“Ris, kau pernah jatuh cinta?”
Aku
berhenti menggerakkan jemariku d iatas keyboard lettop di pangkuanku. Rangkaian
kata untuk essay Bilogi terputus begitu saja. Menatap tak mengerti pada Rian di
sampingku. Sebagai pribadi yang pendiam, pertanyaan Rian itu sukses membuatku
bingung. Rian masih terpekur rebahan menelungkup pada lettop di depannya.
Seolah bukan dia yang bertanya.
“Tak
usah menantapku begitu” Rian mengangkat
wajahnya, menatapku datar.
“Hm..
” itu jelas pertanyaan yang membutuhkan
jawaban.
“Kau
belum menjawab” tuntutnya tak sabar.
“Ngapain
kau menanyakan itu?”
“Oi,
itu juga bukan jawaban”
Oke.
Itu pertanyaan konyol. Kami bahkan tak menjumpai mahluk bernama perempuan di
sini. Kecuali saat kami mendapat giliran menjual hasil ladang ke pasar desa.
Jika yang bertanya Yol atau Sten, mungkin aku akan terpingkal pingkal
menyemburkan tawa sampai perutku kejang. Tapi ini Rian. Orang yang tak kan
terlalu peduli skitar kecuali hal yang membuatnya tertarik. Orang yang tak kan
bicara panjang lebar setiap harinya. Dan menertawakan Rian bukanlah pekerjaan
yang aman. Dia dulu bahkan sempat meninju Yol karna si biang rusuh mengusili
lukisannya si kamar. Dan menertawakan Rian, tak lebih buruk dari itu. Aku tak
ingin berakhir sama. Di tambah lagi, aku sudah mengantuk. Aku hanya ingin
menyelesaikan essay ini, lalu tidur secepat mungkin. Ini sudah jam 10 mlam.
“Hei, kau hanya perlu menjawab pernah dan tidak
saja kan?”
“Hm..
tidak sih. Mungkin belum” tegasku lagi. Alis rian terngkat, sebelum dia bicara
langsung kutambahkan buru buru, “Maksudku, aku tak tau jatuh cinta itu seperti
apa. Tapi jika tertarik pada seseorang, aku pernah”
“Hah?
Kapan?’
Aku
tertawa. Ada kilat antusias di mata Rian sekarang. Kilat yang jarang sekali
memperlihatkan diri.
“sekitar
satu tahun belakangan sih”
Dan
sekarang ekpresi kaget tak dapat di sembunyukannya.
“serius
kau? Siapa orannya?”
“wah..
tumben kau ingin tahu sesuatu selain musik dan lukisan”
Rian
tak peduli. “Aku Cuma penasaran saja.
Kau jelas berbeda dari Yol dan Sten yang masih balita dan sudah pasti takkan terlibat dalam urusan
konyol bernama jatuh cinta. Lagian kita sudah 17 tahun, sudah seharusnya dekat
dengan seorang wanita”
“Maksudnya
kau ingin bilang kalau sekarang kau sedang jatuh cinta bukan?”
Pas. Tepat sasaran. Rian terdiam. Sebelum
kemudian wajahnya memerah menahan malu.
“hahaha.. Rian
jatuh cinta, Rian jatuh cinta!” Persis Yol yang menyebalkan.
Rian salah
tingkah. Tangannya menggapai buku dalam jangkauannya, dan detik berikutnya
mendarat dengan tidak manusiawinya di kepalaku. Tawaku berubah jadi keluhan
kesakitan.
“Tertawa lagi,
kulempar lettop ini kewajahmu. Ya tuhan, ku tarik lagi kata kataku tadi. Kau
sama saja dengan Yol dan Sten, tahu?”
Aku mendengus
geli.
“oke oke.. ini
serius. Kau jatuh cinta? Pada siapa?’
Rian menarik
nafas. Memdudukkan dirinya menyandar pada dinding ruang multi media. Hanya kami
di sini. Kebetulan saja. Aku bahkan keget saat melihat Rian asik disini tadi.
Mungkin dia juga sedang mengerjakan essay sama sepertiku. Tapi tak mungkin
juga. Rian dan Daffa adalah orang yang takkan makan malam sebelum PR mereka
selesai. Jadi ngapain dia di ruangan Wi Fi ini? Namun saat aku bertanya tadi,
dia hanya mengangkat bahu tak peduli. Dan sekarang, dia mngajakku bicara
masalah konyol.
“kau duluan”
“hei, kau yang
memulai”
“pokoknya aku
ingin kau yang pertama bicara” Bagus. Sekarang Rian setingkat di bawah Sten.
Mau menang sendiri.
“oke”
menyerah. Aku memulai. Lagian tak ada ruginya bicara dengan Rian. “ aku suka
dengan anak tukang es cendol di pasar desa” aku melirik Rian. Memastikan
ekpresinya.
“Gadis
berambut panjang yang membuat lehermu terkilir tempo hari karna terus melihat
ke kedai cendol itu?”
“hei, leherku
tak terkilir!”
“setidaknya
itu prediksi Bang Aulia sewaktu kau terus melihat ke arah sana”
Sial. Sekarang
aku yang memerah. Bahkan Bang Aulia tau. Ini pasti saat kami belanja ke pasar
dulu. Bang Aulia memang sempat tertawa melihatku. Tapi tak pernah sekalpun dia membahasnya.
Memalukan.
“bagaimana kau
tahu?”
“ kau aneh
waktu itu”
Hello, dengan
tanpa tawa mengejek, aku justru semakin malu melihat Rian menanggapi rahasiaku.
“ah. Sudahkan?
Sekarang diliranmu”
“belum. Hm.. Sudah satu tahun kau suka pada gadis itu.
Apakah kau sudah bicara dengannya”
“ish.. boro
boro bicara, aku bahkan tak tahu namanya”
“tak kau
tanyakan?”
“hei.. kau
pikir itu gampang?”
“kau kan sudah
sering beli es cendolnya. Bapak penjualnya mungkin sudah mengangap kau sebagai
langganan.”
“jadi
menurutmu aku harus tanya sama bapaknya?”
“apa
salahnya!”
Mataku
membulat. Dia bicara seolah itu gampang saja. Memang dia pernah merasakan
bagaimana rasanya keringan dingin dan lidah tekelu hanya karna gadis itu
mananyakan pesananku. Eh.. tunggu! Atau Rian sudah mengalami kejadian serupa?
Lalu melangkah seperti sarannya padaku. Anak ini, mana mungkin lebih berani
dari ku?
“hei.. kau tak
peru menatapku begitu” dia bahkan tahu
arti pandangan menilaiku.
“makanya ku
bilang mungkinkan? Mungkin aku pernah jatuh cinta”
“itu bukan
alasan. Kau saja yang kurang berani”
“orang yang
tak berani bercerita duluan mengenai cinta, tak pantas bicara begitu padaku!”
Rian mengambil
nafas sabar. “oke, mari kita simpulkan. Jadi kau suka pada si gadis anak
penjual cendol di pasar desa. Kau selalu menatapinya dari jauh selama satu
tahun belakangan ini. Jadi pelanggan tetap setiap mendapat giliran ke pasar,
tapi tak tahu nama gadis itu. Benar?”
“kau
tak perlu mengulasnya sejelas itu”
“oke” Rian tak
peduli protesku. “karna kau hanya akan seperti ini saja, giliran ke pasar
selanjutnya aku kan membantumu”
Aku menatapinya
sangsi.
“oi, sudah
berapa kali dari tadi kau meremehkanku. Aku bantu, oke?”
Ada nada
penekanan di kata ‘bantu’ terakhir.
“lalu, kau
juga mau ku bantu?”langsung
Rian
menyeringai. Firasatku menyatakan akan ada hal yang tak baik akan di ucapkannya.
“tentu saja”
“apa?”
“bantu aku
keluar dari rumah ini”
Sekarang
giliranku yang tak dapat menetralisir kekagetanku.
Rian memutar
lettopnya menghadapku. Menunjukkan sesutu yang jadi tampilan layar.sebuah situs
media sosia dengan profil gadis manis di sana. Sudah ku duga. Ini alasannya
masuk ruangan kuat Wi Fi. Dan mungkin nyaris setiap malam.
“Dia pacarku”
“...”
Hening.
Apa dia
bilang? Pacar? Sejak kapan? Ini bahkan melebihi dari ekspetasiku terhadapnya.
“jangan mati
di sini”
“A- aku tidak
mati!”
“kalau begitu
nyaris”
“sejak kapan
kau pacaran dengan.. ”aku menunjuk gadis di lettponya. Sial, lebih cantik dari
Gadis cendol.
“sudah 3
bulan”
“ceritakan!”
aku tak mampu manahan rasa pnasaranku lagi.
“aku kenal dia
lewat media sosial ini sejak 6 bulan lalau. Namanya ranti. Cantik bukan?”
Aku tak
memberi jawaban.
“lalu?”
“Dia sekolah di kota. kelas 1 SMA. Kami sudah
lama chating, ngbrol juga. Tapi belum sekalipun bertemu. Tapi kami sudah merasa
dekat, sudah merasa saling kenal. Dia sudah menceritakan semua tentang dirinya,
begitu pun aku”
“apa? Tunggu
tunggu!” aku mengibaskan tangan mengiterupsi cerita. Banyak hal yang harus ku
pastikan di sini.
“apa?”
“pertama, kau
bilang apa tadi? Ngobrol? Pake apa?” Bapak tak memberikan kami alat komunkasi
luar, kecuali telepon rumah. Itu pun terlrtak di meja ruang baca Bapak. Tempat
paling tabu untuk dikunjungi seenak nya.
“Pake ini.”
Rian menunjukkan lagi media sosialnya, tempat kolom obrolan. Di pojok
sana,terdapat gambar berupa gangang telepon. “Ini bisa digunakan untuk
telponan. Kau tak tau? Bahkan Yol dan Sten saja sudah menggunakan ini mingu
lalu, meski sesama mereka saja sih. Dan tak satu ni saja yang menyediakan
layanan seperti ini. Media sosial yang lain juga bisa. Bahkan kami juga sering
video call dengan ini. Apa kau hanya menggunakan ruangan ini sekedar tugas Bang
Akbar?”
“jangan bicara
seolah aku yang paling kudet di sini” tegurku kesal. Aku tahu. Tentu saja aku
tahu. Tapi tak pernah terfikir oleh ku untuk masuk sejauh ini dalam pergaulan
dunia maya. Aku juga punya media sosial. Aku juga pernah chatingan. Tapi
sekedar pertemanan biasa. Mengisi dan mengenal dunia di luar rumah dan pasar
desa. Hanya itu.
“jangan heran
begitu. Aku yakin, Bang bas, Bang Aulia dan mungkin Bang Akbar juga punya gebetan
lain di dunia seperti ini. Bahkan Daffa, Yol dan Sten sekalipun.Hanya ini dunia
yang menghubungkan kita dengan dunia luar. Hanya ini yang mebuat kita di kenal,
dan hanya ini yang membuat kita di akui. Berteman dengan perempuan, yang hanya
bisa kita lihat saat giliran ke pasar desa.”
“Apakah Bang
Akbar dan yang lain tahu hubunganmu dengan cewek itu?”
“Ranti, ris.
Namanya Ranti. Hm.. tidak. Aku juga tak bodoh untuk memberitahu ini ke mereka.
Lagian peraturan tak tertulis disini, jelas jelas menyuruhmu untuk terpisah dari
dunia luar. Aku yakin, pacaran termasuk salah satu pelanggaran disini.”
Aku tak tahu
harus bicara apa. Bapak tak mungkin mempenjarakan kami di sini. Kami nyaman
disini, di beri tempat tingga, makan, pendidikan dan keluarga. Bapak memberikan
kami kehidupan yang layak. Meskipun , seperti halnya Rian, aku juga merasakan
Bapak membatasi pergaulan kami. Kehidupan kami seperti harus dirahasiakan dari
dunia luar. Aku tak tahu kenapa, tapi Bapak meng memberi sinyal kerahasiaan
tinggat tinggi terhadap kerahsian keluarga ini. Ini hal kedua yang harus
kupastkan ke Rian.
“lalu, apa
saja yang telah kau katakan padanya”
“hal yang menurutku
tak apa apa jika kukatakan padanya” balas Rian santai. Sangat santai. “lupakan
pembahasan ini. Kau sudah dengar ceritaku. Sekarang bantu aku, oke?”
Sip. Aku
mencium aroma bahaya sekarang.
“apa?”
“bantu aku
ketemuan dengan nya. Kami sudah pacaran, meski kami sudah saling mengetahui
wajah dari foto dan video call, tapi tetap saja kami harus bertemu
langsungkan?”
“kau memintaku
untk memikirkan bagaimana caranya kau bisa bertemu dengannya?”
“tepat”
Aku melotot
kesal. Inginya sih, aku berlalu saja tanpa ikut campur dengan masalah cinta Rian.
Masa bodoh. Tapi, jika aku bisa membantuya, Rian juga akan membantuku kenalan
dengan gadis cendol, bahkan mungkin bisa lebih dari sekedar kenalan saja. Dia
saja sudah pacaran miski tak bertemu langsung dengan gadis itu, bukankah itu
hebat?
Ku putuskan
untuk tidak mengeluarkan aura membunuh. Iri memang,tapi tak ada salahnya saling
membantu. Lagian siapa lagi yang bisa membantuku untuk dekat dengan gadis
cendol. Sten dan Yol jelas jelas tak munkin. Daffa? Boro boro. Dia lebih mirip
kaki tangan bang Akbar ketimbang sahabat.
“baiklah..”
“bagus!” Rian
tersenyum lebar.
“kau bisa
tukar giliran dengan Dori ke pasar minggu besok. Biar aku yang bilang padanya.
Kau bisa bertemu pacarmu di situ”
“tak bisa, kau
harus menemaniku ke kota”
“kau gila! Tak
mungkin kita diizinkan ke sana, bego!
“kau baru saja
menyandingkan kata gila dan bego untukku”
“agrh.. kita
tak punya alsan unuk ke kota, bego” sergahku lagi. Abai pada protes Rian.
“jika ini
mudah Deris Abdullah, aku sudah melakukannya dari tiga bulan, eh, bukan, satu tahu
lalu” katnya dramatis.
“kau sudah
tau, kita Cuma punya peluang pertemuan di pasar desa. Tempat yang bisa kita
kunjungi. Kau bisa menyuruhnya ke sana bukan? Masalah Bang Bas nanti, biar aku
yang urus”
“kau tahu
jarak kota ke sini kan? Tak mungkin seorang gadis kesini sendirian. Lagian, mau
taruh dimana muka ku? Aku ini lelaki, aku yang berkewajiban menemuinya ke
sana.”
“lalu kita ke
sana pakai apa? Menghilang”
Rian terdiam.
Ekpresinya terlihat sedang memikirkan hal yang rumit. Aku menunggu sembari mengira
ngira, segila apa Rian jika sudah nekat.
“Aku ikut
rencanamu. Aku akn mengantikan Dori minggu depan. Lalu kita berpisah dari bang
Bas, dan kita ke kota”
Aku melongo.
Banyak hal yang cacat dari rencana gilanya.
“Rian
Abdullah..” aku menjelaskan dengan suara tenang. Tenang untuk menekan
keinginanku untuk segera beranjak pergi meninggalkan Rian dengan pikiran gilanya
“ ada beberapa hal yang cacat dari rencanamu. Pertama, kita tak punya uang
kesana. Kedua, meskipun kita punya uang, kita tak tahu bagaimana caranya
kesana. Ketiga, kalu pun kita sampai ke kota, kita belum tahu daerah itu, meski
kita penah disana dulu. Keempat, aku tak tega melihat bang Bas di hukum Bapak
gara gara kita, dan yang kelima, AKU TAK MAU KENA HUKUM KARANA IDE GILAMU INI!”
danlepas sudah emosiku.
“ssttt.. kau
bisa bicara dengan pelan nggak sih? Kau mau Bang Akbar kesini? Ini sudah lewat jam 10 malam, dan aku tak ingin
diusir dari sini.”
Aku memandang
Rian dengan pandangan menhina. Biar!
“ayolah.. kita
laki laki. Itu bisa kita atasi. Aku punya uang. Hei.. jangan membunuhku dengan
pandanganmu itu” aku mengerjap. Tadi dia bilang apa? Punya uang? Dari mana? “
aku menjual tanaman obat yang kutemukan di hutan belakang. Lumayan untuk biaya
kita ke kota”
Oh ya, pantas.
Rian memang yang paling semangat dalam belajaran biologi. Berapa kali bang
Aulia menegurnya karna terlalu sering pergi ke hutan belakang rumah dengan
alasan peljaran ini. Begini rupanya pekerjaannya. Apa ini memang sudah di rencanakan dari dulu?
Bahkan kami tak pernah berfikir untuk mencari uang. Bagiku , uang tak ada
gunanya disini. Toh semua kebutuhan kami tersedia. Jika ada masalah tinggal
bicara. Hasil kebun pun sekedar untuk kebutuhan rumah dan belanja seperlunya.
“bagaiman? Kau
bisa membantuku kan?”
Aku bergeming
“ayolah.. kau
juga pasti bosan selalu disini kan? Kita bisa jalan jalan. Sebelum malam kita
sudah di sisni lagi. Kita juga bisa mngarang ngarang alasan jika nanti di
tanya. Bilang saja kita tersesat, atau menolong orang lain. Percayalah Bapak
tak akan curiga.”
Aku merenung
sebentar. Benar juga sih. Aku juga ingin melihat kota. Meski bapak memberikan
kan kami akses internet tanpa batas untuk bisa mengenali dunia luar, tatap saja
rasanya berbeda. Meski dulu aku membenci kota,sekarang aku juga penasaranuntuk
kembali menapaki kota dengan sdudut pandang yang berbeda.
“baiklah.. aku
ikut” putusku pasrah.
Rian berbinar.
Sedikit melonjak saat dia memastikan.
“sip! Mingu
besok, kita ke kota.”
Aku tersenyum
miris. Entah apa tanggapan Daffa saat tahu aku menyetujui ide gila ini.
Dan Minggunya,
rencana itu hancur jadi debu. Bakan aku dan Rian tak di perkenankan ikut ke
pasar desa waktu itu. Bapak memergoki Rian di ruang multi media malam setelah
kami bicara. Menyita lettopnya, dan mengorek semua yang sudah Rian sampaikan
pada Ranti. Pelangaran! aku bahkan tak pernah melihat Rian semarah itu
sebelumnya. Dia bahkan berteriak dan membantig pintu kamar. Membuat Ilham
ketakutan dan mengungsi ke kamar Arfat.
Aku di
introgasi. Rian tak pernah bicara mengenai rencana kami, namun obrolannya dengan
si pacar yang di periksa bapak, mau tak mau menyeret namaku juga. Aku tak
melihat kemarahan bapak. Hanya kekhawatiran. Tapi atas apa? Aku tak tahu. Bang
Akbar dan yang lain juga terlihat sama bingungnya.
“Bapak hanya
ingin melindungi kalian”
Konyol. Kami
laki laki remaja. Larangan pacaran bukan kategori melindungi.
Sekrang,
terjawab semua kekwatiran itu.
Aku
mencengkram batang pohon yang kebetulan terhanyut di sampingku. Sekuat tenaga
ku hela tubuhku ke permukaan sungai yang masih mengila. Terbatuk dan mengambil
nafas setelah lama terbenam. Entah sudah berapa banyak air memenuhi paru
paruku. Di tengah ujan ku jamkan metaku memerksa sekitar. Aku tak melihat sosok
daffa di manapu. Aku ingin berteriak memanilnya, api sungguh aku tak lagi punya
tenaga. Sekuatnya kucengkram pokok pohon ini dalam ombang ambing arus sungai.
“Deris..!”
Samar ku
dengar suara Daffa. Ku cari dalam pekat malam. Kliahat seseorang tengah
terduduk di tepi sungai. Basah kuyup dan kehabisan tenaga. Kayu yang kutumpangi
melewati tempat itu begitu saja.
Aku melompat.
Mengayun tubuh ketepi dengan sisa tenaga terakhir. Setelah susah payah berjuang
melawan arus, aku berhasil menghela diri ke tepi sungai. Hujan yang masih
mengguyur membuat tepi sungai menjadi licin dan becek. Berkali kali aku
tergelincir saat merangkak menuju tempat yang lebih tinggi. Aku menelungkup ke
payahan. Menyembunyikan wajahku dari hujan. Tempat ini terletak jauh dari
tempat Daffa tadi.
Aku tak
sanggup lagi berdiri. Tenagaku terkuras habis. Mereka tak mengejar lagi kan?
Hujan membuat tubuhku kaku. Mati rasa. Ku rasakan langkah gontai ke arahku.
Munkin Daffa. Aku tak peduli sekarang. Terlalu lelah untuk membuka mataku. Aku
merasa tubuhku di seret. Entah kemana.
*********
Aku terbangun
saat matahari tepat menghujam wajahku. Aku mengerjap silau. Dingin. Perlahan
kupaksakan tubuhku untuk bangun. Sakit semua persendian, menanakan tubuhku tak
di tidurkan di tempat yang nyaman. Aku mngucek mataku, mengumpulkan kesadaran.
Butuh waktu 60 detik bagiku untuk merangkai dan mengingat semuanya. Dari penyerangan tiba tiba
hingga aku terkpar di sisni. Terduduk di engah hutan aku brada dibwah pohon
pohon besar. Di sampingku, tergeletak begitu saja sosok tubuh Daffa. Dari helan
nafasnya yang tenang dapat ku pastikan dia tertidur. Baju kokonya kumal dan
lembab, terlihat tak nyaman. Sama dengan pakaiannku.
Matahari telah
tinggi. Sudahmendekati tengah hari. Aku meraba pinggangku, tempat tas basah
pemberian Bapak masih melekat. Apa isinya? Tidak. Aku belum bisa membukanya
skarang. Setidak setelah semuanya sudah pasti aman. Ini biang semua masalah
kami.disini jawaban semua pertanyaan yag dari dulu selalu jadi misteri.
“argh...” Daffa
bangun sembil mengegangi kepalanya. Terlihat kacau dan berantakan.
Satu
jam setelahnya kami telah memasuki desa. Tanpa uang. nyaris seperti gembel.
Setelah musyawarah singkat kami,
kami memutuskan untuk memulai dari desa. Melapor ke pada kepala desa dan
melihat keadaan rumah kami.
Daffa
berjalan tergesa membelah hutan dengan baju kumal kering di badan. Begitupun
aku. Jarak rumah kepala desa tak jauh dari pasar. Mau tak mau kami haru
melewati pasar dulu. Aku terseok seok mengikuti. Memar dan meriang. Tapi tak
ada waktu untuk merasakan itu sekarang. Semua harus selasai. Kami harus tahu
keadaan keluarga kami. Itu yang terpenting. namun saat kami baru memasuki jalan
desa, daffa tiba tiba saj menarikku ke rimbunan semak. Naluri membunyikan alram
bahaya. Ku ikuti Daffa yang menyembunyikan diri rapat rapat dalam semak.
Tangannya menunjuk bebrapa orang yang berbincang tak jauh dari kami. Bukan
penduduk desa.
“apa
mereka mencari kita?” bisik tetap mengawasi empat pria yang tengah berbicara
dengan seorang penduduk desa.
“Mungkin
saja” balas Daffa dengan suara yang rendah. Tubuhnya menegang seketika saat
penduduk desa yang kami awasi menunjuk nunjuk ke arah kami, bukan, tepatnya
jalan tempat kami memunculkan diri. Empat orang berjas hitam itu mengangguk
sopan dan berjalan pelan menuju arah kami.
Aku mersa
nafasku hilang, saat Daffa makin menarikku ke bawah semak. Sementara beberapa
orang tersebut makin mendekat ke arah kami. Aku mencengkram tas di pingangku.
Seolah tas tersebut bisa terbang sendirinya ke arah mereka. Ya Tuhan, sebegitu
ber artikah tas ini, hinga Bapak merelakan nyawa kami dan nyawanya sendiri
untuk melindungi semua ini. Belum lagi
usaha perempuan gila dan anak buahnya. Sebenarnya apa isi tas ini? Siapa bapak?
Selagi
pikiranku di penuhi pertanyaan, orang orang yang kami waspadai telah melewati
kami, berjalan memasuki hutan. Aku masih belum berani keluar, begitupun Daffa,
khawatir mereka kembali lagi, atau mungkin masi ada yang lain di belkang mereka.
Ini gawat. Bahkan untuk memasuki desa pun kami takkan bisa. Mereka tentu sudah
mewaspadai ini. Di sini tak aman lagi.
Kami keluar
dengan waspada. Berjalan memasuki desa dengan jalan memutar ke rumah belakang
rumah penduduk. Bagaimanapun juga kami arus memastikan keadan. Lupa sepenuhnya
pada tubuh babak belur dan perut yang belum lagi di isi.
Lamat lamat,
kami berhasil memasuki pasar. Daffa sudah membungkus tubuhnya dengan jaket
jemuran warga saat kami mengendap ngendap di belakang rumah warga. Aku sendiri
memaksakan kaos lengan panjang melampisi baju kokoku yang mengenaskan. Entak kepunyaan
sipa. Yan penting kami harus menyamakan kesn gembel kami dn bergabung engan
warga yang hendak ke pasar.
“kasian Pak Abdullah
itu ya..”
Aku mematung.
Daffa ikut ikutan berhenti di samping kedai toke sayuran. Sang toke tengah
bicara dengan pemilik kedai buah di samping kedainya. Biasanya kami memang
mnjual semua hasil ladang. dan pada toke sayur inilah bapak sedikit bicara
mengenai status kami yang hanya nak angkat.
“ku dengar ini
semua ulah dua orang anak angkatnya”
“iya, polisi
sedang mencari keberadaan pembunuh itu. Itulah.. kalau mau mengangkat anak
angkat, ya lihat lihat dulu lah. Ini malh memilihar psikopat”
Dan sekarang
aku seolah tuli. Mereka tentu membicarakan bapak. Tapi apa katanya barusan? Dua
orang anak angkat psikopat?pembunuh? Jangan bilang..
“sepertinya
mereka membicarakan kita” Daffa melirih disampingku. Dia mengangkat kerah jeket
untuk menyamarkan wajahnya. Aku menerawang. Ini masih beitu cepat. Terlalu berat
untukku mencerna fakta yang di suguhkn di depanku.
“apa artinya
tak ada yang selamat”
“mustahil. Entah
siapa orang orang itu, yang jelas mereka punya pengaruh. Sekarang justru kita
yang di pojokkan” Daffa menarik nafas berat. Posisi kami yang tersembunyi gang
kedai yang sesak oleh barang, membuat kami tidak mencolok di tengah keramaian.
“kita harus ke
rumah kepala desa” Daffa mendahuluiku yang masih dilamun lamunan. Seaat aku
mengerjap. Mencoba membawa diri pada fakta yang ada. Bangkit Ris. Kau harus
jalan.
Kami berjalan
kikuk, menghindar tatpan warga saat melintasi pasar. Aku merasa was was saat
melihat beberapa orang yang tak nampak seperti warga desa justru banyak mengisi
pasar. Curiga, ku percepat langkaku, menyusul Daffa.
Saat mendekati
rumah kepala desa, darahku langsung hilang seketika. Ku tahan langkah Daffa di
sampingku. Selanjuny, kusesali keputusan kami untuk ke sini. Daffa juga
tergugu. Di sana, di halman rumah si kepala desa, bebrapa polisi sedang duduk
duduk. Bukan itu yang membuatku terkaget, tapi siapa yang membaur dengan
mereka. Bebrap wajah yang ku kenali sebagai penodong kami tad malam. Sialnya,
mereka berbalut seragm polisi. Polisikah?
Ku tarik Daffa
menepi sebelum salah satu dari mereka mengenali kami. Memutar, kami mencoba mendekati
rumah dari belakang. Ada firasat kuat membawaku untuk mengintai ke dalam rmah
si kepala desa. Daffa malah terlebih dahulu mencapai rumah.
Aku mengedarkan pndangan.
Aman.
Daffa
menunduk, mendekati jendela yang terbuka. Aku mengikuti. Dan saat mataku
mengentip dari celah gorden jendela aku tahu, kejutan hari ini belumlah
selesai. Daffa di sampingku menahan nafas tegang.
Di sana, di
sofa tamu duduklah wanita berdarah dingin tadi malam. Tanpa balutan blezer, hanya
baju kemeja biasa, dia menangis pedih mengenggam saputangan yang basah. Apa lagi
ini Tuhan?
Bebrapa orang
lainnya adalah si kepala desa dan seorang polisi. Mungkin pimpinannya.
“sabar mbak. Kami
pasti akan menangkap pelakunya”
“tolong pak
polisi, ayah saya.. ayah saya, ya tuhan”
dan dia menangis lagi. Air mata membanjir. Aku tercekat, merasai firasat
tak baik.
“tenang mbak, saya
yakin hidup pembunuh itu tak akan tenang” sekarang suara pak kepala desa
terdengar menenangkan.
“ayah..” dia
berusaha bicara dalam sesegukan tangis. “... ayah tak mau mendengarkan
perkataan saya. Mereka bukan anak anak baik. Sekarang saya.. saya, saya takkan
bertemu lagi dengan ayah” tangisnya tak lagi terbendung, bahunya naik turun.
Aku serasa
mengawang. Aku tahu jalan cerita ini. Daffa menggertakan gigi geram.
“bisa anda
ceritakan mengenai mereka?”
“saya tak
terlalu kenal mereka Pak. Saya juga jarang pulang. Tapi saya tahu, ayah selalu
menyayangi mereka. Dua orang itu memang terlihat aneh. Sekarang, mereka
membunuh ayah saya pak.. membunuh anak angkat bapak yang lain. Mereka juga
membawa surat berharga keluarga kami.”
“Ya.. saya sudah
mencatat keterangan anda mengenai itu. Jujur kami kesulitan mengoleh TKP. Membakar
rumah dan seluruh penghuni adalah pembunuhan paling sadis. Kemungkinn mereka
mengalami gangguan jiwa”
Aku gemeteran.
Membakar? Jangan bilang.. tidak tidak.
“saya.. saya
tak tahu pak. Saat saya pulang, sudah bnyak warga di sekitar rumah, dan.. dan..
dan ya tuhan.” Dia terguncang lagi.
Aku menggigit
bibir. Menenangkan gejolak emosiku. Oh.. jadi sekarng dia adakah anak bapak. Anak
yang melaporkan pembunuhan keluarganya pada polisi dengan kami sebagi tersangka
utama. Hebat. Setidaknya sekarang kami tahu, melapor kepada ke kepala desa
maupun polisi adalah bunuh diri.
“kita pergi!”
Daffa mendesis tajam. Penuh kobaran emosi. Aku mengangguk lemah.
Kami berjalan
jongkok menunju tempat kami datang tadi. Saat kami berdiri sampai di ujung
dinding rumah, Daffa yang berjalan di depan terhenti. Matanya menatap horor ke
depan. arah samping rumah, aku yang masih terlindung di belakang rumah samping
Daffa dapat merasakan ketegangan di matanya.
“kalian di
sini”
Dan aku
membeku
To Be Continued