseok seok mengikuti. Memar dan meriang. Tapi tak ada waktu untuk merasakan itu sekarang. Semua harus selasai. Kami harus tahu keadaan keluarga kami. Itu yang terpenting. namun saat kami baru memasuki jalan desa, daffa tiba tiba saj menarikku ke rimbunan semak. Naluri membunyikan alram bahaya. Ku ikuti Daffa yang menyembunyikan diri rapat rapat dalam semak. Tangannya menunjuk bebrapa orang yang berbincang tak jauh dari kami. Bukan penduduk desa. 

                “apa mereka mencari kita?” bisik tetap mengawasi empat pria yang tengah berbicara dengan seorang penduduk desa. 

                “Mungkin saja” balas Daffa dengan suara yang rendah. Tubuhnya menegang seketika saat penduduk desa yang kami awasi menunjuk nunjuk ke arah kami, bukan, tepatnya jalan tempat kami memunculkan diri. Empat orang berjas hitam itu mengangguk sopan dan berjalan pelan menuju arah kami. 

Aku mersa nafasku hilang, saat Daffa makin menarikku ke bawah semak. Sementara beberapa orang tersebut makin mendekat ke arah kami. Aku mencengkram tas di pingangku. Seolah tas tersebut bisa terbang sendirinya ke arah mereka. Ya Tuhan, sebegitu ber artikah tas ini, hinga Bapak merelakan nyawa kami dan nyawanya sendiri untuk melindungi semua ini.  Belum lagi usaha perempuan gila dan anak buahnya. Sebenarnya apa isi tas ini? Siapa bapak?

Selagi pikiranku di penuhi pertanyaan, orang orang yang kami waspadai telah melewati kami, berjalan memasuki hutan. Aku masih belum berani keluar, begitupun Daffa, khawatir mereka kembali lagi, atau mungkin masi ada yang lain di belkang mereka. Ini gawat. Bahkan untuk memasuki desa pun kami takkan bisa. Mereka tentu sudah mewaspadai ini. Di sini tak aman lagi.

Kami keluar dengan waspada. Berjalan memasuki desa dengan jalan memutar ke rumah belakang rumah penduduk. Bagaimanapun juga kami arus memastikan keadan. Lupa sepenuhnya pada tubuh babak belur dan perut yang belum lagi di isi. 

Lamat lamat, kami berhasil memasuki pasar. Daffa sudah membungkus tubuhnya dengan jaket jemuran warga saat kami mengendap ngendap di belakang rumah warga. Aku sendiri memaksakan kaos lengan panjang melampisi baju kokoku yang mengenaskan. Entak kepunyaan sipa. Yan penting kami harus menyamakan kesn gembel kami dn bergabung engan warga yang hendak ke pasar. 

“kasian Pak Abdullah itu ya..” 

Aku mematung. Daffa ikut ikutan berhenti di samping kedai toke sayuran. Sang toke tengah bicara dengan pemilik kedai buah di samping kedainya. Biasanya kami memang mnjual semua hasil ladang. dan pada toke sayur inilah bapak sedikit bicara mengenai status kami yang hanya nak angkat.

“ku dengar ini semua ulah dua orang anak angkatnya”

“iya, polisi sedang mencari keberadaan pembunuh itu. Itulah.. kalau mau mengangkat anak angkat, ya lihat lihat dulu lah. Ini malh memilihar psikopat” 

Dan sekarang aku seolah tuli. Mereka tentu membicarakan bapak. Tapi apa katanya barusan? Dua orang anak angkat psikopat?pembunuh? Jangan bilang..

“sepertinya mereka membicarakan kita” Daffa melirih disampingku. Dia mengangkat kerah jeket untuk menyamarkan wajahnya. Aku menerawang. Ini masih beitu cepat. Terlalu berat untukku mencerna fakta yang di suguhkn di depanku. 

“apa artinya tak ada yang selamat” 

“mustahil. Entah siapa orang orang itu, yang jelas mereka punya pengaruh. Sekarang justru kita yang di pojokkan” Daffa menarik nafas berat. Posisi kami yang tersembunyi gang kedai yang sesak oleh barang, membuat kami tidak mencolok di tengah keramaian. 

“kita harus ke rumah kepala desa” Daffa mendahuluiku yang masih dilamun lamunan. Seaat aku mengerjap. Mencoba membawa diri pada fakta yang ada. Bangkit Ris. Kau harus jalan.

Kami berjalan kikuk, menghindar tatpan warga saat melintasi pasar. Aku merasa was was saat melihat beberapa orang yang tak nampak seperti warga desa justru banyak mengisi pasar. Curiga, ku percepat langkaku, menyusul Daffa. 

Saat mendekati rumah kepala desa, darahku langsung hilang seketika. Ku tahan langkah Daffa di sampingku. Selanjuny, kusesali keputusan kami untuk ke sini. Daffa juga tergugu. Di sana, di halman rumah si kepala desa, bebrapa polisi sedang duduk duduk. Bukan itu yang membuatku terkaget, tapi siapa yang membaur dengan mereka. Bebrap wajah yang ku kenali sebagai penodong kami tad malam. Sialnya, mereka berbalut seragm polisi. Polisikah? 

Ku tarik Daffa menepi sebelum salah satu dari mereka mengenali kami. Memutar, kami mencoba mendekati rumah dari belakang. Ada firasat kuat membawaku untuk mengintai ke dalam rmah si kepala desa. Daffa malah terlebih dahulu mencapai rumah.

 Aku mengedarkan pndangan. 

Aman. 

Daffa menunduk, mendekati jendela yang terbuka. Aku mengikuti. Dan saat mataku mengentip dari celah gorden jendela aku tahu, kejutan hari ini belumlah selesai. Daffa di sampingku menahan nafas tegang. 

Di sana, di sofa tamu duduklah wanita berdarah dingin tadi malam. Tanpa balutan blezer, hanya baju kemeja biasa, dia menangis pedih mengenggam saputangan yang basah. Apa lagi ini Tuhan?

Bebrapa orang lainnya adalah si kepala desa dan seorang polisi. Mungkin pimpinannya. 

“sabar mbak. Kami pasti akan menangkap pelakunya”

“tolong pak polisi, ayah saya.. ayah saya, ya tuhan”  dan dia menangis lagi. Air mata membanjir. Aku tercekat, merasai firasat tak baik.

“tenang mbak, saya yakin hidup pembunuh itu tak akan tenang” sekarang suara pak kepala desa terdengar menenangkan. 

“ayah..” dia berusaha bicara dalam sesegukan tangis. “... ayah tak mau mendengarkan perkataan saya. Mereka bukan anak anak baik. Sekarang saya.. saya, saya takkan bertemu lagi dengan ayah” tangisnya tak lagi terbendung, bahunya naik turun.

Aku serasa mengawang. Aku tahu jalan cerita ini. Daffa menggertakan gigi geram. 

“bisa anda ceritakan mengenai mereka?”

“saya tak terlalu kenal mereka Pak. Saya juga jarang pulang. Tapi saya tahu, ayah selalu menyayangi mereka. Dua orang itu memang terlihat aneh. Sekarang, mereka membunuh ayah saya pak.. membunuh anak angkat bapak yang lain. Mereka juga membawa surat berharga keluarga kami.”

“Ya.. saya sudah mencatat keterangan anda mengenai itu. Jujur kami kesulitan mengoleh TKP. Membakar rumah dan seluruh penghuni adalah pembunuhan paling sadis. Kemungkinn mereka mengalami gangguan jiwa”

Aku gemeteran. Membakar? Jangan bilang.. tidak tidak.

“saya.. saya tak tahu pak. Saat saya pulang, sudah bnyak warga di sekitar rumah, dan.. dan.. dan ya tuhan.” Dia terguncang lagi.

Aku menggigit bibir. Menenangkan gejolak emosiku. Oh.. jadi sekarng dia adakah anak bapak. Anak yang melaporkan pembunuhan keluarganya pada polisi dengan kami sebagi tersangka utama. Hebat. Setidaknya sekarang kami tahu, melapor kepada ke kepala desa maupun polisi adalah bunuh diri.

“kita pergi!” Daffa mendesis tajam. Penuh kobaran emosi. Aku mengangguk lemah.

Kami berjalan jongkok menunju tempat kami datang tadi. Saat kami berdiri sampai di ujung dinding rumah, Daffa yang berjalan di depan terhenti. Matanya menatap horor ke depan. arah samping rumah, aku yang masih terlindung di belakang rumah samping Daffa dapat merasakan ketegangan di matanya. 

“kalian di sini”

Dan aku membeku





To Be Continued