Hal
yang selalu membuat Daira sesak setelah larut menjemputnya dalam mimpi adalah
mengenai rasa yang familiar di dada dan fikirannya, perlahan lahan meninggalkannya
dalam kekosongan saat dia membuka mata. Beberapa kali gadis pendiam ini mencoba
mengingat ngingatnya, tapi semakin dia mencoba, semakin kabur rasa itu pada
akhirnya. Rasanya seperti campuran rasa hangat, tempat dia bersandar dan rasa
terlindungi yang nyaman. Tapi sekali lagi dia tak tahu itu apa. Rasa itu hampir
sama saat dia berada di samping ayah dan ibunya, tapi jauh lebih kental.
Sayangnya, rasa itu hadir tak lebih dari mimpi yang mendatanginya tiap malam.
Selalu datang padanya dalam lelap hanya untuk Daira lupakan keesokkannya.
*******
“Woi, lihat, ada surat cinta di mading!”
seruan seorang sisiwa kelewat semangat menyapa pendengaran Daira. Entah kanapa
perasaannya berubah jadi tak enak. Tanpa pikir panjang, Daira ikut bergegas
balik kanan menuju mading sekolah yang memang terletak berlawanan arah dengan
kelasnya. Lupakan tas berat yang menekan pundaknya, dia hanya perlu memastikan
satu hal.
Di depan kotak kaca mading sudah
disesaki oleh berpasang pasang kaki penasaran yang melihat mading penuh minat.
Daira kaku seketika. Dia dan siswa yang lain sama sama melihat surat itu dengan
heran, tapi bedanya, siswa yan lain terkikik geli membacanya, Daira justru
berharap tembok tempat dia berpijak mau menelannya hidup hidup sekarang juga.
Terlebih beberapa pasang mata bahkan terang terangan menatapnya geli. Ingin rasanya
dia membenturkan kepalanya ke kaca mading sialan itu. Sungguh, dia benar benar
malu.
Di sana, terpajang manis sebuah surat
singkat yang kemarin dibuangnya. Nama Daira tertulis besar besar sebagai
penerima (entah dia harus malu atau bersyukur).
Teruntuk,
yang kusayang.
Daira.
Hai
Daira. Aku manyayangimu. Meski kau tak tahu siaa aku. Aku akan berusaha untuk
selalu menjagamu. Selalu baik baik saja ya. Selalu mejadi si nomor satu, oke?
Mister
X
Daira bebalik kaku. Bagus mister x.
Sekarang seluruh sekolah akan menertawakannya. Memutuskan untuk berpura pura
tak tahu Daira menuju kelasnya. Jelas jelas mengabaikan tatapan bahkan ejekan
langsung yang diberikan secara cuma Cuma sepagi ini padanya.
Merasakan semua aura ini, Daira tahu,
hidupnya takkan pernah tenang lagi setelah ini.
******
Tangan kurus coreng
moreng itu memeluk tubuhnya. Gadis cilik lima tahun yang baru berhenti menangis beberapa menit
lalu, masih memakan roti beraroma usang itu rakus. Sesekali isaknya masih
terdengar diantara kunyahannya.
“dik, jangan cepat
cepat. Pelan pelan saja.”
Gadis kecil menatapi bocah enam tahun dekil yang masih
memeluknya. Bocah yang memberikan kue ini padanya. Bocah yang seharian ini
pergi meninggalknanya menangis meringkuk sendirian dijalanan. Menangis karna
lapar dan sendirian. Lalu, pulang pulang, dia mendapati kedua sumber tangisannya
hlang begitu saja. Ada roti yang disodorkan padanya. Dan senyum hangat
melindungi yang membuatnya merasa baik baik saja. Asal ada senyuman ini, apapun
itu, semua pasti akan baik baik saja.
“kakak,
mau?” si gadis menyodorkan roti yang tingal separuh dengan mata berkilat polos.
“ahaa,
tidak. Kakak sudah tadi. Ini untukmu saja ya?” bocah lelaki bersinglet kusam
itu tersenyum lagi.
“iya?
Kakak makan apa? Enak?” kejarnya dengan pandangan menghakimi. Seakan si kakak
tak adil dengan tidak menyisakkan untuknya sedikit.
Si
kakak tertawa lagi.
“tidak,
kakak juga makan roti itu kok.” Bohong. Dia bahkan tak memakan apapun sedari
pagi. Jelas jelas bunyi perutnya yang keroncongan membantah semua dustanya.
“untuk
kakak segini ya. Si gadis mengambil sejumput roti tawarnya, menyodorkn kehadapan
si kakak.
“tak
apa. Kamu makan saja dulu. Besok kakak bawakan makanan yang lebih enak.”
“benarkah?”
Namun
kata kata itu belum sempat terbalas. Beberaa pasang tangan lelaki dewasa tiba
tiba saja meraih tubuh si gadis dari dekapan bocah lelaki kurus.
“dik...”
bocah itu berusaha meraih adiknya. Namun dia justru tersungkur di dorong oleh
salah seorang lelaki dewasa yang kini menggendong adiknya. Tak peduli, bocah
itu masih berusah mengapai gapai dengan wajah bersimbah air mata kehilangan. Si
gadis meronta. Berusah lepas. Namun tubuhnya sudah dibawa masuk dalam sebuah
mobil. Matanya sekilas melihat dari kaca jendela yang terbuka. Bocah bersinglet
lusuh itu meraung raung memangilnya. Berlari mencoba mengikuti mobil yang
membawanya.
“Dairaaaaa......
Daira terduduk bangun, tercerabut
paksa dari mimpinya. Tanpa sadar
tangannya mencengkram begian depan bajunya. Terasa sesak dan sakit bersamaan.
Sebelum kemudian hilang, meninggalkan kekosongan yang paling Daira benci.
“kakak...” dia mengeja panggilan
familiar yang ingin sekali meluncur dari bibirnya.
Panggilan yang terasa familiar di lidah
namun asing dalam cernaan fikirannya.
Panggilan untu siapa itu? Dia hanya anak tunggal. Tak ada istilah
saudara apalagi kakak dalam kehidupannya. Tapi mimpi itu selalu datang
berulang. Walau beberapa kali Daira langsung tak ingat saat matanya melihat
dunia. Tapi kali ini, mimpi itu terasa nyata. Benar benar nyata. Daira masih
bisa merasakan sisa sisa kehangatan pelukan bocah itu dalam ingatannya.
Dia siapa?
Wajahnya terangkat. Sudah waktunya
untuk bangun. Menepiskan semua pikiran pikiran anehnya, Daira mengusap wajah.
Menarik nafas singkat. Matanya teraku pada foto keluarga disudut kamar
mewahnya. Dia tersenyum manis, diapit oleh ayah ibunya yang tersenyum tak kalah
bahagia. Hanya itu. Mereka bertiga. Berlahan, rasa kosong itu makin menyata
dihatinya. Efek mimpi dan sisa rasa itu memudar. Meninggalkan Daira dalam fakta
kesehariannya.
Dia
harus bangun dan sekolah layaknya Daira yang dibanggakan semua orang.
*****
“hei,
lihat si nomor satu yang sok kecantikan datang.”
Daira
memutuskan untuk tidak terpncing. Lebih memilih duduk ria, mengeluarkan buku
kimia dan membacanya seolah Sindy hanya boneka bicara. Sindy menghentak
tak suka. Dia secara terang terangan
selama ini menunjukkan ketidak sukaannya pada Daira karna kalah saing dalam
memperebutkan juara kelas.
“nggak
nyangka ya, sin, si juara umum murahan. Ada pengagum rahasianya juga. Gayanya
sok alim, eh tahunya suka tebar pesona juga.” Vianra ikut menabur racun.
Daira
tak peduli. Sudah biasa. Mereka berdua memang kompak membulli orang yang tidak
disukainya. Apa lagi itu Daira. Status sebagai anak pemilik yayasan sekolah
membuat Sindy tak pernah jera mencari keributan.
Dijelaskan pun percuma, diadukan pun sia sia. Tapi sejauh ini, mereka hanya
berani menyidir kasar saja, belum tahap kontak fisik, jadi Daira memilih
mengabaikan. Semua itu masih bisa diatasi.
Topik
Daira dan surat cinta di mading, masih menjadi bahan pembicaraan seru satu
sekolah. Apalagi si juara umum hanya diam tak berkomentar apa apa saat beberapa
orang siswa nekat menanyainya. Maka makin nyaringlah mereka bergosip ria dengan
ilustrasi mereka masing masing. Menganggap sikap diam Daira dalah simbol
setuju.
Daira
sendiri memilih untuk tetap fokus belajar. Tak peduli pada surat memalukan itu.
Dia masih Daira yang biasa. Si anak emas kebanggan sekolah. Awalnya dia mengira takkan ada masalah
berarti selagi dia tak menganggap itu penting. Namun pikiran itu segera minggat
saat esoknya Daira kembali menemukan surat yang sama di laci mejanya. Berani
sekali. Bahkan satu masalah karna surat pertama belum selesai sekarang surat
kedua juga telah menyusul.
Belajar
dari pengalaman. Daira menyimpan surat itu langsung. Tapa berniat membuangnya
lagi. Tidak. Dia tak ingin surat ini kembali mempermalukannnya sesemesta
sekolah ini. Dia akan membacanya dirumah. Membakarnya, bahkan kalau pelu
mengguna gunai si pelaku agar jerawatan tujuh turunan.
“teruntuk
yang kusayang, Daira.”
Tukan. Awalnya saja sudah membuat
Daira ingin muntah. Siapa sih dia? Ini benar benar memalukan.
“maaf,
surat kemaren membuamu dalam masalah ya? Maaf ya Daira. Akau janji akan membantumu
menyelesaikan masalah mu karna surat ini. Selalu sehat ya..”
Daira memutuskan untuk menyimpan surat
itu pada akhirnya. Enatah kenapa, kata kata disana membuatnya tersentuh. Seakan
dia tak sendiri. Seperti dilindungi.
Besoknya, kabar menggemparkan
menyambut Daira saat memasuki gerbang sekolah. Kasak kusuk gosip mengatakan
jika identitasa si mister x telah terkuak. Daira sendiri berusaha tak peduli
saat salah seorang teman sekelasnya menggebu gebu memberitahunya siapa
sebenarnya si mister x itu. Beberaapa orang sisiwa yang bertugas piket kemaren
lusa melihatnya memasuki kelas Daira, dan meletakkan surat disana.
Dia salah seorang senior Daira. Cucup
terkenal karna wajahnya yang ramah dan prestasi nya di bidang tekwondo mengaharumkan
nama sekolah hingga tingkat nasional. Daira tak ingat pernah meliahat atau
bertemu dengan senior itu. Tapi sekali lagi Daira menghembuskn nafas berat. Entah
cobaan apa lagi yang akan menungunya dikelas. Karna kabar lainnya menjelaskan,
jika senior itu adalah senior yang menjadi gebetan Sindy
semenjak dahulu. Peteka. Senior kurang ajar itu sukses menhancurkan ketenangan
hidup Daira telak dengan dua surat saja.
Dikelas beberapa orang sisiwa tengah
mengerubungi meja Sindy. Sedang gadis berambut panjang itu
berpangku tangan murka. Hati Daira makin ketar ketir melihat tatapan tajam Sindy
yang seakan menyilet kulitnya.
Menenangkan diri, Daira memilih
duduk dikursinya. Syukurlah tak ada apapun disitu. Tak ada coretan, lumpur atau
permen karet. Daira memilih duduk manis. Tak menghiaraukan suasana sekitar yang
terasa seperti kuburan.
Beberapa siswa kelas lain bahkan telah
memenuhi lorong kelasnya. Melihat dari jendela dan pintu kelas drama bawang
merah bawang putih yang akan berlangsung sebentar lagi. Bohong jika dia tak
gentar. Dia gentar. Semua orang tahu karakter dan sifat Sindy.
Dan melihat banyaknya penonton pagi ini, sudah bisa dipastikan jika kisah cinta
Sindy dan senior sialan itu sudah menjadi
rumor yang sangat hangat di sekolahan. Dam diam Daira berharap, bel masuk cepat
berbunyi, guru jam pertama masuk, dan hilanglah aura neraka ini.
“si wanita murahan sudah datang.”
Tajam. Vianra memulai perang.
Daira tetap diam. Berusaha tak
terengaruh.
Sindy mengebrak meja. Dan berdiri berjalan
cepat tepat kearah Daira. Satu tangannya kembali menggebarak meja Daira. Membuat
gadis itu terlonjak kaget.
“apa yang kau lakukan pada Kak Yodha,
hah?”
Matanya menatap Daira tajam. Bahunya
naik turun manahan semua emosi yang membuncah di dadanya. Dia anak si pemilik
yayasan ini, ditelikung dua kali oleh gadis jelek ini. Tidak puas masalah
prestasi, sekarang dia juga menggoda kak Yodha, gebetannya dari mula memasuki
sekolah ini. Tidak. Dia tak bisa terima ini. Tak bisa dibiarkan.
“jawab!” tak dapat manahan diri, Sindy
mendorong bahu Daira kasar.
Dia mau jawab apa, bego? Apa yang
dimengerti cewek lampir ini dengan ‘tak tahu apa apa’?
Daira
tahu pasti, Sindy tak mengharakan jawaban apapun darinya. Gadis ini hanya ingin
menunjukkan kuasa padanya. Menunjukkan kemarahannnya yang mampu menyakiti Daira.
“kau bisu? Dasar tak tahu diri,
jalang.” Bedebah. Itu bukan kata kata pelajar, tapi vianra mengatakannya
seringan kapas dengan seringai kebenciannya.
Daira memilih melihat tasnya. Tak
ingin terlibat lebih jauh. Berharap bel cepat berbunyi dan di terselamatkan.
Udara kelas menegang. Semua orang yang menonton menahan nafas. Menunggu aksi paling
seru dari anak si pemilik yayasan.
“aku bicara denganmu murahan.” Rambut
panjangnya dijambak kasar. Daira meringis. “dasar jal-“
“cukup!”
Bentakan Sindy
terpotong oleh teriakan keras dari arah pintu. Saat itulah Daira melihatnya.
Seorang senior memasuki kelasnya
dengan nafas yang sedikit terengah. Mngkin dia belarian kekelas ini. Dia yodha.
Senio gagah yang membuat Sindy bertindak bagai babi buta. Sindy
melepaskan cengkramannya. Vianra salah tingkah, Daira menundukkan wajahnya
kembali, sedang seluruh menonton terperangah melihat drama yang semakin seru
saja.
Tanpa memperdulikan Sindy
dan vianra yang terbata, Yodha berjalan mantap membelah kelas. Lalu berdiri
tepat di samping Daira. Semua menahan nafas. Perlahan yodha mengangkat
tangannya, menyentuh kepala Daira sayang. Daira membeku. Rasanya, ada rasa
hangat menjalari hatinya. Merasa dilindungi, menghilangkan bekas jamabakkan Sindy
tadi. Daira mendongak. Menatapi cahaya mata yang familiar dimatanya. Yodha
tersenyum.
“Apa kabar, Dik?”
Mata Daira tiba tiba berkaca bening
kristal. Perasaan yang terasa sangat dikenalinya menyergapnya begitu saja.
Serasa dilindungi. Bibirnya lancar mengeja kata.
“kakak..”
Senyum Yodha makin melebar.
“akhirnya, kau ingat kakak, dik.”
Dan detik berikutnya Daira menghambur
memeluk sosok yang menyisakan kekosongan dihatiya. Kakaknya. Kakak bersinglet
lusuh yang meraung raung memangil namanya sepanjang jalan. Kakak yang
membuatnya merasa baik baik saja. Dia menangis, tak peduli sekitar. Menangis
menumpahkan perasaan rindu dan leganya. Tak menyadari ekspresi Sindy
yang seakan akan pingsan saat itu juga. Bahkan meski bel masuk berbunyi
nyaring, Daira tak mau melepaskan pelukannya. Kakaknya.. kakaknya. Kakak yang tersingkir dari memorinya. Pikiran
anak kecilnya yang dengan bijksananya menghapus memori menyakitkan saat dia
terpisah dari kakaknya, juga ikut menhapus sosok kakak itu sendiri. Dia lega..
sangat lega.
*****
“Darimana
kakak tahu itu aku?”
Daira
bertanya sambil mengunyah roti tawarnya. Yodha duduk diseberang meja. Katin
jadi ramai oleh bisik bisik sisiwa melihat mereka duduk di kantin.
“tentu
saja kakak tahu.” Yodha tersenyum. Namun sedetik lainnya,senyum itu berubah
sendu. “kakak mencarimu kemana mana malam itu. Persis orang gila mungkin. Lalu,
kakak di adopsi oleh keluarga sederhana. Ya, itu jadi keluarga kakak sekarang. Kakak
bahagia. Meski selalu terasa kurang. Kakak selalu mencarimu, Dik. Dan lihat
kita justru dipertemukan disatu sekolah yang sama.”
Daira
milihat kesenduan itu dengan raut bersalah.
“Daira
lupa wajah orang yang membawa Daira. Daira terbangun di samping ayah dan ibu
Daira sekrang. Daira merasa senang dan bahagia mendapatkan keluarga. Daira
bahkan lupa jika Daira anak angkat, lupa pada kakak.” Meletakkan rotinya, Daira
menelan kasar.
“ahaha.
Jangan murung begitu. kakak tahu kok. Saat Daira pertama kali masuk sekolah
ini, bahkan kita pernah bertabrakan sekali. Kakak bangga, Daira bisa tumbuh
menjadi gadis kuat dan pintar.”
Daira
ikut tersenyum bangga. Selama ini baru sekali iniah ia bisa memperlihatkan
ekspresinya kepada orang lain. Daira itu pribadi yang tertutup. Dia bahkan tak
punya teman dekat sama sekali.
“Daira
juga bangga, kakak jadi orang yang gagah dan menjuarai tekwondo nasional.”
Tambah Daira semanagat. Tentu saja dia sangat bangga. Namun ekspresinya berubah
serius saat menyadari sesuatu
“apa?”
yodha bisa merasakan tatapan itu menghakiminya.
“jangan
bilang kakak pacaran dengan Sindy. Daira tak akan memberikan restu.” Deklarasi Daira tanpa basa basi.
Tawa
yodha pecah.
“tentu
saja tidak adikku.” Jawab yodha dipenghujung tawanya.
“syukurah..”
Daira ikut tertawa. Tak terbayangkan jika mak lampir itu akan menjadi kakak
iparnya. Dan dia ingat sesuatu lagi. Matanya menatapi kakaknya tajam.
“oh,
astaga. Apa lagi sih?”
“Jangan
pernah sekalipun, mengirimi Daira surat.lagi.” ucap Daira penuh penakanan.
Tawa
yodha kembali meledak. “tidak tidak. Tanang saja.” Ucapnya meyakinkan.
Daira
kembali tersenyum cerah. “kakak maukan
main kerumah Daira. Ketemu sama orang tua Daira.”
Senyum
diwajah yodha menghilang begitu saja. Tidak. Tidak sekarang. Tangannya terkepal
tanpa disadarinya.
“kakak
kenapa?”
Beruntung,
bel tanda masuk menyelamatkan lidah yodha dari dusta. Dia tersenyum dan berdiri
membayar makanannya dan Daira.
“ayo,
sana masuk. Tenang saja, Sindy pasti akan baik pada mu, dik” ucapnya mengacak
ngacak rambut Daira. Daira tertawa dan berjalan duluan menuju kelasnya. Yodha memandangi
hingga punggung adik yang dirindukannya selama ini menghilang dikoridor kelas.
Ketemu sama orang tua
Daira.
Tangan
yodha kembli mengepal. Dia sudah menyelidiki keluarga Daira. Semuanya. Hingga fakta
jika lelaki yang disebut ayah oleh Daira adalah orang yang merampas Daira dari
pelukannya dulu. Laki laki itu yang melarikan Daira, memisahkan mereka dengan
kejam.
Kejam?
Tidak.
Lelaki itu tak kejam pada Daira. Mungkin hanya padanya saja. Lelaki itulah yang
memberikan kehidupan baru untuk Daira. Keluarga, materi dan kebahagian. Pantaskah
yodha membenci lelaki itu? Tidak. Tentu saja tidak.
Hanya
saja, dia masih butuh waktu, untuk mengalahkan sisi egoisnya dulu. Bagaimanapun,
elaki itu telah memisahkan yodha dari adik satu satunya.
Terkadang,
hal yang terlihat kejam, saat dilihat dari sudut padang yang berbeda justru
terlihat seperti anugrah.
THE
END
tolonng diperbaiki kesalahan pengetikannya, sangat tidak nyaman dibaca karena terlalu banyak yang salah. :p
BalasHapussekian
entah jariku atau notebook ku. :P
BalasHapus