Senin, 06 Maret 2017

DAIRA DAN SURAT CINTA!



Hal yang selalu membuat Daira sesak setelah larut menjemputnya dalam mimpi adalah mengenai rasa yang familiar di dada dan fikirannya, perlahan lahan meninggalkannya dalam kekosongan saat dia membuka mata. Beberapa kali gadis pendiam ini mencoba mengingat ngingatnya, tapi semakin dia mencoba, semakin kabur rasa itu pada akhirnya. Rasanya seperti campuran rasa hangat, tempat dia bersandar dan rasa terlindungi yang nyaman. Tapi sekali lagi dia tak tahu itu apa. Rasa itu hampir sama saat dia berada di samping ayah dan ibunya, tapi jauh lebih kental. Sayangnya, rasa itu hadir tak lebih dari mimpi yang mendatanginya tiap malam. Selalu datang padanya dalam lelap hanya untuk Daira lupakan keesokkannya.
*******
          “Woi, lihat, ada surat cinta di mading!” seruan seorang sisiwa kelewat semangat menyapa pendengaran Daira. Entah kanapa perasaannya berubah jadi tak enak. Tanpa pikir panjang, Daira ikut bergegas balik kanan menuju mading sekolah yang memang terletak berlawanan arah dengan kelasnya. Lupakan tas berat yang menekan pundaknya, dia hanya perlu memastikan satu hal.
          Di depan kotak kaca mading sudah disesaki oleh berpasang pasang kaki penasaran yang melihat mading penuh minat. Daira kaku seketika. Dia dan siswa yang lain sama sama melihat surat itu dengan heran, tapi bedanya, siswa yan lain terkikik geli membacanya, Daira justru berharap tembok tempat dia berpijak mau menelannya hidup hidup sekarang juga. Terlebih beberapa pasang mata bahkan terang terangan menatapnya geli. Ingin rasanya dia membenturkan kepalanya ke kaca mading sialan itu. Sungguh, dia benar benar malu.
          Di sana, terpajang manis sebuah surat singkat yang kemarin dibuangnya. Nama Daira tertulis besar besar sebagai penerima (entah dia harus malu atau bersyukur).
          Teruntuk, yang kusayang.
          Daira.
          Hai Daira. Aku manyayangimu. Meski kau tak tahu siaa aku. Aku akan berusaha untuk selalu menjagamu. Selalu baik baik saja ya. Selalu mejadi si nomor satu, oke?
                             Mister X

          Daira bebalik kaku. Bagus mister x. Sekarang seluruh sekolah akan menertawakannya. Memutuskan untuk berpura pura tak tahu Daira menuju kelasnya. Jelas jelas mengabaikan tatapan bahkan ejekan langsung yang diberikan secara cuma Cuma sepagi ini padanya.
          Merasakan semua aura ini, Daira tahu, hidupnya takkan pernah tenang lagi setelah ini.
******
Tangan kurus coreng moreng itu memeluk tubuhnya. Gadis cilik lima tahun  yang baru berhenti menangis beberapa menit lalu, masih memakan roti beraroma usang itu rakus. Sesekali isaknya masih terdengar diantara kunyahannya.
“dik, jangan cepat cepat. Pelan pelan saja.”
Gadis kecil  menatapi bocah enam tahun dekil yang masih memeluknya. Bocah yang memberikan kue ini padanya. Bocah yang seharian ini pergi meninggalknanya menangis meringkuk sendirian dijalanan. Menangis karna lapar dan sendirian. Lalu, pulang pulang, dia mendapati kedua sumber tangisannya hlang begitu saja. Ada roti yang disodorkan padanya. Dan senyum hangat melindungi yang membuatnya merasa baik baik saja. Asal ada senyuman ini, apapun itu, semua pasti akan baik baik saja.
          “kakak, mau?” si gadis menyodorkan roti yang tingal separuh dengan mata berkilat polos.
          “ahaa, tidak. Kakak sudah tadi. Ini untukmu saja ya?” bocah lelaki bersinglet kusam itu tersenyum lagi.
          “iya? Kakak makan apa? Enak?” kejarnya dengan pandangan menghakimi. Seakan si kakak tak adil dengan tidak menyisakkan untuknya sedikit.
          Si kakak tertawa lagi.
          “tidak, kakak juga makan roti itu kok.” Bohong. Dia bahkan tak memakan apapun sedari pagi. Jelas jelas bunyi perutnya yang keroncongan membantah semua dustanya.
          “untuk kakak segini ya. Si gadis mengambil sejumput roti tawarnya, menyodorkn kehadapan si kakak.
          “tak apa. Kamu makan saja dulu. Besok kakak bawakan makanan yang lebih enak.”
          “benarkah?”
          Namun kata kata itu belum sempat terbalas. Beberaa pasang tangan lelaki dewasa tiba tiba saja meraih tubuh si gadis dari dekapan bocah lelaki kurus.
          “dik...” bocah itu berusaha meraih adiknya. Namun dia justru tersungkur di dorong oleh salah seorang lelaki dewasa yang kini menggendong adiknya. Tak peduli, bocah itu masih berusah mengapai gapai dengan wajah bersimbah air mata kehilangan. Si gadis meronta. Berusah lepas. Namun tubuhnya sudah dibawa masuk dalam sebuah mobil. Matanya sekilas melihat dari kaca jendela yang terbuka. Bocah bersinglet lusuh itu meraung raung memangilnya. Berlari mencoba mengikuti mobil yang membawanya.
          “Dairaaaaa......
          Daira terduduk bangun, tercerabut paksa dari mimpinya.  Tanpa sadar tangannya mencengkram begian depan bajunya. Terasa sesak dan sakit bersamaan. Sebelum kemudian hilang, meninggalkan kekosongan yang paling Daira benci.
          “kakak...” dia mengeja panggilan familiar yang ingin sekali meluncur dari bibirnya.
          Panggilan yang terasa familiar di lidah namun asing dalam cernaan fikirannya.  Panggilan untu siapa itu? Dia hanya anak tunggal. Tak ada istilah saudara apalagi kakak dalam kehidupannya. Tapi mimpi itu selalu datang berulang. Walau beberapa kali Daira langsung tak ingat saat matanya melihat dunia. Tapi kali ini, mimpi itu terasa nyata. Benar benar nyata. Daira masih bisa merasakan sisa sisa kehangatan pelukan bocah itu dalam ingatannya.
          Dia siapa?
          Wajahnya terangkat. Sudah waktunya untuk bangun. Menepiskan semua pikiran pikiran anehnya, Daira mengusap wajah. Menarik nafas singkat. Matanya teraku pada foto keluarga disudut kamar mewahnya. Dia tersenyum manis, diapit oleh ayah ibunya yang tersenyum tak kalah bahagia. Hanya itu. Mereka bertiga.  Berlahan, rasa kosong itu makin menyata dihatinya. Efek mimpi dan sisa rasa itu memudar. Meninggalkan Daira dalam fakta kesehariannya.
Dia harus bangun dan sekolah layaknya Daira yang dibanggakan semua orang.
*****
“hei, lihat si nomor satu yang sok kecantikan datang.”
Daira memutuskan untuk tidak terpncing. Lebih memilih duduk ria, mengeluarkan buku kimia dan membacanya seolah   Sindy hanya boneka bicara. Sindy menghentak tak suka.  Dia secara terang terangan selama ini menunjukkan ketidak sukaannya pada Daira karna kalah saing dalam memperebutkan juara kelas.
“nggak nyangka ya, sin, si juara umum murahan. Ada pengagum rahasianya juga. Gayanya sok alim, eh tahunya suka tebar pesona juga.” Vianra ikut menabur racun.
Daira tak peduli. Sudah biasa. Mereka berdua memang kompak membulli orang yang tidak disukainya. Apa lagi itu Daira. Status sebagai anak pemilik yayasan sekolah membuat    Sindy tak pernah jera mencari keributan. Dijelaskan pun percuma, diadukan pun sia sia. Tapi sejauh ini, mereka hanya berani menyidir kasar saja, belum tahap kontak fisik, jadi Daira memilih mengabaikan. Semua itu masih bisa diatasi.
Topik Daira dan surat cinta di mading, masih menjadi bahan pembicaraan seru satu sekolah. Apalagi si juara umum hanya diam tak berkomentar apa apa saat beberapa orang siswa nekat menanyainya. Maka makin nyaringlah mereka bergosip ria dengan ilustrasi mereka masing masing. Menganggap sikap diam Daira dalah simbol setuju.
Daira sendiri memilih untuk tetap fokus belajar. Tak peduli pada surat memalukan itu. Dia masih Daira yang biasa. Si anak emas kebanggan sekolah.  Awalnya dia mengira takkan ada masalah berarti selagi dia tak menganggap itu penting. Namun pikiran itu segera minggat saat esoknya Daira kembali menemukan surat yang sama di laci mejanya. Berani sekali. Bahkan satu masalah karna surat pertama belum selesai sekarang surat kedua juga telah menyusul.
Belajar dari pengalaman. Daira menyimpan surat itu langsung. Tapa berniat membuangnya lagi. Tidak. Dia tak ingin surat ini kembali mempermalukannnya sesemesta sekolah ini. Dia akan membacanya dirumah. Membakarnya, bahkan kalau pelu mengguna gunai si pelaku agar jerawatan tujuh turunan.
          “teruntuk yang kusayang, Daira.”
          Tukan. Awalnya saja sudah membuat Daira ingin muntah. Siapa sih dia? Ini benar benar memalukan.
          “maaf, surat kemaren membuamu dalam masalah ya? Maaf ya Daira. Akau janji akan membantumu menyelesaikan masalah mu karna surat ini. Selalu sehat ya..”
          Daira memutuskan untuk menyimpan surat itu pada akhirnya. Enatah kenapa, kata kata disana membuatnya tersentuh. Seakan dia tak sendiri. Seperti dilindungi.
          Besoknya, kabar menggemparkan menyambut Daira saat memasuki gerbang sekolah. Kasak kusuk gosip mengatakan jika identitasa si mister x telah terkuak. Daira sendiri berusaha tak peduli saat salah seorang teman sekelasnya menggebu gebu memberitahunya siapa sebenarnya si mister x itu. Beberaapa orang sisiwa yang bertugas piket kemaren lusa melihatnya memasuki kelas Daira, dan meletakkan surat disana.
          Dia salah seorang senior Daira. Cucup terkenal karna wajahnya yang ramah dan prestasi nya di bidang tekwondo mengaharumkan nama sekolah hingga tingkat nasional. Daira tak ingat pernah meliahat atau bertemu dengan senior itu. Tapi sekali lagi Daira menghembuskn nafas berat. Entah cobaan apa lagi yang akan menungunya dikelas. Karna kabar lainnya menjelaskan, jika senior itu adalah senior yang menjadi gebetan   Sindy semenjak dahulu. Peteka. Senior kurang ajar itu sukses menhancurkan ketenangan hidup Daira telak dengan dua surat saja.
          Dikelas beberapa orang sisiwa tengah mengerubungi meja   Sindy. Sedang gadis berambut panjang itu berpangku tangan murka. Hati Daira makin ketar ketir melihat tatapan tajam    Sindy yang seakan menyilet kulitnya.  Menenangkan diri,  Daira memilih duduk dikursinya. Syukurlah tak ada apapun disitu. Tak ada coretan, lumpur atau permen karet. Daira memilih duduk manis. Tak menghiaraukan suasana sekitar yang terasa seperti kuburan.
          Beberapa siswa kelas lain bahkan telah memenuhi lorong kelasnya. Melihat dari jendela dan pintu kelas drama bawang merah bawang putih yang akan berlangsung sebentar lagi. Bohong jika dia tak gentar. Dia gentar. Semua orang tahu karakter dan sifat   Sindy. Dan melihat banyaknya penonton pagi ini, sudah bisa dipastikan jika kisah cinta    Sindy dan senior sialan itu sudah menjadi rumor yang sangat hangat di sekolahan. Dam diam Daira berharap, bel masuk cepat berbunyi, guru jam pertama masuk, dan hilanglah aura neraka ini. 
          “si wanita murahan sudah datang.” Tajam. Vianra memulai perang.
          Daira tetap diam. Berusaha tak terengaruh.
           Sindy mengebrak meja. Dan berdiri berjalan cepat tepat kearah Daira. Satu tangannya kembali menggebarak meja Daira. Membuat gadis itu terlonjak kaget.
          “apa yang kau lakukan pada Kak Yodha, hah?”
          Matanya menatap Daira tajam. Bahunya naik turun manahan semua emosi yang membuncah di dadanya. Dia anak si pemilik yayasan ini, ditelikung dua kali oleh gadis jelek ini. Tidak puas masalah prestasi, sekarang dia juga menggoda kak Yodha, gebetannya dari mula memasuki sekolah ini. Tidak. Dia tak bisa terima ini. Tak bisa dibiarkan.
          “jawab!” tak dapat manahan diri,   Sindy mendorong bahu Daira kasar.
          Dia mau jawab apa, bego? Apa yang dimengerti cewek lampir ini dengan ‘tak tahu apa apa’?
Daira tahu pasti, Sindy tak mengharakan jawaban apapun darinya. Gadis ini hanya ingin menunjukkan kuasa padanya. Menunjukkan kemarahannnya yang mampu menyakiti Daira.
          “kau bisu? Dasar tak tahu diri, jalang.” Bedebah. Itu bukan kata kata pelajar, tapi vianra mengatakannya seringan kapas dengan seringai kebenciannya.
          Daira memilih melihat tasnya. Tak ingin terlibat lebih jauh. Berharap bel cepat berbunyi dan di terselamatkan. Udara kelas menegang. Semua orang yang menonton menahan nafas. Menunggu aksi paling seru dari anak si pemilik yayasan.
          “aku bicara denganmu murahan.” Rambut panjangnya dijambak kasar. Daira meringis. “dasar jal-“
          “cukup!”
          Bentakan   Sindy terpotong oleh teriakan keras dari arah pintu. Saat itulah Daira melihatnya.
          Seorang senior memasuki kelasnya dengan nafas yang sedikit terengah. Mngkin dia belarian kekelas ini. Dia yodha. Senio gagah yang membuat   Sindy bertindak bagai babi buta. Sindy melepaskan cengkramannya. Vianra salah tingkah, Daira menundukkan wajahnya kembali, sedang seluruh menonton terperangah melihat drama yang semakin seru saja.
          Tanpa memperdulikan   Sindy dan vianra yang terbata, Yodha berjalan mantap membelah kelas. Lalu berdiri tepat di samping Daira. Semua menahan nafas. Perlahan yodha mengangkat tangannya, menyentuh kepala Daira sayang. Daira membeku. Rasanya, ada rasa hangat menjalari hatinya. Merasa dilindungi, menghilangkan bekas jamabakkan Sindy tadi. Daira mendongak. Menatapi cahaya mata yang familiar dimatanya. Yodha tersenyum.
          “Apa kabar, Dik?”
          Mata Daira tiba tiba berkaca bening kristal. Perasaan yang terasa sangat dikenalinya menyergapnya begitu saja. Serasa dilindungi. Bibirnya lancar mengeja kata.
          “kakak..”
          Senyum Yodha makin melebar.
          “akhirnya, kau ingat kakak, dik.”
          Dan detik berikutnya Daira menghambur memeluk sosok yang menyisakan kekosongan dihatiya. Kakaknya. Kakak bersinglet lusuh yang meraung raung memangil namanya sepanjang jalan. Kakak yang membuatnya merasa baik baik saja. Dia menangis, tak peduli sekitar. Menangis menumpahkan perasaan rindu dan leganya. Tak menyadari ekspresi   Sindy yang seakan akan pingsan saat itu juga. Bahkan meski bel masuk berbunyi nyaring, Daira tak mau melepaskan pelukannya. Kakaknya.. kakaknya.  Kakak yang tersingkir dari memorinya. Pikiran anak kecilnya yang dengan bijksananya menghapus memori menyakitkan saat dia terpisah dari kakaknya, juga ikut menhapus sosok kakak itu sendiri. Dia lega.. sangat lega.
*****
“Darimana kakak tahu itu aku?”
Daira bertanya sambil mengunyah roti tawarnya. Yodha duduk diseberang meja. Katin jadi ramai oleh bisik bisik sisiwa melihat mereka duduk di kantin.
“tentu saja kakak tahu.” Yodha tersenyum. Namun sedetik lainnya,senyum itu berubah sendu. “kakak mencarimu kemana mana malam itu. Persis orang gila mungkin. Lalu, kakak di adopsi oleh keluarga sederhana. Ya, itu jadi keluarga kakak sekarang. Kakak bahagia. Meski selalu terasa kurang. Kakak selalu mencarimu, Dik. Dan lihat kita justru dipertemukan disatu sekolah yang sama.”
Daira milihat kesenduan itu dengan raut bersalah.
“Daira lupa wajah orang yang membawa Daira. Daira terbangun di samping ayah dan ibu Daira sekrang. Daira merasa senang dan bahagia mendapatkan keluarga. Daira bahkan lupa jika Daira anak angkat, lupa pada kakak.” Meletakkan rotinya, Daira menelan kasar.
“ahaha. Jangan murung begitu. kakak tahu kok. Saat Daira pertama kali masuk sekolah ini, bahkan kita pernah bertabrakan sekali. Kakak bangga, Daira bisa tumbuh menjadi gadis kuat dan pintar.”
Daira ikut tersenyum bangga. Selama ini baru sekali iniah ia bisa memperlihatkan ekspresinya kepada orang lain. Daira itu pribadi yang tertutup. Dia bahkan tak punya teman dekat sama sekali.
“Daira juga bangga, kakak jadi orang yang gagah dan menjuarai tekwondo nasional.” Tambah Daira semanagat. Tentu saja dia sangat bangga. Namun ekspresinya berubah serius saat menyadari sesuatu
“apa?” yodha bisa merasakan tatapan itu menghakiminya.
“jangan bilang kakak pacaran dengan Sindy. Daira tak akan memberikan restu.”  Deklarasi Daira tanpa basa basi.
Tawa yodha pecah.
“tentu saja tidak adikku.” Jawab yodha dipenghujung tawanya.
“syukurah..” Daira ikut tertawa. Tak terbayangkan jika mak lampir itu akan menjadi kakak iparnya. Dan dia ingat sesuatu lagi. Matanya menatapi kakaknya tajam.
“oh, astaga. Apa lagi sih?”
“Jangan pernah sekalipun, mengirimi Daira surat.lagi.” ucap Daira penuh penakanan.
Tawa yodha kembali meledak. “tidak tidak. Tanang saja.” Ucapnya meyakinkan.
Daira kembali  tersenyum cerah. “kakak maukan main kerumah Daira. Ketemu sama orang tua Daira.”
Senyum diwajah yodha menghilang begitu saja. Tidak. Tidak sekarang. Tangannya terkepal tanpa disadarinya.
“kakak kenapa?”
Beruntung, bel tanda masuk menyelamatkan lidah yodha dari dusta. Dia tersenyum dan berdiri membayar makanannya dan Daira.
“ayo, sana masuk. Tenang saja, Sindy pasti akan baik pada mu, dik” ucapnya mengacak ngacak rambut Daira. Daira tertawa dan berjalan duluan menuju kelasnya. Yodha memandangi hingga punggung adik yang dirindukannya selama ini menghilang dikoridor kelas.
Ketemu sama orang tua Daira.
Tangan yodha kembli mengepal. Dia sudah menyelidiki keluarga Daira. Semuanya. Hingga fakta jika lelaki yang disebut ayah oleh Daira adalah orang yang merampas Daira dari pelukannya dulu. Laki laki itu yang melarikan Daira, memisahkan mereka dengan kejam.
Kejam?
Tidak. Lelaki itu tak kejam pada Daira. Mungkin hanya padanya saja. Lelaki itulah yang memberikan kehidupan baru untuk Daira. Keluarga, materi dan kebahagian. Pantaskah yodha membenci lelaki itu? Tidak. Tentu saja tidak.
Hanya saja, dia masih butuh waktu, untuk mengalahkan sisi egoisnya dulu. Bagaimanapun, elaki itu telah memisahkan yodha dari adik satu satunya.
Terkadang, hal yang terlihat kejam, saat dilihat dari sudut padang yang berbeda justru terlihat seperti anugrah.

THE END







2 komentar:

  1. tolonng diperbaiki kesalahan pengetikannya, sangat tidak nyaman dibaca karena terlalu banyak yang salah. :p
    sekian

    BalasHapus