“Kalian di sini?”
Aku membeku. Daffa menegang di tempatnya.
Tak berani sedikitpun mengalihkan pandangannya dari makhluk yang entah siapa di
hadapannya.
Aku menunggu. Bersiap
mengantisipasi teriakan pemberitahuan dari orang itu, atau bebrapa langkah yang
akan datang mendekati tempat ini. Sial. Kanapa kami tak mewaspadai kemungkinan
ini sebelummnya.
Beberapa menit selanjutnya, suara itu tak lagi terdengar. Derap langkah
pun tak datang menghampiri. Jika tak melihat wajah Daffa yang masih mengeras
tegang, aku akan mempercayai suara itu hanya permainan ilusi semata. Namun
sorot mata Daffa masih menunjukkan kewaspadaan. Entah siapa yang berada di depannya,
jelas sama bekunya dengannya. Tak melakukan pergerakkan apapun.
“Perglah..” lirih.
Aku mengerjap bingung. Suara itu kembali terdengar, tanpa emosi, datar
dan selirih bisikan. Aku bergerak hendak
melihat sosok itu, namun Daffa mengangkat tangannya, menahan langkahku.
“kami tak melakukan semua itu.
Kami dijebak” balas Daffa tanpa menoleh padaku. Menantang dengan kilat mata
berani.
“Aku tahu. Pergilah sebelum mereka mengetahui kalian di sini”
Gelisah, aku tak tahan lagi. Sosok ini jelas jelas tak berbahaya. Sigap
aku melangkah ke samping Daffa, melihat siapa di sana.
Seseorang seperempat abad, berdiri di ditengah lorong, diapit diding
tembok rumah kepala desa dengan tumbuhan pembatas setinggi kepala. Menyorotiku
dengan pandangan kaget. Pakaian rapi dan rambut cepak yang di juga sissir rapi.
Dia ku kenali sebagai sekretaris desa. Pemuda terpelajar yang pernah berkunjung
ke tempat kami untuk mendata angota keluarga sebagai bagian dari warga desa. Di
tangan pemuda itu, tergenggam posel yang jelas mengisyaratkan keterbaian. Mungkin tadi dia tengah menerima
telfon penting dan menjauh dari keramian.
“Wanita itu..”
“.. aku tahu!” ptongnya mementalkan penjelasan Daffa.
Aku mengernyit bingung. Jika dia tahu, lalu kenapa dia.,.
“Pergilah...” ulangnya sabar, “Kalian tersangka utama dalam kasus ini.
Tinggalkan desa ini, mulailah hidup baru, dan jauhi masalah, apapun itu”
Apa? Siapa dia? Kami harus menyelesaikan ini semua. Meluruskan ini
semua.
“kalian tak punya kesempatan” ucapannya setelah membaca ekspresi tak
suka dariku.
Setan! Aku bahkan tak tahu nama orang ini, dan mngkin juga tak terlalu
ingat nama kami, tapi caranya bicara seakan dia tahu semua. Tak punya
kesempatan katanya? Bukankah dia sendiri bilang jika dia tahu semuanya?
“ kalian takkan bisa meyakinkan semua orang. Wanita itu.. ku yakin
kalian telah meliahatnya di dalam, dia berbahaya. Untuk saat ini pergilah
dulu.”
“dia pembunuhnya!” desis Daffa tajam.
Mata sekretaris desa membulat kage. Detik berikutnya kembali
ekspresinya terkendali. Meski raut syok masih tergambar di mtanya.
“berarti dia lebih berbahaya dari yang kuperkirakan. Cepat pergi, sebelum
kalian tertangkap!”
“tapi kami..
“kalian tersangka utama yang sedang diburu.kesakian tersangka tanpa
bukti takkan membantu kalian sama sekali” ptongnya menjelaskan.
Aku menelan ludah pahit. Dia benar.
“Bapak?” Akhirnya aku bertanya parau. Tak sanggup mengeluarkan
pertanyaan lengkap.
“Tak ada yang selamat”
“Tak mungkin!”
“ini disengaja. Cepat! Tak aman bagi kalian di sini. ”
Benar lagi. Jika kami terus bertahan di sini cepat atau lambat mereka
akan menemukan kami.
Daffa mendahuluiku
menerobos semak belakang rumah. Aku
menatapi sang sekretaris desa. Sedikit takjub, heran dan rasa terimakasih
kucoba sampaikan lewat pandangan mataku.
Kami memang sekali beremu, tapi dia satu satunya orang membuat bapak tak
merasa terancam dulu.
Pemuda iu masih mmenatapku tenang. Mengangguk ramah
membalas tatapanku. Cepat kuputar tubuh menyusul Daffa menerobos semak belukar.
Daffa mengusulkan agar kami ke kota saja. Jakarta
bisa menyembunyikan kami dalam lindungan
keramian manusia tak punya peduli. Tak kan ada yang akan memandang kami disana.
Melupakan kejadian malam pembantaian, wajah wajah pembantai dan jebakan yang
menyudutkan kami, Daffa mengatur renca agar kami bisa ke kota secepatnya. Meleburkan
diri dan menyusun rencana membongkar misteri tak bepetunjuk ini secepatnya.
“aku ingin ke rumah..” putusku lirih.
Daffa terdiam. Menimbang semua kemingkinan.
“... aku ingin melihat tempat tinggal kita sebelum
pergi” ragu. Semua yang kami dengar dari wanita tadi mengantarkan kami pada
kesimpulan menykitkan. Aku tak mau memikirkannya. Kami masih berharap rumah
kayu besar itu masih berdiri, menyambut kami dalam lindungannya meski dingin
menggantikan kehangatan yang dulu jadi aromanya. Otakku mampu menerima
kehilangan seluruh anggota keluargaku, karna memang sebagian besarnya terjadi
di depan mataku. Tapi rumah kami? Tidak.
“sebaiknya kita lanjutkan perjalanan kita ke kota.
Mobil sayuran akan berangkat jam 5 sore nanti, berati satu jam dari sekarang.”
Aku tahu Daffa menghindar. Menghindari kanyataan yang akan menambah dendam dan
luka.
“kita harus melihat kondisi rumah Daf. Lagi pula kita
butuh uang untuk ke kota” jika rumah
kita msih ada. Sambungku dalam hati. Tak ingin menyuarakannya.
“baiklah...” Daffa menerawang. Seakan bersiap menghadapi
kemungkinan terburuk.
Bagaimanapun, dari seluruh saudaraku, Daffa lah yang
paling dekat denganku. Jauh sebelum bapak membawa kami, kami telah terikat
dalam hubungan saudara. Aku tahu
sifatnya. Semua emosi dari pancaran mata dan reaksi wajahnya. Sekarang.. dia
tengah kehilangan arah. Sama sepertiku. Tapi bagaimanapun kami harus
memastikan. Harus.
Kami berjalan mengendap ngendap menuju hutan. Jalan
memutar untuk dapat sampai ke rumah tanpa harus memasuki desa. Menurut
perhitungan daffa, jenazah keluarga kami belumlah di kebumikan. Kemungkinan
dibawa oleh pihak berwajib ke rumah sakit untuk di otopsi, layaknya korban
pemunuhan lainnya. Awalnya, aku masih berharap mereka selamat. Minimal salah
satu dari dari mereka. Tapi keterangan singkat sekretaris desa itu telah
memupuskan semuanya..
“...Membakar
rumah dan seluruh penghuni adalah pembunuhan paling sadis..”
Terngiang kembali ucapan pemimpin polisi tadi.
Membakar rumah?
Daffa merangsek maju membela hutan. Aku mengikuti
dengan kepala teracak. Berputar dalam berbagai kemungkinan dan perkiraan. Aku
yakin daffa juga berkutat dengan pemikiran yang sama.
Bebrapa meter dari lokasi rumah, kami sama sama
mencium aroma hangus kayu terbakar. Pikiran buruk mulai menyata dalam kepalaku.
aku memandang jauh. Dimana atap rumah yang biasanya selalu terlihat dari sini?
asap tipis kelam menguar dari tempat yang seharusnya berdiri sebuah rumah
megah. Semakin dekat, akhirnya kami terpancang beku ditempat. Daffa mengepalkan
tangannya marah. Aku mematung. Tergugu antara percaya dan tidak. Di kejauahan,
diantara celah pohon kami melihat perkiraan buruk yang beberapa jam lalu
kusangkal kebenarannya. Di sana, puing puing kayu hitam teronggok menyedihkan.
Bertumpuk layaknya reruntuhan sampah. Asap tipis masih terlihat dari tumpukan
puing itu. Bebrapa pohon yang terdapat di sekitar rumah juga terlihat mnguning.
Terpanggang saat api besar melalap rumah kebanggaan kami. Halaman berumput juga
tak lagi berwana hijau, atau menggenang merah seperti tadi malam, tapi hitam.
Menghapus jejakkah?
Aku memicingkan mata. Pohon jambu yang melindungi
kami tadi tinggal rangka tak berdaun. Tapi tak jauh dari sana, aku masih bisa
melihat gelimpangan mayat saudaraku. Gema takbir melawan serapah. Masih
terdengar teriakan dan erangan kematian mereka... aku menarik nafas berat.
Bayangan itu masih nyata diputar otomatis dalam kepalaku.
Menyedihkan. Lihatlah.. rumah hangat itu
bahkan tak meninggalkan aroma sedikit pun. Musnah dalam hitam begitu saja.
Disan, tempat seharusnya surga kami berdiri, menjelma jadi pandangan asing.
Lahan kosong yang hanya dihiasi puing puing menghitam. Dan puing puing itu,
tengah dikais kais tak berperasaan oleh orang orang berseragam polisi. Garis
kuning polisi dipasang mengelilingi lahan kosong itu.
Aku menoleh saat saat ku tangkap geraman marah daffa.
Andangannya lurus ke depan dengan tangan masing terkepal kuat. Aku mengikuti
arah pandananya. Dan di sana tampaklah beberapa wajah yang kami kenali sebagai
penyerang kami tengah berdiri santai mengawasi tempat itu. Aku menegang. Antara
marah dan dendam.
“sudahku bilang.. harusnya kita tak pernah kemari”
daffa membalikan tubuh dan berjalan tergesa menjauhi tempat asing itu.
Aku menyusul. Tidak. Seharusnya kita memang harus
kesini.
“ingat pemandangan ini selalu Daffa Abdullah. Jangan
lupakan. Aku bersumpah membalas mereka semua” bahkan aku sendiri merinding
mendengar suaraku sendiri.
Saling bungkam. Kami bergerak cepat menuju pasar.
Tempat mobil sayur terparkir untuk mengisi muatannya. Dalam diam, kami saling
membisikan sumpah serapah dan kutukan. Sumpah untuk mereka yang menyihir kami
bagai tikus got. Terbuang, diburu dan hilang arah.
Setelah menyaru sebagi kuli angkut barang dengan
menundukkan wajah, kami berhasil masuk dalam bak mobil. Menyemunyikan diri
diantara karung hasil ladang dan beragai macam buah buahan yang dibungkus rapi
dalam keranjang rotan. Aku mendekam
diujung bak, sedang daffa menyelimuti diri dengan beberapa dedaunan yang
dipakai untuk melindungi buah buahan. Beberapa orang kuli angkut, melemparkan
sayuran begitu saja kedalam mobil, tak melihat kami sedikitpun. Suara suara
perbincangan ditengah pasar yang sudah mulai melengang masih hangat membahas
topik yang sama. Pembunuhan sekeluarga penduduk desa di ujung desa. Berbagai
dugaan, bermacam kecaman, dan kutukan, semua bermuara ke kami. Saat seperti
ini, aku menyesali kebijakan bapak yang terlalu membatasi kami bersosialisasi.
Sekarang, mereka justru mengoceh tanpa sedikitpun tahu siapa kami sebenarnya.
Dengan ringannya mereka mendeskripsikan kami layaknya psikopat pembunuh.
Aku masih tenggelam dalam obrolan simpang siur
penghuni pasar, ketika mobil bergetar menyala dengan suara terbatuk batuk.
Menggelengkan kepala, ku enyahkan pikiran pikiran yang mulai bersiliweran tak
fokus. Karung bekas yang jadi alas dudukku terasa tak nyaman, ditambah
punggungku yang memegal mencium dinding besi bak mobil. Mobil bergerak perlahan. Bergoyang goyang
saat memasuki jalanan desa yang tak rata. Aku masih belum berani mengeluarkan
kepalaku mengintip sekitar, yakin sekarang masihlah di tengah desa.
Sesaat setelah mobil berjalan mulus dengan kecepatan
stabil, sesuatu terasa menimpuk kepalaku keras. Aku tergeragap menangkap benda
yang jatuh dari kepalaku. pisang! Menegakkan kepala, kutemukan di ujung sana,
daffa duduk bersilonjor diatas tumpukan karung tengah memamah pisang santai.
Disampingnya, keranjang rotan terbuka menampakkan sisir pisang masak terekpos
begitu saja.
“Makanlah. Kita butuh energi”
Aku beringsut menyamankan diri. Kusandarkan kepalaku
pada karung yang entah berisi apa, disampingku. Tanpa minat mengikuti daffa
mengisi perutku yang anehnya sama sekali tak terasa lapar. Padahal nyaris
seharian kami tak memakan apapun.
Daffa kembali melemparkan lebih banyak pisang ke
dekatku. Tak banyak komentar saat hanya beberapa saja yang ku pedulikan. Dia
tahu, kami tak perlu bicara apa apa. Tak perlu mengatakan apapun yang kami
pikirkan. Hati dan fikiran kami sama sama kusut, belum sepenuhnya mampu
mencerna. Membagi cerita, sama saja dengan membagi kepanikan.
Saat ini, lima jam perjalanan ke jakarta adalah waktu
kami untuk beristirahat sejenak. Bukan tubuh, tapi hati dan fikiran. Mereka
butuh waktu untuk menerima ini semua. Membangun ulang rasa, berencana, dan
bertindak kembali.
Siang telah berganti gelap saat kurasakan daffa
mengguncang tubuhku. Aku mengerjap, mengumpulkan kesadaran. Kami masih dalam
bak mobil yang penuh dengan hasil ladang warga desa. Berjalan tenang membelah
jala raya yang terasa lebih berisik dari sebelumnya. Dan sekarang di sekitar kami bukan lagi hijau menanangkan
alam desa. Tapi kerlap kerlip lampu menandingi matahari. Memberikan pandangan
bebas pada gedung gedung megah disepanjang jalan. Aku mengangkat kepalaku,
melihat lebih leluasa. Jakarta. Tak berubah. Masih seramai, sekaligus sesepi dulu.
“kita kembali...” daffa tersenyum pahit. Membiarkan
semilir angin menerpa wajahnya.
Aku tak perlu mengangguk. Karna dia paham, kami
memiliki senyum pahit yang sama.
Jakarta
Kami
berhasil turun saat mobil pengangkut hasil ladang ini berhenti mengisi besin.
Daffa membawa beberapa buah buahan untuk bekal kami malam ini. Jam sebelas
malam, dan jakarta masih berdenyut hidup menyambut kami dengan cara biasa. Tak
ada yang peduli saat kami berjalan menyusuri jalan dan berhenti di sebuah taman
kota.
“sekarang kita kemana?” aku memulai setelah kami
duduk disalah satu banku taman.
Daffa mnghembuskan nafas berat. “kita harus mencari
tempat tinggal terlebih dahulu. Baru kita bisa merencanakan langkah.”
Aku
mengangguk setuju. Tak perlu mencari kenalan untuk bermalam. Kami sama sama tak
punya. Meski kami pernah hidup di sini dulu.
“sebaiknya kita buka dulu tas itu.bapak bilang kita
harus menemui seseorang yang ada disana.” Daffa melirik tasa di pinggangku.
Refleks aku meraba tas pemberian bapak. Tas hitam
yang telah kering sendiri di pinggangku. Aku bahkan lupa sepenuhnya dengan tas
ini.
Penerangan lampu taman lumayan membantu saat daffa
membuka tas pemberian bapak. Kosong. Aku mengernyit heran melihat daffa merogoh
tas tak sabar. Tas itu memjungkir balikkan tas tas sabar. Menumpahkan isi yang
mungkin terdapat didalam tas ke bangku taman. Satu satunya dua buah barang
jatuh dihadapan kami. Aku terbelalak keget. Ini... ini jauh dari tugaanku.
Barang yang menjadi tumbal dari seluruh keluargaku, yang membuat kami layaknya
binatang buruan, hanya.. ini?
Sebuah kunci kecil dan cicin emas tergeletak begitu
saja di depan kami.
Daffa memandang syok, lalu kembali mengguncang tas
itu. Seakan memaksanya memuntahkan apapun yang masih ditelannya. Nihil. Tak
sabar kurengkutkan tas ditangan Daffa. Mengobrak abrik tas kecil itu. Kosong.
Benar benar kosong. Tak ada apapun disana. Tak juga ada tulisan petunjuk
apapun. Tas ini murni hanya gumpalan kain tak berarti apapun.
“hanya ini? Jangan bercanda!” daffa berteriak tak
suka, “kau menjatuhkannya ris?
“tidak! Tas itu bahkan tak sekalipun terlepas dari
pinggangku”
Daffa mengacak rambut frustasi. Memang apa yang
diharapkan?
Akhirnya kuulurkan tanganku meraih kunci wasiat
dihadapanku. Sepertinya kunci sebuah lemari. Kecil dengan ganggang berwarna
hitam. Digantungannya terdapat tlisan yang tak bisa dibaca dengan jelas.
Gantungan kunci itu sendiri terbuat dari plastik. Yang dapat kutangkap dari
tulisan itu hanyalah nomor 107. 107? Petunjuk macam apa pula itu!
“ini cincin emas.” Daffa memperhatikan cicncin di
tangannya teliti. “tak ada tulisan apapun. Ini hanya cicncin emas biasa”
Kuterima cincin yang diulurkan Daffa, dan ganti
menyodorkan kunci yang periksa tadi. Benar. Ini hanyalah cincin emas biasa.
Polos tanpa motif apapun.
“107?”
“ku pikir mungkin sebuah lemari..
“bukan...” aku mentap daffa, menunggu kalimat
gantunnya, “... ini kunci sebuah loker. Loker 107”
“loker? menurutmu apa isinya?”
“entahlah.. mungkin barang yang dicari hyena”
Aku terdiam. Bisa saja.
Mungkin itu alasan kenapa kunci ini begitu di lindungi bapak.
“tapi, dimana loker itu? Tulisan lain disana tak bisa
kubaca”
Daffa tak menanggapi. Dia berusaha membaca tulisan
mengabur sebelum angka 107 di mainan kunci. Lama kemudian dia mengankat bahu. Menyerah.
“bapak bilang kita harus menemui orang yang ada di
tas ini. Maksudnya apa?”
Daffa menggeleng, “aku tak yakin, tapi sepertinya
kunci itulah yang menjadi petunjuk tungal kita saat ini. Sebelum kita bisa
memecahkan misteri kunci itu, kita belum bisa melakukan apa apa.” Daffa
mendesah berat. Menyilangkan tangannya, tak terpengaruh oleh kendaraan dan
orang orang yang masih lalu lalang di hadapan kami. “ ku pikir, tas itu berisi barang
yang dicari hyena. Dengan begitu kita bisa melaporkannya kepolisi. Barang
apapun itu, pasti barang yang berbahaya. Bapak sampai rela mati agar benda itu
tak jatuh ketangan hyena.”
Ucapan Daffa membawa ingatanku kembali pada bapak.
Pada wajah tak berdaya dan tekad yang dibulatkan. Betapa bapak bersikeras untuk
tidak memberikan barang itu. Tapi apa? Yah.. seperti analisa Daffa, aku juga
berfikir demikian. Barang yang berbahaya.
Daffa mengambil cincin emas ditanganku. Berfikir
seolah hendak memutuskan nasip terbaik untuk si cincin.
“Ini kita jual besok"
“eh?”
*****
Beberapa
hari setelah kami menginjakkan kaki di jakarta, kami berhasil menyewa sebuah
kontarakan kecil dipinggiran Jakarta. Cincin emas yang kami temukan dalam tas
pemberian bapak dapat terjual dengan harga yang lumayan. Cukup untuk membayar
kontrakan dua bulan dan membeli perlengkapan kehidupan kami untuk beberapa
waktu.
Petunjuk
kunci loker masih belum bisa kami pecahkan. Entah diman keberadaan loker yang
dimaksud. Menrut Daffa kemungkinan, informasi orang yang dimaksud bapak juga
berada diloker itu. Jadi tak ada apapun yang bisa kami lakukan selain bertahan
hidup. Mencari pekerjaan dan membaur semabari mengumpulkan informasi apapun
mengenai hyena dan shark. Cuma nama nama itu yang kami punya.
Beberapa
bulan terlewat begitu saja. Aku masih bertahan menjadi buruh kasar di pasar
dekat rumah, sedang Daffa disapa beruntungan baik. Seorang teman mengajaknya bekerja sebagai
pelayan disebuah bar. Cukup menjanjikan. Aku tak bisa membuang ekspresi tak
suka saat dia berniat menerima tawaran itu. Bukan apa apa, tapi hyena sudah
bisa kami pastikan merupakan komplotan yang tidak kecil. Wajah kami sudah pasti
telah mereka ketahui. Bekerja di bar sama saja dengan memperlihatkan jati diri
secara suka rela. Ketahuan, matilah kami.
“kita butuh
uang. Tanpa ijazah, kita tak bisa mendapatkan pekerjaan apa apa.”
Penjelasannya
membuatku urung untuk berkata kata. Memang kendala utama kami dalam mendapatkan
pekerjan yang layak adalah ketidakpunyaan ijazah. Meski kami telah ikut paket c
dulu, tapi bapak belum menjemput ijazah itu. Entah lulus atau tidak, kami tak
tahu.
“--- dan
lagi, mencari kejahatan haruslah di tempat rawan kejahatan juga,bukan?”
sambungnya lagi menginjak keberanianku.
Aku hanya
meliriknya dalam. Ada hal yang janggal dalam suaranya. Rambut hitam lurus yang
mulai gondrong menutupi matanya saat dia menunduk. Menyembunyikan ekspresi
wajahnya. Dendam. Aroma dendam menguar kuat dari tubuh jangkungnya. Bohong jika
aku tidak, tapi kontrol emosinyan berkurang. Aku bahkan bisa merasakan ambisi
membunuhnya.
“terserah
kau saja. Tapi kuingatkan. Kita bukan memburu, tapi pihak yang diburu. Kita tak
punya apa apa, bahkan sebuah kepercayaan pun. Hanya kunci usang -yang membuat kepalaku pening- yang menjadi
pegangan kita. Hati hatilah”
Memutar
tubuh, aku beranjak menuju pintu. Daffa masih terpaku duduk bertumpukan meja.
Kopi pahit kesukaanya masih tersisa stengah gelas, saat waktu membuatnya
dingin. Enggan untuk disentuh kembali. Menjelang isya, dan hanya inilah waktu
kami bisa bicara lebih serius. Keserabutan kerja membuat waktu bicara
terpangkas seketika. Harusnya, kami bisa bicara banyak mengenai pekerjaannya,
atau mengenai rencananya, namun gerak gerik tubuh Daffa mengisyratkan
keengganan. Aku tak mau mengusik. Terkadang, keterdiamanku seringkali disalah
artikan dengan lupa. Yang benar saja. Siapa yang dapat tidur nyanyak setelah
melihat pembantaian keluarga di depan matamu sendiri? Nyaris setiap malam aku
dihantui mempi buruk yang sama. Darah. Teriakan. Dan pembantaian. Dari raut
wajah lelah daffa pagi harinya, aku tahu dia juga mengalami hal yang sama.
Sekali lagi,
kutarik nafas berat. Aku butuh waktu untuk berfikir. Gontai aku keluar rumah.
Tanpa bicara sepatah katapun. Toh daffa tahu kepergianku. Dia bahkan tak perlu
bersusah susah untuk sekedar bertanya kemana.
Biarlah. Kami sudah sama sama tahu. Dengan kebuntuan petunjuk, aku mulai tak
tenang mebahas balas dendam. Merasa tak berguna sama sekali. Sedang daffa
justru terlihat tak sabar dan ambisius. Membicarakan masalah ini, sama saja
membicarakan jalan buntu. Dan daffa akan bersikap memuakkan dengan memaksa otakku
berfikir, sedang dia sendiri terpaku dalam satu jalan tak berujung. Pada
akhirnya, aku akan memangku tangan malas, dan daffa menggebrak meja seolah
perbuatan itu adalah dosa besar. Matanya akn memicing tak suka dalam berbagia
artian tersampaika disana. Tak punya perasaan! Bodoh! Pengecut! Aku harus
menahan diriku untuk membalasnya dengan teriakan. Memilih pergi meningalkan
daffa dan emosinya. Dari caranya menarik nafas melihat kepergianku, aku tahu
dia pun menahan diri untuk tidak menendang dan mengahajarku. Setelahnya,
kepergian sebelum daffa menggebrak meja sudah menjadi hal yang biasa. Aku tak
perlu menjelaskan, dan dia tak perlu bertanya. Dua sampai lima jam berikutnya,
aku akn kembali pulang. Bersikap seola tak terjadi apapun.
Biasanya,
jika aura daffa sudah mengusirku seperti ini, rumah makan padang tak berapa
jauh dari pasar. Teh telur dan beberapa potong lauk untuk makan malam pesananku
setiap kali aku berkunjung kesini. Bukan apa apa,tapi teh telur yang dijual
disini terasa menenangkan. Menikmati minuman berbusa itu sambil menunggu
karyawan mengambilkan lauk unuk makan malamku membuatku sejenak melupakan
darah, teriakan, dedam, bahkan daffa.
“te talua ciek, Da” aku hanya mampir
untuk mengcapkan itu di depan seorang penjaga rumah makan yang menatapku dengan
pandangan menunggu pesanan.
Kulanjutkan
langkahku ke pojok rumah makan. Tempat bisanya aku duduk. Jam segini,pelanggan
sedang banyak banyaknya. Bukan berasal dari golongan atas,hanya golongan
masyarakat menengah ke bawah saja. Jadi penampilan acak acakan ala pemuda patah
hati tak terlalu memuatku risih. Pesanan yang Cuma satu itu pun tak membuat
penjaga rumah makan kaget, biasa.
Mendudukkan
diri di bangku panjang disisi dinding, kubenamkan wajahku dalam gelungan tangan
dimeja panjang hadapanku. Tak peduli pandangan heran beberapa orang yang juga
duduk dibangku dan meja yang sama denganku. Beberapa mengeser diri menajauh,
membawa serta nasi yang mereka makan. Takut menumpahi kepala dan pakaianku.
“oi oi. jangan
tidur di sini. ini tempat makan bukan hotel” sebuah suara ramah menyapa gendang
telingaku diikuti bunyi gelas yang diletakkan terlatih di sampingku.
“tumpah,
tak bakal ada ganti rugi” lanjutnya denga nada mengancam.
Tak perlu
melihat rupa penegur, aku tahu siapa dia.
“bukuskan
juga lauk seperti biasa, Ab.” Pintaku tanpa mengangkat wajah.
Decakan
enggan kudenar menyusul langkah menjauh tak peduli padaku. Aroma teh telur
mengusikku dari pikiran yang sempat melayang dari kepalaku sendiri. Kuanagkat
kepalaku. sejenak memindai seluruh rumah makan yang tidak terlalu besar ini.
Beberapa keluaraga besar terlihat makan dengan selingan tawa canda bahagia di
tengah rumah makan. Sebagian mereka bahkan tak terlihat punya materi berlimpah,
tapi justru kebersamaan sederhna itu yang membuat kebahgian mereka terasa
ringan. Aku tersenyum. Aku juga pernah mmiliki yang begitu tiga bulan lalu.
Sebelum.. ah, sudahlah.
Kuteguk
minuman ku pelan. Sejenak liquid manis itu merampas pikiranku. Selalu begini.
Dan hanya dirumah makan ini kutemui. Selain tentu saja dengan raga yang dikit
lebih murah dari rumah makan yang biasa.
Cukup lama
aku menikmati teh telur khas suku seberang itu dirumah makan sedrhana ini.
Malas aku beranjak ke kasir. Membayar sekaligus mengambil lauk yang kupesan
tadi. Uang yang kudapat dari hasil mengankut barang tadi siang menysut begitu
saja. Ya.. istilah dapat pagi habis malam bukan sekedar istilah saja bagiku
sekarang, fakta yang mendekati bencana malah.
Kulihat
abra, pelayan yang tadi mengntarkan minumanku tengah membawa beberapa piring sekaligus
dengan dua lengannya. Keahlian yang biasa ditemui di rumah makan padang. Dia
adalah tetangga kami. Orang pertama yang peduli saat kami kebingungan mencari
tempat tinggal, menawarkan bantuan, pemuda ceria yang mengiangatkanku pada
sosok Sten. Mereka memiliki cara yang sama dalam menghadapi dunia.
“hidup cuma
sekali bung, lakukan saja apa yang bisa kau bisa, raih yang mampu kau raih.”
Kalimat pertama abra saat kami berkenalan di kekacauan amukan hujan ditengah
pasar. Tak jauh dari tempatnya bekerja.
Aku bisa
melihat tatapan daffa yang awalnya memercikan kesal tak terima dikasihani,
merubah melembut. Seperti halnya aku, dia juga bisa merasakan semangat Sten
benafas dalam tubuh pemuda hitam pendek di depan kami. Tanpa banyak bicara,
daffa membuka juga bungkusan nasi padang yang letakkan abra di depannya sedari
tadi. Melindungi diri dari tempias hujan, kami makan di teras kedai yang telah
ditutup. Menemani dengan celotehnya.
Abra orang
pertama yang menjadi teman setelah Jakarta mulai menyapa kami dengan masuia
manusia tak punya rasa hasil produksinya. Pemuda yang terlihat lebih tua dari
umurnya yan sebenarnya ini dengan senang hati membatu kami. Meski seumuran dan
wajah yang terlihat ketuaan, abra tetap saja dominan dengan unsur kekanak
kanakan. Saat kutanyakan alasanya bersikap berbedadari manusia jakarta pada
umumnya. Dia hanya menyeringai bodoh.
“aku juga
seperti kalian setibanya di sini. Tak ada yang membantuku seperti aku membantu
kalian. Rasanya seperti jatuh, dan kau tak tahu akan kemana jatuhmu. Tak ada
keputusan yang lebih baik, selain menyiapkan diri untuk kemungkinan yang
terburuk. Untung aku punya ijazah.” Dia nyengir seolah yang diceritakan
hanyalah sebuah kebodohan kecil saat dia meninggalkan gembok di dalam rumah,
sedangkan gembok telah terkunci dari luar.
Detik itu
juga aku menemukan fakta lain mengenainya. Kebodohannya setara dengan kebodohan
Yol. Ekspresi yang tak tepat untuk suasana yang bertolak belakang.
Semenjak kami
menjadi tetangga, Abra resmi
menjadi bagian dari kehidupan kami.
Lebih tepatnya akrab denganku, namunmasih berjarakdengan daffa. Semenjak
menapaki jakarta, Daffar cendrung jadi anti sosial. Namun meski aku dan abra
dekat, dia hanya mengenal kami sebagai dua perantau nyasar saja. Tak lebih.
“oi.. ris,
tunggu!”
Aku menoleh
malas. Katong kresek berisi lauk yag tadi kubeli turut berhenti berayun tak
rela karna langkahku yang terhenti. Abra nyengir mepercepat langkah kearahku.
“semakin lama aku semakin yakin kalau nenek moyangmu dulu suku negro.”
Sapanya tak sadar diri mengusikku.
Aku
melanjutkan langkah. Enggan menjawab candaan tak lucunya. Inginnya kulemparkan
pandangan sinis paanya. Sehiam hitamnya aku, dia ebih hitam 2 level di atasku. Abra
mengiringi langkahku menunggu komentar blasanku, lelah aku melongos. Terbiasa
menghadapi kecerian over dosis Sten, membuatku lebih bijaksana menghadapi abra.
Jika kau merasa lelah tak perlu membalas celaannya.
“hei hei..
kenapa wajah kusutmu itu.” Abra keras kepala dengan keputusannhya menggangguku.
“lelah..”
wajarkan. Aku bahkan belum sempat istrahat sepulang kerja rodi tadi.
Pertengkaran dengan daffa, dan sekarang berjalan dengan mulut berisik abra.
Abra
membalas dengan tawa.
“o ya, kau
mau bekerja di tempatku?”
“eh...”
bekerja? Tentu saja!
“salah satu
teman kerjaku pulang kampung. Takkan balik lagi sepertinya. Bos memintaku
mencari pengganti.”
“ya.. aku
mau” semnagatku melonjak seketika, “tapi.. aku tak punya ijazah..” dan meredup
detik selanjutnya.
“tak apa.
Aku yang jamin pada bosku nanti. Kita kan tetangga. Kau juga orang jujur.”
“bisa
seperi itu?”
“bisa. Serahkan
padaku” abra nyengir lagi.
“oke!”
Yup.
Setidaknya sekarang aku bisa bekerja tetap sebagai pelayan. Langkah awal untuk
sedikit maju dari titik hidupku sekarang. Daffa juga akan bekerja. Kami bisa
lebih fokus mencari informasi mengenai hyena.
“hm.. ris,
dulu kau pernah bertanya tentang hiu kan?” abra memecah keheningan.
Aku mengerjab
bingung.
Apa katanya?
Hiu?
“er.. hiu
dan srigala yang kau tanyakn dulu itu lho” abra menyadari kebingunganku.
Aku masih
bingung. Otakku masih menolak memberikan keterangan apapun atas dua kata itu.
“hiu
srigala apa nih?” sahutku tak membantu.
“oh ya,
srak . srak.”
Mataku membulat.
Otakku lansung menyambar mengurai makna kata itu bagai kembang api. Teriakan,
darah pembantaian dan hujan membekukan. Apa maksudnya, shark? Kurenggutkan tangannya
kaget.
“shark?”bahkan
aku tak mampu mengajukan petanyaan lengkap. Tanganku tanpa sadar terkepal. “hyena?”
Abra menatapku
kaget. Matanya melebar melihat ekspresi yang entah seperti apa yang ku keluarkan
sekarang. Memang dulu aku pernah mengajukan pertanyaan shark dan hyena padanya,
dia mengaku tak kenal nama itu. Jika sekarang dia tau, artinya baru sekaranglah
dia mendapat informasi itu.
“ris, kau
kenapa?”
“apa..” yang
kau tahu? Kulanjutkan dalam hati. Cengkramanku menguat, dan kurasakan sedikit
getar menjalar dari sana.
“hei,
tanganku sakit.” Abra mengibaskan cengkramanku dari lengannya.
Aku menggeragap.
Tenang. Tenang deris. Tenang. Kau belum tahu apa apa bukan? Tenang.
“kau mau mematahkan
tanganku? Eis.. makasi deh”
“ab, kau
tahu sesuatu tentang shark? Hyena?” kejarku mempertahankan ketenangan.
Abra memandangku
menyipit. Sedikit raa was was terpancar di sana.
“sebenarnya
kau berasal dari mana?” lirihnya membuatku tak enak.
“abra! Aku bertanya apa yang kau tahu mengenai shark?” bentakku tak
sabar.
“siapa kalian sebenarnya? Kalian terlihat aneh” cerca abra keras
kepala.
Eh? Apa apaan tatapan itu? Dan kenapa uaranya terlihat berbeda. Ini salah.
Ada yang salah disini. Gerak geriknya mengisyaratkan kecurigaan.
“kau kenapa sih?”
“apa hubungan kalian dengan shark?”
Hei... belum lewat dua puluh menit dari saat dia bilang percaya padaku
dan aku orang baik sehingga bisa bekerja ditempatnya. Bahkan dia bersedia
menjaminnya. Lalu kenapa begini? Tunggu, dia bersikap seperti ini hanya setelah
dia menyebut shark kan? Kalu begitu ada sesuatu di shark ini yang membuatnya
curiga padaku.
“apa yang kau tahu?”tuntutku dingin. Kepalang tanggung. Toh dia sudah
melihat ku sebagai separuh penjahat.
“aku ingin memastikan hubungan kau dan orang ini dulu” suara abra
terdengar tegas.
Gila. Apa ini? Haruskah kubilang jika aku anak si shark ini? Tidak. Bukan
itu yang didengar oleh abra. Wahai otak, bekerjalah...
“hyena membunuh keluaragku.” Memberi jeda, kulihat raut terkejut abra.
“mereka membunuhi semuanya. Hingga yang tersisa hanya kami berdua. Dan berita
terbaiknya, kami dipojokkan sebagai dalang dari kejadain itu semua. Tak ada
bukti, tanpa saksi kami melarikan diri. Dan terdampar disini, menjadi
tetanggamu.”
Abra menganga. Jelas jelas shok.
“jadi kalian.."
“ya, kami buron. Satu kesempatan yang tersisa untuk kami, hanyalah
membuka orang dibalik ini semua. Mencari tahu siapa hyena dan shark yang menjadi
komplotannya.”
Aku tak sepenuhnya berbohong.
Abra mengatupkan mulutnya. Sedikit menyesal.
“maaf.. aku tak tahu.. dan kenapa kalian tak bilang dari awal? Aku akan
membantu kalian!”
Aku tersnyum kecut. “tak apa ab. Dan siapa yang mau mengakui jika
dirinya seorang buronan pada orang yang beru dikenal”
Abra mengangguk paham. Menghela nafas berat dia mengambil ancang
ancang untuk memulai cerita. Aku menunggu.
“seorang teman bercerita padaku. Dia terjebak dalam sebuah organisasi
hitam” aku menahan nafas. Ini dia. Awal
yang jelas. Organisasi hitam.
Matui matian kutahan semua tanya yang nyaris seperti moncong senjata
menumpahkan peluru. Ku biarkan abra melanjutkn ceritanya.
“shark.. seoang bernama shark adalah atasannya dulu. Orang yang
menjadi pengusa para pengedar di seluruh pulau jawa ini”
Aku ingin tuli. Sungguh!
To Be Continued
Next episode
“Tiara..” ucapnya mengulurkan tangan denan senyum yang membuatku lupa
bernafas.
......
“kau suka adikku?”
......
“kau kenapa Daf? Apa yang kau sembunyikan dariku hah?”
....
“cukup sampai di sisni keterlibatanmu, ris. Ini urusanku”
...
“tiara harap, bang Daffa, suka”
...
“kau tak bisa melihatku ya, tiara? Bayang daffa.. menhitamkan
kehadiranku rupanya”