Takdir itu seperti gelindingan bola liar. Kita tak pernah
tahu ke arah mana mereka menyeruak. Dalam situasi seperti apa mereka
melemparkan kita. Tak terduga, dan tak jarang menggoncang. Dipikir lagi,
mungkin itulah yang berperan penting membuat manusia menjadi manusiawi. Jika
semua hidup berjalan sesuai skenario kehidupan masing masing orang, itu robot
namanya. Diprogram dan jalan.
Itu pendapatku mengenai takdir setelah gelindingnya membawaku
ke berbagai kejadian tak terduga. Mereka seolah menertawakanku dengan
mengantarkanku pada situasi situasi laksana balas dendam. Karma lebih tepatnya.
Meninggalkan, ditinggalkan, dan perebut
yang dipilih tanpa cinta.
Dahulu masa belia memperkenalkanku pada hubungan mengikat
hati. Aku yang masih begitu hijau untuk mencerna “cinta” tak benar benar paham
apa yang tengah kujalani. Perbedaan umur yang lumayan jauh membuat kami
berbimbingan dengan timpang. Salah satu menahan hati untuk ego pasangannya. Dan
disini, ego ku lah yang menempati ruang antara aku dan dia. Dia,kuberi saja
namanya “Rizal” di sini.
Ketulusan dan pengertian Rizal membuatku terpikat. Kurasa,
inilah yang kucari. Tak ada yang setulus dan sepengertian ini padaku nanti. Aku
melangkah lebih serius. Mengatakan terus terang jika hubungan kami akan kubawa
pada pernikahan. Aku berjanji untuk itu. Tapi, aku melupakan hal paling
mendasar dalam sebuah hubungan. Rasa. Rasaku padanya tak lebih dari suka, dan
pandangan jika tak ada yang lebih baik darinya. Sedang dia, menjalani ini dengan
sepenuh hatinya. Semua cintanya tumpah ruah membuatku merasa tinggi. Tanpa ada
rasa yang sama dariku, lidahku bertindak seringan belati. Mengirisnya tanpa
kupeduli. Tanpa rasa bersalah, apalagi menyesal.
Ah, sekarang, baru kusadari kekejamanku di masa itu.
Lalu kami terpaksa berpisah. Keluargaku keberatan dengan
hubungan kami. Berbagai alasan berlogika menguatkan keberatan mereka. Aku tak
berdaya. Lebih tepatnya, aku menyerah memperjuangkan. Memilih balik kanan,
memungunginya sambil menutup telinga. Aku pura pura tuli untuk semua jerit memohon
dan kesakitannya. Aku pura pura buta untuk melihat wajah terluka dan
sekaratnya. Aku memutuskan, untuk tetap melangkah pergi. pergi dengan langkah
gontai tanpa rasa bersalah. Aku tak merasai luka, seperti lukanya.
Hatiku memilih yang lain. Ku gandeng tangannya, memulai
hubungan kami, membelakangi Rizal, dan melangkah tanpa menoleh sedikitpun. Aku
meninggalkan cinta tulus dari seorang lelaki sederhana, yang mungkin takkan
kudapatkan yang persis sama lagi.
Bola takdir telah
mengelinding. Mengantarkanku pada posisi meninggalkan.
Dia yang kupilih, hanya karna alasan dia lebih baik dari
Rizal. Kuberi saja namanya Said. Selintas dia merupakan pasangan yang sempurna.
Kehidupan yang kami jalani juga sama. Aku memulai. Memulai tanpa cinta.
Said lama kelamaan mampu menyentuh relung hatiku. Membuatku
menyadari jika aku tengah terjebak oleh cinta. Aku tak menyesali sama sekali.
Hubungan awal yang kami lalui tanpa cinta mampu berbuah semanis ini. Waktu
mengikat kedua hati kami erat, kami saling mencintai.
Hubungan kami berjalan mulus laksana curah hujan. Cinta
membuat kami saling menerima, dan mengisi. Tak ada pertengkaran yang tak
berakhir dengan cinta yang terus bertambah. Menyenangkan. Aku bahagia. Sangat
bahagia. Semua seperti diciptakan sempurna karna kami memang ditakdirkan untuk
bersama. Aku menemukan sebagian hatiku padanya. Dari pancaran matanya, aku tahu
dia juga begitu.
Cinta kami membuat kami memutuskan lngkah serius. Semua
berjalan dengn mulus. Sangat mulus malah.
Said bertemu keluargaku. Cek.
Aku bertemu keluarga Said. Cek.
Keluargaku dan keluarga Said bertemu. Cek.
Keluarga Said dan keluargaku bertemu serius. Cek.
Kami semakin gila oleh mimpi yang akan jadi kenyataan. Perencanaan
masa depan menjadi pembicaraan yang tak ada habisnya di tiap kami saling
membagi cerita. Semua terasa makin indah. Hatiku dan hatinya semakin melonjak
tak sabar atas jalan baru yang akan menyatukan kami.
Namun semua berderai laksana artifak kaca. Berderai tanpa
dapat di satukan lagi. Salah paham membuat jurang melebar diantara kami. Segala
daya dan upaya membuat kami terjungkal sendiri.
Takdir menggelinding dengan cara yang sama. Kami terpaksa
berisah. Bedanya, sekarang aku yang mengerang sakit, aku yang memucat sekarat
melihat pungung Said pergi menjauh dari jangkauanku. Karma kawan, karma. Tak ada
yang membuatnya menyurutkan langkah untuk sedikit menoleh ke arahku. Aku mengharapkan
sedikit pandangannya. Aku masih bersikeras berjuang, memperjuangkan cinta yang
kuercayai. Tapi dia memilih menyerah dan pergi meninggalkanku sendiri berkubang
perih.
Berbulan bulan lamanya, aku terperangkap putus asa. Malah artinya
perjuangan sendiri. Sebentar saja, dan sekarang aku berada di posisi ditingalkan.
Menykitkan ternyata. Menyedihkan. Aku tak mampu meminta keadilan Tuhan atas apa
yang kuderita, karna dahulunya aku melakukan hal yang sama.
Setidaknya, sekarang kami saling mencintai. Tapi untuk apa? Jika
kalian benar benar berada di atas cinta, maka kau tak kan pernah pergi
meninggalkan. Kau takkan mempu melihat orang kau cintai berjuang sendiri. Kau akkan
mampu untuk melangkah pergi, satu langkah pun. Tapi lihat? Hal yang bisa ku simpulkan,
cintanya tak sedalam cintaku.
Setelahnya, aku melihat dia menggandeng tangan yang lain
menjauhiku. Seorang gadis yang dipilih karna lebih baik dariku. Bukan karna
cinta. Gadis yang dipilih atas bisa menjadi pengganti yang lebih memenuhi
kriteria. Gadis yang menyedihkan pada awalnya, namun beruntung pada akhirnya. Karna
faktanya, waktu kebersamaan selalu melahirkan cinta. Sama halnya denganku
dahulu. Pada akhirnya, gadis itu akan mendapatkan cinta pasangannya jua. Imbalan
atas ketidak tahuannya pada kisah cinta dahsyat yang dilewati pasangannya yang
mungkin takkan pernah bisa diimbanginya. Hadiah atas kesabarannya menjalin
hubungan dengan orang yang hatinya masih di raga gadis masa lalunya. Dia,
pantas mendapatkannya.
Setahun berlalu. Gelindingan bola takdir membawaku pada
posisi yang membuatku terawa miris. Gadis yang dipilih tanpa cinta. Bagus sekali.
Rupanya takdir senang sekali bermain dengan memperolok nasipku. Aku seolah di giring
untuk merasai tiga posisi permainan cinta ini.
Sepasang kekasih yang saling mencintai, terpaksa harus berpisah
karna keluarga. Sang gadis yang mencintai pasangannya bahkan dahulu rela
meninggalkan lelaki yang akan menikahinya begitu saja. Melenggang pergi, persis
setelah tanggal pernikahan ditentukan dan semua persiapan pernikahan mulai di
kerjakan. Atas nama cinta, dia pergi dan bekerja di tempat kekasihnya bekerja.
Takdir kawan. Dia melupakan “karma”. Keluaraga kekasihnya tak
pernah setuju dengannya. Hubungan mereka ditentang. Dan dia ditinggalkan
kekasihnya sendiri. Aku tak tahu pasti perpisahan mereka. Tapi dapat kurasakan
luka di masing masing pihak.
Apa kaitannya dengan ku?
Kaitannya, aku tiba tiba saja diseret diantara keduanya. Keluargnya
memilih aku sebagai pendamping lelaki itu karena dianggap lebih baik dan tentu
saja memenuhi kriteria yang mereka inginkan. Dan dia, menyanggupi permintaan
itu. Tapi aku bukan gadis yang tak tahu apa apa. Aku tahu, dan aku tak ingin. Aku
tak ingin dipilih, tak ingin menjalin hubungan dengan orang yang hatinya masih
dimiliki yang lain. Orang yang memilihku bukan karna cinta, tapi sekedar
pertimbangan keluarga saja. Tidak. Tidak.aku tak ingin menjalin kisah cinta
diatas latar cinta dahsyat pasanganku dahulu. Aku takkan bisa. Lagipula, aku
telah merasainya dulu. Aku tak ingin gadis lain, merasai sakit yang dulu pernah hampir membunuhku. Biarlah
ku lepaskan..
Dan lagi, Seorang lelaki akhirnya memasuki hatiku. Mengulurkan
tangan, merahiku dari kubangan duka masa lalu. Membisikan, jika saatnya
melangkah memulai kisah baru dengannya. Aku menerima. Meski tak mudah bagi
kami. Rintangan dan halangan menghadang jalan kami tak pernah ada habisnya. Belajar
dari pengalaman, aku memutuskan bertahan, mengikuti gelindingan takdir ini sampai
akhir. Toh dahulu, meski semua berjalan teramat mulus, tak menjadi jaminan akan
berakhir meraih impian, bukan?
Takdir itu seperti gelindingan bola liar. Kita tak pernah
tahu kearah mana mereka menyeruak. Dalam situasi seperti apa mereka melemparkan
kita. Tapi, Tuhan selalu memberikan kita pilihan untuk takdir yang menimpa
kita. Jika takdir diumpamakan sebuah jalan, maka kita yang menentukan arahnya.
Duhulu, saat takdir melemparkanku pada pertentangan
hubunganku dengan Rizal, aku memiliki pilihan bertahan, tapi aku lebih memilih
meninggalkan. Lalu saat Said meninggalkanku, aku juga memiliki pilihan bangkit
lebih cepat dan memperbaiki hidupku, tapi aku lebih memilih menikmati luka,
hingga seseorang datang menarikku dari sana.
Sekarang, saat takdir menertawakanku dengan meletakkanku
sebagai gadis yang dipilih,aku memilih untuk hengkang. Aku memilih arah lain. Menggandeng
tangan orang yang telah meraih tanganku. Orang yang memilihku karna hatinya. Orang
yang akan menyerahkan cinta untuhnya padaku seorang saja, orang yang telah mencuci
bersih masa lalunya. Orang yang kuercayai bisa membuatku jatuh cinta.
Itu pilihanku sekarang, takdir.