Minggu, 09 Juli 2017

Hai yang lalu? bahagiakah kamu?



Hai yang lalu...
Meski semua yang akhirnya terjadi  memang sesuai benar dengan tulisanku terdahulu, rasanya tetap menjadi kejutan. Kejutan yang menyenangkan dan membuatku sedikit kecewa. Kecewa? Kenapa? menyesalkah aku karna bukan aku yang bersanding tersenyum bahagia disampingmu? Bukan. Bukan itu.
Yah, walaupun nyaris semua ucapanmu tak satupun yang dapat kupegang, harusnya aku tak terlalu kecewa saat janji terakhirmu tak mampu kau penuhi. Ah, mungkin kau juga lupa pernah mengucapkan janji.
“aku tak akan menikah, sebelum kau menikah.” So sweet. Aku bahkan nyaris muntah karna amarah kala itu. Hello, jangan sangkut pautkan apapun denganku.LAGI! silahkan menikah saja sana. Tak perlu mengumbar kata begitu juga.
Dan lihat! Kau bersanding duluan. Aku kecewa? SEDIKIT KECEWA. Hm.. mungkin karna kau benar benar jauh dari penilaianku selama ini. Suatu kesalahan jika ucapan lidah tak bertulangmu itu kuanggap sebagai sebuah komitmen yang patut ku ancungi jempol. Kau benar benar lelaki sejati dengan ucapan yang kau tepati meski aku bersikeras memintamu untuk tidak begitu. Tragis!
Tapi, ya sudahlah.. itu bukan hal baru kok. Lagian kalau kau tunggu pula aku menikah, hiks, hiks, aku.. aku tak tahu sampai kapan kau harus menunggu.huaaaaa (nangis bombay)
Berbahagialah. Aku, kami, menontonmu dari sini. sudah puaskan? Terasa semakin bahagia bukan.
Apa kabar yang lalu?
Telah senangkah engkau?
Aku tak tahu harus menghujat atau mengucap selamat. Tak ada yang benar benar dapat memahami yang kurasa kecuali mereka yang berada di posisi persis sama. Di satu sisi aku membencimu. Membenci semua hal yang kupercayai dari lisanmu. Menyumpah serapah atas hidupku yang sekarang karnamu. Menyimpan ketidak ikhlasan atas seluruh waktu yng kusia siakan percuma karnamu. Membencimu atas pilihanku menukar seluruh impianku dengan angan kosong yang kau sodorkan.
Namun, disisi lainnya, aku dapat melihat rapuhmu menghadang dua gulungan besar ombak yang membuatmu sekarat. Aku melihat airmata yang berderai atas ketidak ikhlasanmu melepaskan “kita”. Kulihat punggungmu terbungkuk mengusap air mata dibalik punggung semua orang sebelum kemudian berdiri seolah tak terjadi apa apa. Dapat kurasakan matamu memandangku penuh pengharapan akan kebahagian disepanjang usiaku meski tanpa dirimu. Lalu kau memutuskan berhenti menunggu keajaiban untuk “kita”. Memulai dengan menggandeng tangannya. Berjanji ini yang terakhir meski tak seluruh hatimu mampu meraup dirinya. Kau percaya waktu kan mengisi seluruh hatimu dengannya. Selamanya hingga maut memisahkan kalian kelak.
Lalu, pantaskah aku menghujat dirimu yang ini “masa laluku”?
Aku ingin mengikhlaaskan semua yang terjadi, meski aku tak mampu.

1 komentar:

  1. ini beneran?
    omaygat! akhirnya dirimu bersumpah serapah penuh amarah juga (meski ga kamu tuliskan di sini, tapi aku merasakannya)...
    semoga dirimu kelak menemukan bahagiamu juga, SAM :)

    BalasHapus