Dulu di satu masa, kita pernah bermimpi besama. Pernah merajut
angan yang sama.
Tuhan melimpahkan sayangnya. Mengabulkanapapun yang kau
minta, apa yang ku ingin. Mendekatkan kita, mengikatkan kita dalam sebuah
hubungan yang telah terlihat muaranya.
Lalu, kita mulai lupa siapa penentu takdir.
Tak sadar kita mulai angkuh memastikan laksana tuhan. Memutuskan
seolah penguasa.
Lupa, kita mulai merancang takdir kita sendiri. Melukis
jalan layaknya peta kehidupan. Kau dan aku, sama angkuhnya.
Pelan pelan, kutelusuri peta kehidupan dengan jemariku. Berhenti
dititik yang kutandai. Tersenyum dan mereka reka sebuah keharusan. Harus seperti
inilah perasaanku nantinya, harus begini keadaan kita nanti. Lalu kutelusuri
lagi, melewati tanda yang lain. Hingga jemariku
berhenti di akhir garis yang kutandai. Tempat dimana kita tua dan mati. Aku tesenyum.
Sempurna. Sebuah rancangan hidup yang sempurna.
Hujan turun...
Aku tergugu menggenggam peta kehidupan kita yang hancur
diremas hujan.
Tidak..
Ini mimpi kan?
Diseberang hujan, kau juga membeku mengenggam peta kehidupan
yang menguap ditengah panas terik.
Kau terpana.
Sebelum menunduk dan mengangguk.
Ah... benar.
Tuhan marah. Ini balasan atas kecongkakan kita bukan?
Kita yang terlalu lancang. Lancang melukis masa depan. Bahkan
sekarang, tuhan tak memberikan kita kesempatan untuk mencapai satu tanda yang
telah kita sepakati.
Hm.. kawan, kita hanya punya rancangan. Bukan kita penentu
jalannya.
iyaaa...
BalasHapusrencana mau nikah tahun ini, agaknya gagal lagi nih! wkwkwk