Minggu, 02 Oktober 2016

Pangeran Maestro 5 ; Sejelas itukah aku terpesona?



“ibu, kenapa ibu menangis?”

Suaraku bergetar tak mengerti. Wajah teduh itu menatapku sendu. Mengulurkan tangan menyentuh kepalaku sayang. Tiba tiba kabut menutupi pandanganku. Tangan yang mengelus kepalaku berubah kasar menjambak rambutku tanpa ampun. Aku berteriak kesakitan.

“jangan menangis. Lelaki berpantang menagis, bodoh!” bentakakn itu membuatku tersurut.

Bukan suara wanita. Tapi suara berat laki laki dewasa. Kabut menguak wajahnya. Menyeringai menampakkan wajah menakutkan dengan luka melintang dari pelipis hingga dagu.

Aku berontak.

Tidak! Tanganku yang berubah kecil tak memberi perlawanan apapun. Tidak! Tidak!. Jangan bilang tubuhku juga menjadi anak anak. Ini... aku sudah pernah melalui ini dulu kan?

Aku terhempas begitu saja ditengah lumpur. Hujan tiba tiba saja mengguyurku tampa ampun. Teriakan dan sumpah serapah dimana mana. Dan aku remaja.

“lari! Lari!” bang Akbar berteriak ditengah gemuruh.

Sekuat tenaga aku merangkak. Mencoba menjauh. Sesak membuatku mati rasa. Putus asa.

“mau kemana, hah?” lelaki gondrong berjas hitam, menodongkan sejata api tepat ke kepalaku. aku menutup mata...

Kringggggggg... Kringggggg..

Aku tersentak bangun. Terengah putus asa. Kuputar kepalaku berkeliling. Mana? mana laki laki itu? Padanganku jatuh pada ruang sempit berantakan. Masih terlalu remang untukku bisa melihat semua hal di kamar ini. Tapi satu hal yang dapat ku psatikan, aku bermimpi buruk. Lagi.

Kringgggg kring.. kring...
Kuatur nafasku yang terengah engah dengan keringat membanjir.          

Mimpi itu lagi.

Kringgg kringgg kringgg

Dan pekikan tak sabar alaram sialan itu lagi.

Belum sepenuhnya sadar, kulempar begitu saja alaram itu mencium diding. Tak kupedulikan suara berserakan setelahnya. Hancurlah.

Aku mengehela nafas berat. Mimpi. Lagi. Kilasan masa kecil dan malam pembantaian keluargaku. Mimpi yang selalu mengusik malam malam tenangku. Meski sudah 5 bulan beranjak dari masa itu, tapi mimpi itu tetap menyegarkan ingatanku. Selalu menjaga ingatan itu seolah itu baru saja terjadi. Baru saja.

Ku pijit kepalaku yang menghentak sakit. Efek tercerabut paksa dari mimpi buruk kerana pekikan alaram tak bertangung jawab tadi. Aku mendesah. 05.00 WIB. Waktu seharusnya aku bangun mandi, shalat, dan bersiap untuk bekerja. Dan alaram yang kumaki dengan kata ‘sial’ tadilah yang telah berbaik hati membangunkanku selama ini, hingga tadi. Yah.. setelah dia berakhir menjadi pecahan, takkan ada lagi pekikan tak sabarnya membangunkan aku besok. Bagus!

Satu jam setelahnya, aku sudah bersiap siap untuk berangkat kerja. Abra berhasil memasukan ku bekerja di rumah makan Padang tempatnya bekerja meski tanpa ijazah. Awalnya pemilik rumah makan itu sempat sangsi denganku. Namun seiring berjalan waktu dia mulai mempercayaiku. Beberapa bekerja disana juga bisa menerimaku dengan baik, karna bagaimana pun mereka juga telah mengenalku sebelum aku menjadi pekerja disini. Dua bulan terlewat dan sekarang aku sudah mulai dipercaya melayani tamu, tidak lagi sebagai pencuci piring sepeti pertama bekerja dulu. Bekerja dari jam tujuh pagi sampai jam 6 sore membuatku cukup lelah dan lupa pada dunia. Tak ada istilah libur dan tak ada istilah terperangkap penyelidikan kunci memusingkan wasiat bapak.

Huft.. Daffa? Dia bahkan lebih parah dariku.

Lamunanku terusik oleh suara pintu yang terbuka dari luar.

Baru pulang?

Kulirik jam di dinding kamarku. 6.10 pagi. Terlalu malam untuk kepulangannya di jam segini.

Saat membuka pintu kamar, pandanganku tersirobok dengan Daffa yang baru menutup pintu di belakangnya. Sesaat dia menantapku sebelum berlalu mengabaikan, seolah aku hanya jemuran yang tadi mengganggu pandangannya. Ini yang kubenci. Jaket bisbol hijaunya terlihat sama lusuhnya dengan wajah Daffa sendiri. Beberapa helai rambut panjangnya terjatuh kuyu diwajah kelelahannya yang kentara.

“baru pulang jam segini Daf?” kuajukan pertanyaan konyol yang sebenarnya sama sekali tak butuh jawaban. Sudah jelas kan?

Daffa tak menghiraukanku sama sekali. Sebelah tangannya terangkat, menutupi matanya dengan gerakan mengantuk. Sama sekali tak beniat menganggapku ada.

“Daffa!”sentakku dongkol. Masih pagi, Daffa adalah manusia pertama yang kutemui sepagi ini, dan dia telah sukses membuat amarahku kepermukaan.

“aku butuh istrahat” jawabanya terdengar tak nyambung sambil berkutat membuka kunci kamarnya disamping kamarku.

Selalu begitu, tehitung setelah dia bekerja ditempat bernama bar itu. Ada yang aneh dari sikapnya yang memang sudah aneh sebelum dia menerima pekerjaan itu.

Aku menatapinya tajam. Tak terpengaruh sedikitpun dengan tatapan membunuhku, Daffa telah menghilang dibalik daun pintu kamarnya. Suara pintu yang dibanting menyadarkanku, bahkan Daffa tak perlu menyatakan tak sukanya padaku, cukup bantingan pintu itu pertanda dia tak menyukai tatapanku.

Aku mendengus dongkol. Jujur saja selama dua bulan bekerja di temptku sekarang, aku tak lagi punya waktu untuk memecahkan misteri kunci bapak. Terlalu sibuk hingga membuatku sulit bernafas. Sedangkan Daffa yang juga telah dua bulan bekerja di bar entah mengapa seolah menciptakan tembok tinggi pembatas diantara kami.  Seolah dia tenggelam dalam dunianya sendiri dan aku bukanlah apa apa. Malangnya, aku bisa mencium gelagat tak baik darinya. Firasatku mengatakan jika dia menyembunyikan sesuatu dariku. Entah apa. Tapi dapat kupastikan selama bekerja di bar dia selalu fokus mencari informasi mengenai Hyena. Dan faktanya, tak ada satu pun informasi yang dibaginya padaku. Ditelan, makan dan dicernanya sendiri. Bisa kurasakn itu, tapi tak pernah Daffa berniat mengikutcampurkan aku dalam gerakannya. ada apa? Aku seolah terkurung dalam ketidak tahuan yang membuatku tak enak. Aku harus tahu. Kami saudara dan yang terbunuh adalah keluarga kami kan?

Perubahan ini sebenarnya mulai terasa seminggu sebelum dia ditawari pekerjaan oleh temannya. Temannya? Ish... bahkan aku tak tahu dari mana Daffa kenal dengannya. Setahuku selama di jakarta kami hidup hanya berudua. Berkutat mencari informasi sana sini tanpa harus menimbulkan kecurigaan. Bekerja serabutan siang sampai sore dan malamnya kami akan lansung mendiskusi apapun rencana kami dalam mengungkap identitas hyena dan bapak. Dan untuk pertama kalinya saat itu Daffa menolak bicara apapun. Aku tak hau kenapa, ditambah hari itu kami bekerja ditempat yang berbeda. Aku menjadi buruh angkut untuk pedagang sembako dalam pasar sedangkan Daffa menjadi buruh angkut untuk swalayan yang berada di tepi jalan, terletak di area luar pasar.

Biasanya kami akan berkumpul pada saat jam makan siang. Tapi tak kutemukan Daffa menyusulku makan di tempat Abra. Awalnya kupikir dia memang terlambat, namun sampai aku melanjutkan kerja kembali bahkan matahari tengelam Daffa tak juga muncul. Aku tak bisa menyembunyikan perasaan kuatirku. Kami hanya berdua, terpisah, ditambah lagi dalam pengejaran polisi dan kelompok misterius mematikan. Aku tak bisa menebak kemungkinan mana yang ditemui Daffa. Padahal paginya tak ada hal aneh yang terlihat pada Daffa. Tak ada yang dapat kulakukan, selain menunggu.

Jam 9 malam Daffa pulang. Aku sedikit terlonjak saat dia membuka pintu tanpa basa basi. Belum sempat aku menanyainya, mataku tersirobok dengan tatapannya. Wajahnya berantakan. Masih memakai pakaian kerja tukang angkutnya. Namun dimatanya berkilat kemarahan, dendam dan sakit hati. Aku tercekat. Dia tak pernah sekalipun menunjukan rupa amarah yang seperti itu.

“Daffa, kau..” kalimatku tak terselesaikan, Daffa sudah berjalan cepat menuju kamarnya, dan membanting pintu kamar dengan segenap tenaga.

Aku hanya bisa melongo, antara lega, heran, dan juga penasaran. Takut? Ya.. pandangan Daffa mengisyaratkan ketakutan juga, dan itu menulariku. Seakan ada sesuatu hal buruk yang akan mendekati kami.

Malam itu kuputuskan untuk tidak menanyainya apapun.

Esok paginya Daffa bangun pagi pagi sekali dan pergi sebelum aku selesai shalat subuh. Aku masih heran dengan sikapnya memutuskan untuk memberikan dia waktu sendiri. Apapun yang terjadi dia pasti akan mengatakan juga padaku nantinya. aku masih tetap diam saat Daffa kembali tak nampak makan siang di rmah makan tempat Abra bekerja. Apapun yang tejadi padanya sekarang, itu adalah hal yang buruk. Mengingat Daffa tak pernah begini sekalipun. Daffa pulang setelah lewat magrib. Dia tak langsung masuk kekamarnya alih alih membanting pintu dia malah duduk di bangku panjang meja segalaguna kami. Duduk lelah dihadapanku. Ekspresinya lebih parah dari tadi malam. Tenang, layaknya tenang lautan sebelum badai menggila. Tak mampu kubaca apapun dari tatapan matanya. Dan aku benci ini.

“kau sudah menemukan petunjuk?” tanya datarnya kala itu.

Aku menggeleng lemah. Namun mataku memicing tak suka. Harusnya itu pertanyaanku kan?

“kau seperti lupa dengan tujuan kita ke sini.” desisnya membuatku mengernyit.

“apa maksudmu?” sial. Apa yang dipikirkan si bodoh ini?

“kau tau maksudku. Kau hanya bekerja tak jelas saja tanpa bergerak sedikitpun. Atau karna kau memang hanyalah anak pungut, lalu tak masalah mereka sumua terbantai di depan matamu?  dan cukup puas hanya sekedar hidup bersembunyi seperti penakut!”

Aku terheyak. Cukup shock dengan kalimat yang tak mungkin pernah kelar dari Daffa yang kukenal. Kakak pertamaku.

“kenapa kau diam? Kau bahkan lupa karna siapa kau masih hidup layak sampai sekarang? Huh, aku lupa, kau memang tak memiliki keluarga awalnya. Tentu saja kau tak bisa menghargai sebuah keluarga bukan? Kau bahkan tak mersakan ap-“

“Daffa!” Teriakanku melengking, tanpa sadar berdiri dari dudukku.

Mendengar bentakanku, Daffa seolah tersadar, matanya yang memberi tatapan sinis dan penuh cemoohnya memudar melihatku berdiri tergetar menahan amarah. Apa yang dibicarakan?

“kau...”aku menggeram. Terlalu emosi untuk bisa mengeluarkan makian. Tanganku terkepal.

“kau tahu siapa aku. Kau tahu kenapa kita bisa kesini, dan apa saja yang kulakukan. Jangan  bicara seolah aku hanya tidur dan makan saja di sini” suaraku satu oktaf turun dari nada teriakanku. tapi tetap lantang di ruang kecil ini.

Daffa membuang muka, menolak tatapan menusukku. Bisa bisanya dia bicara seperti itu.

“kau yang harusnya menjelaskan di sini” kecamku melempar balik granat.

“apa yang perlu kujelaskan?” tantangnya.

Aku memicing terganggu, “kau menghilang tana jejak, pulang malam tanpa kabar dan sekarang kau mengulangi hal itu lagi. Apa yang kau sembunyikan dariku?”

“oh, jadi aku harus melapor padamu, begitu”

“bukan begitu!” sergahku kembali emosi. “kau menyembunyikan sesuatu dariku.  jangan bersikap sok jagoan dengan mengadapinya sendiri. Apapun yang kau temukan, katakan padaku.”

Daffa berdiri dengan gerakan lambat. Pembatas kami saat ini hanyalah meja panjang serbaguna dengan kopi dingin yang tadi kuminum. Daffa mentapku tersingung.

“ini tak da kaitannya denganmu” lirihnya menahan emosi.

“kau kenapa sih!”

“sudah. Aku tak mau melanjutkan perdebatan ini. Ku harap kau tak lupa tujuan kita.” Akhirnya sambil berbalik.

Aku menggeram kesal. Daffa jelas jelas menghindari topik pembicaraan. 

Dan hari hari berikutnya adalah neraka. Daffa dengan seenaknya mendesakku yang kalang kabut mencari informasi ditengah pekerjaanku. Tak mudah. Sungguh tak mudah. Petunjuk kami hanya berupa nama binatang, dan bertanya dengan cara berputar putar agar tidak dicurigai. Beberapa kali memang ada yang berkata tahu, namun selalu berunjung kebuntuan. Sesekali aku sempat mengunjungi perpustakan, tempat perbelanjaan dan tempat yang kuperkirakan memiliki loker pengunjung di dalamnya. Tetap saja nihil. Sedang Daffa sibuk sendiri dengn penyelidikannya. Obrolan perkembangan penyelidikan yang kami adakan setelah magrib selalu berakhir keributan. Ada kalanya aku berniat menghamtam Daffa saja sekalian, dan tak jarang pula aku yang tersudut dalam tekanan karna desakan dan tuntutannya. Setiapa kali aku tersulut emosi, aku akan mengungsi sementara menenangkan diri di tempat Abra –tetangga kami- bekerja. Setiap kali terdampar di sana, aku berharap agar Tuhan tidak dipertemukan aku dengan Daffa diruang tengah kontrakan kami,  tak usah sekalian  bertegur sapa atau bahkan saling jumpa, jika hanya akan membuatku betambah tertekan.

Harapanku terkabul seminggu setelah pertengkaran kami yang pertama. Saat itu dia ditawari bekeja di tempatnya yang sekarang, dan aku bekerja di rumah makan tempat Abra bekerja. Jadwal kami saling bertubrukan. Mengisi masing masing sisi siang dan malam. Tak ada bertengkaran, bertegur sapa bahkan saling jumpa persis harapanku. Bahkan untuk tahu dia masih hidup atau tidak, aku hanya perlu melihat barang barang di kamar mandi yang selalu berubah letak setelah terakhir kugunakan.  Daffa yang berngkat kerja dari rumah jam 4 sore dan sampai kos jam 4 pagi benar benar mencipatkan jarak sempurna unuk keberadaan kami di kontrakan.

Namun semakin kesini, sikap Daffa semakin aneh. Dia bahkan dengan sengaja menghindariku jika kami kebetulan berada dikontarakan dalam satu waktu. Awalnya aku mennggapi dengan santai, berfikiran positif karna kesibukannya membuatnya lelah untuk membicarakan masalah apapun denganku. Namun lama kelamaan aku semakin merasakan didndin pembatas yang diciptakan Daffa. Dia seolah menjauh tak tersentuh. Bahkan seringkali dengan terang terangan dia mengabaikanku. Seperti pagi ini contohnya.

Aku mengurut pelipisku yang mendadak pening karna menggunakan otakku menapaktilas hidupku beberapa bulan belakang ini. Membangunkan diri dari lamunan, aku melirik sekilas kamar Daffa sebelum mengunci kamarku sendiri dan keluar dari kontrakan. Saat hendak keluar mataku tak sengaja melihat ceceran ehm.. er roti sarpan?- di perkarngan kontrakan kami. Ehm.. kami tak pernah membuat sarapan. Daffa juga tak mungkin. Dia sudah menjadi langganan tetap pecel ayam tak jauh dari kontrakan kami. Mereka sendiri yang akan datang mengantarkan pesanan sesuai waktu yang ditentukan Daffa.  
Ah.. mungkin hanya roti orang orang yang lewat, batinku mengabaikan fakta jika roti itu jelas jelas berserakan nyaris di depan pintu. Persis nasi goreng yang kutemukan pagi kemaren, atau mie goreng kemarennya lagi. Beberapa minggu ini aku memang selalu menemukan berbagai makanan yang berserakan diperkarngan kami. Entah siapa yang membuang atau sejak kapan ada disana. Ah... entahlah. Aku tak ingin menambah banyak penyelidikan dalam kehidupan kacauku sekarang. Biarlah...

Matahari telah menyinari dengan cahaya lemah saat aku menemukan sosok Daffa di depan kontrakannya berkutat mengikat tali sepatunya.

“oi, bro!” sapanya bersemangat dalam balutan kemeja merah maron seragam kerja kami. Berlogo gambar adat Sumatera Barat dipunggungnya, dan sebaris nama di dada sebelah kiri. Pakaian sama yang juga kugunakn saat ini.

Aku berhenti, menungunya selesai tanpa menjawab sapaannya.

“ahhh... akhirnya tanggal satu. Tak sabar merima gajimu ris?” segiran bodohnya saat kami berjalan santai menuju rumah makan padang tempat kami bekerja.


“lumayan.. “ jawabku asal, kurang semangat karna sisa kejengkelan Daffa masih mempengaruhi mood ku.

“oh ya, nanti malam temani aku ke toko tas ya, Tiara minta belikan tas baru.”

Aku tak langsung menjawab. Yah.. memang Abra setiap kali menerima gaji akan selalu membelikan sesuatu untuk adiknya ini. Berbagai macam peralatan sekolah. Buku tulis, novel, pakain dan sekarang tas. Aku sedikit iri melihat kilau bahagianya saat berhasil mendapatkan benda yang diperuntukan untuk adiknya itu. Ada rasa bangga dan puas disana. Rasa dibutuhkan. Beruntung dia memiliki adik yang membuat hari harinya berwarna dengan penantian tanggal penerimaan gaji. Aku? Aku bahkan tak tahu kegunaan gaji yang kudapat selain untuk membayar kontrakan kami.

“oi... ini masih pagi, kau udah melamun.” Abra menyikut rusukku.

“eh..  ya?”

“eish.. kau tak dengar apa yang kukatakan tadi.” Abra berwajah masam melihatku.

“ah.. haha. Oke. Nanti kutemani” balaskutak enak.

“sip.”

Aku hanya tersenyum samar. walau memang belum pernah bertemu adik Abra ini, karna memang mereka tidak tinggal bersama, namun dapat kupastikan gadis kecil ini akan melonjak kegirangan saat mendapat hadiah yang diberikan Abra. Dia tentu juga salah satu orang yang menemani Abra menunggu tanggal satu. Menyenangkan. Andai Arfat masih ada. Haha.. berandai andai lagi.

Kami bukan orang yang pertama kali tiba dirumah makan padang, bebrapa karyawan lain telah datang duluan. Si bos dan tukang masak telah bekerja di dapur. Memasak beberapa masakan khas Padang dan bebrapa makanan manis.  Diantara karyawan memang hanya si bos dan dua tukang masak inilah yang asli berasal dari Minang. Selebihnya berasal dari berbagai daerah yang memang tak terdampar disini.

Da Edi bos kami di sini merangkap sebagi koki utama berasal dari Bukittinggi bersam Da Sutan Da Anam yang juga bertindak sebagai koki. Ketiganya telah hidup menetap di sini bersama keluarganya. Abra sendiri berasal dari Riau. Dia luntang lantung menyedihkan hidup di Jakarta sebelum akhirnya bekerja di rumah maka ini. Bang Bayu dan Bang deni berasal dari Jawa Barat. Mereka berdua adalah orang yang paling lama bekerja di sini. Agak menyebalkan dan sok jadi bos diantara kami. Dua lainya terpaut satu dan dua tahun dibawahku, Dimas dan Rozi, mereka berasal dari Jambi dan Tanggerang. Tapi aku lupa yang mananya. Lalu dua orang mahluk paling cantik diantara semuanya. Rara dan Yuni dua gadis sebayaku yang bertugas di konter minuman. Dan terakhir aku, karyawan pengganti manusia malang yang menjadi satu satunya harapan besarku dulu.

Beberapa malam sebelum aku bekerja, Abra sempat membuatku syok saat menceritakan seorang teman yang katanya mengenal nama shark dan hyena. Teman yang sekarang kugantikan kedudukannya dirumah makan padang tempatnya bekerja. Abra memberikan keterangan yang membuatku tergugu. Antara bingung, marah, kecewa, percaya dan tidak percaya.

Abra menceritakan kejanggalan sikap teman kerjanya yang terlihat tegang dan selalu gelisah. Abra yang tidak terlalu dekat dengannya awalnya tidak mempedulikan sikap pemuda ringkih yang telah dicurigainya telah mengkonsumsi obat obat terlarang itu. Namun sikapnya yang terlihat ketakutan di manapun berada dan hanya mau menjadi petugas belakang membuat Abra simpati, dan mulai bertanya. Ditengah paranoidnya pemuda kucel itu membuat sebuah pengakuan. Dia ketakutan setengah mati karna tengah diburu oleh kelompok mafia dengan ketua bernama hyena. Pemuda 30 tahun itu mengaku jika dulunya dia adalah bawahan seseorang bernama Shark yang merupakan rekan dari hyena. Namun semenjak Shark pergi, pemuda itu langsung mencuri sejumlah sabu sabu yang digunaknnya sendiri. Dia kabur dan bekerja nyaman di tempat Abra, sebelum teror hyena membuatnya tak tenang. Di tengah kekalutannya dia mencritakan apapun pada Abra, dan pengundurkan diri esok harinya.

Shark sendiri merupakan nama sandi mafia paling berpengruh di pulau jawa. Dia merupakan dalang dan pengatur rencana arus pasar narkoba di pulau jawa ini. Mengatur peredaran narkoba dan memproteksi daerah kekuasaannya dengan tangan besi. Bahkan merambah perdagangan manusia. Dia yang paling ditakuti, namun menghilang begitu saja, memberikan kesempatan si pemuda untuk meraup keuntungannya. Dia cukup tahu diri untuk tidak rakus mengambil semua yang dia tahu. Cukup bebrapa kilogram sabu saja yang dilarikan, namun nyawanya terancam punah oleh rekan shark yang marah mengetahui kerugiannya.

shark.. seorang bernama shark adalah atasannya dulu. Orang yang menjadi penguasa para pengedar di seluruh pulau jawa ini”

Masih terngiang ucapan Abra yang bagai guyuran es merampas sudut pandangku. Hampir saja aku menghajar Abra saat itu juga jika saja aku tak mampu mengendalikan emosiku. Aku memaksa besoknya Abra bolos bekerja dan menemaniku ke kontrakan pemuda malang yang menjadi harapan tunggalku untuk dapat mengorek informasi mengenai hyena dan juga bapak. Namun, kami tak penah datang kerumah itu. Paginya saat aku menemui Abra di kontakannya, pancaran matanya menjeritkan kengerian. Sekilas, aku tahu rencana kami tak kan terlaksana. Abra menunjukan koran dengan berita utama tercetak besar dihalaman depan.

Sessok mayat pemuda ditemukan terapung di Sungai Ciliwung

Aku menatap Abra yang membalas dengan tatapn horor. Seolah memaksaku melanjutkan bacaan berita. Awalnya aku masih belum faham, sebelum kemudina aku gemetar. Mayat pemuda yang diketahui bernama  Anji  berusia 30 ditemukan warga telah mengapung dengan kondisi mengenaskan. Beberapa luka di tubuh mayat menandakan jika pemuda tersebut mati dibunuh.

“itu dia ris.. itu dia.”

Aku memandang kosong koran di tanganku.

“dia.. dia dibunuh...”

Dan hancurlah harapan besarku bersama koran yang kucabik cabik ganas. Aku bahkan belum mengatakan informasi penting ini ke Daffa. Sengaja untuk memberikan dia sedikit kejutan. Sebagai pembuktian jika aku masih berusaha mencari informasi mengenai bapak dan pembunuhnya. Tapi lihat sekarang! Memalukan!
***** 

Sikap senang dan girang berlebian tak hanya menjangkiti Abra saja hari ini, rata rata semua karyawan berada di mood terbaik saat ini. Bahkan bang bayu yang biasanya menyebalkan dengan semua perangai ala bosnya sedikit berkurang kadarnya dari pagi tadi. Mungkin akan sedikit berbeda aura dengan si bos yang jelas jelas akan mengeluarkan nominal yang lumayan untuk para karyawannya.

Seharian bekerja dan disinilah kami sekarang. Toko tas wanita.

Aku melirik Abra yang memilih milih tas dengan semangat. Tak peduli senyam senyum penjaga toko yang entah berarti apa. Tak ingin menambah lelucon aku hanya duduk di dekat pintu sambil memperhatikan Abra dari jauh. Untung kami telah memakai jaket untuk sekedar menyembunyikan identitas tempat kami bekerja yang terpampang cantik dibagian depan dan punggung kami. Kalau tidak, aku tak ingin bisik bisik dan senyam senyum mencurigakan mereka yang disini juga terbawa saat mereka mampir ketempat kami. Bisa sajakan mereka salah satu pelanggan kami?

Tak beberapa lama kulihat wajah berlipat Abra yang kebingungan menentukan pilihan. Aku merasakn firasat akan ikut terlibat malu di sini. Diam diam kuarahkan pandangan kearah lain, pura pura sibuk sendiri.

“oi.. ris!” tu kan. Dia bahkan tak malu berteriak di dalam toko ini membuat para pengunjung penjaga toko kaget dan mengernyit heran. Lebih tepatnya geli.

Mempertahankan sikap tadi, menulikan telinga, aku mulai bergerak keluar toko.

“hei..” teriakan seumpama tarzan tak tahu malu membuat langkahku terhenti.

Aku membalikkan badan, melihat wajah kesal Abra, hanya sesaat sebelum kembali sibuk dengan bebrapa tas yang ditunjukan penjaga toko. Memutuskan untuk tidak membuat Abra semakin mempermalukan diri di sini, yang otomatis juga akan membuatku malu, aku mendekati dua manusia berbeda ekspresi itu. Satu berekpresi semangat menunjuk nunjuk tas lain, sedangkan satu lagi jelas jelas berwajah tesiksa.

“menurutmu bagusan yang mana?” Abra menunjukkan tas tas yang sedang ditunjukkan penjaga toko.

Aku menoleh enggan, bahkan tak tahu apapun mengenai tas tas wanita yang ditunjukkan wanita penjaga toko. Beberapa jelas hanya akan muat menampung hp saja. Sebagian meskipun lumayan besar untuk menampung barang barang penting, justru memiliki tali pendek, yang hanya muat untuk memasukan lengan saja. Ish.. aneh. Selera perempuan memang aneh. Percuma juga meskipun tas itu mampu menampung banyak jika lengan tak kan mampu menompangnya.

“aku tak tahu.” Putusku memperlihatkan kebegoanku sendiri.

“sudah kuduga. Setidaknya berikan sedikit penilain. Kira kira kamu akan suka cewek yang memakai tas yang mana?” tukas Abra tak mau mengalah pada sikap begoku.

Aku hanya menatapnya datar. Kembali menatap tas yang bejajar di atas etalase, tas tas yang tadi ditunjuk Abra. Tak ada. Tak ada satu pun yang kusuka dari tas tas itu. Mengarahkan pandangan berkeliling, mataku tertumpu pada tas berwarna coklat muda di belakang penjaga toko. Saat berada ditanganku, tas berukuran sedang itu cukup kuat untuk menahan beban yang berat. Satu tempat penyimpanan lettop juga ada dibagian dalam tas. Dan lebih penting, tali penyandangnya beada dibagian belakang. Simple dan efektif.

“aku suka ini” aku menyodorkan tas itu pada Abra, yang menatap dengan pandangan menolak.

“tidak, aku tak ingin menambah kadar ketomboyan adikku” tolaknya tanpa rasa bersalah.

Aku melotot, dan sekarang aku berubah menjadi orang yang lebih idiot lagi oleh ucapannya.

“hei, ini bagus.” Sergahku tak mau kalah. Dia sudah memintaku memilih tadi, aku tak mau kerja kerasku dalam meimilih yang terbaik dari bejibun tas norak disini berakhir sia sia. Bahkan tanpa penghargaan sedikitpun.

“pilihkan yang lebih perempuan.” Sungutnya besikukuh.

“ini tas perempuan kok. Sudahlah, pilihanku ini sudah pasti akan disukai adikmu” balasku lelah. Bukannya sok kenal dengan adiknya atau begaimana, tapi aku tak ingin berada disini lebih lama lagi jika Abra menolak pilihanku. Menunggu Abra memiih sama saja dengan menunggu pengantin wanita berdandan. Lama dan ribet.

Beberapa kali perdebatan, akhirnya tas itu berhasil kami bawa pulang. Abra terlihat bahagia berjalan di sampingku. Berciloteh bagaimana senangnya sang adik dengan tas yang dia beli. Mengabaikan bebrapa menit yang lalu dia protes enggan saat membayar tas itu.

Jam delapan malam kami sampai di kontrakan. Perasaan lelah membuatku langsung menuju pintu kontrakanku tanpa menyadari keanehan di depan kontrakan Abra. Aku sudah akan memasuki perkerangan kontrakanku saat Abra menyapa riang makhluk yang menyonsong kami.

“Tiara! sejak kapan di sini?”

Ku menghentikan langkahku. sosok itu tepat berada didepanku.

Pandangan pertamaku jatuh pada matanya yang sekilas menatapku tersenyum. Matanya jernihnya cantik dalam bingkai bulu mata lentik di atas dan bawah. Sinar lampu dari sekelling membuatmata itu makin bersinar. Tingginya yang hanya sampai bahuku memudahkanku melihat garis senyum manisnya. Kesan pertama, aku suka memandang lama mata, senyum, lesung pipit dan rambut panjangnya yang dikucir kesamping. Cantik.

“ris..” Abra menyikutku.

Aku mengalihkan pandangan bloon kearah Abra. Suara kikikan gadis ini menyadarkanku akan ekspresi memalukan entah seperti apa yang kupasang saat ini. Mereka telah bicara panjang lebar dari tadi di temani aku yang hanya mematung ditempatku berdiri.

“kau melamun?” tegur Abra pura pura bodoh.

Aku berdehem sebelum memasang wajah biasa kembali.

“ini kenalkan adikku, Tiara.”

“Tiara..” ucap sang mengulurkan tangan dengan senyum yang membuatku lupa bernafas.

Aku menerima dengan senyum kakku. Dia adik Abra? Lihat, dia bagaikan siang dan malam dengan kakaknya. Gadis kecil yang selama ini kubayangkan sebagai sosok adik bagi Abra menguap begitu saja. Dia lebih seperti gadis dengan wawasan luas dan kuat. Kesan tomboy dan wajah manisnya membentuk sebuah kepribadian yang menarik. Kulit kuning langsatnya jelas jelas protes dengan status adik si hitam arang Abra. Hanya satu yang terasa sama. Cara tersenyum dan semangat dalam dirinya.

“Deris.”

Tiara menarik tangannya kikuk saat aku tanpa sadar masih mengenggam tangannya.

“jangan macam macam kau.” Ancamnya Abra membuyarkan efek mabuk yang tadi menerpaku.

Sial. Sejelas itukah aku terpesona?

“ayo, masuk Ra” lanjutnya lebih lembut kearah Tiara.

Aku mengeragap bingung. Eh.. bukannya Tiara kos ditempat yang berbeda. Tapi kok..

“hoi..” suara Abra yang telah menuju rumahnya mengagetkanku. “pulang sana!”usirnya seolah lupa siapa yang menemaninya tadi memepermalukan diri.

Dasar pengkianat.

Sedikit kesal aku memasuki perkaranganku saat Abra dan Tiara telah menutup pintu kontrakannya. Benar benar tak tahu terimakasih. Langkahku tertahan saat mataku menangkap penambahan benda lain di halaman depan pintu kontrakanku. Risol? Oh tuhan. Sekarang apalagi. Pejalan kaki yang sengaja melemparkan beberapa risol di depan kosanku? Aneh.
****

Tidur nyenyakku tercerabut paksa saat telingaku menagkap bunyi rusuh di ruang tengah kontrakan. Sial, senyata inikah mimpi mimpi sialan ini menghantuiku? Aku mengumpat mengusap kasarku wajahku. Berharap aku terjaga sepenuhnya dan mimpi mimpiitu menuap pergi.

Prang!

“hei, tenang!”

Aku membeku. Jelas ini bukanlah mimpi burukku. Mimpi buruk tak pernah menjelma nyata seperti ini. Harusnya mereka bertahan dalam bawah sadarku saja. Ini nyata. Terlalu nyata untuk sebuah mimpi.

“mana kamarmu?”

Suara lelaki itu jelas jelas membuatku menajamkan telinga. Itu bukan suara Daffa. Aku bergerak waspada menuju pintu kamar. Suara gumaman tak jelas seseorang membuatku was was. Mabukkah? Daffa?

Secepat kilat aku melompat turun dai ranjangku, tak peduli keadaan kamar yang masih gelap karna lampu kumatikan saat tidur. Satu sentakan kasar, pintu kamarku terbuka lebar, bertepatan dengan dua orang rusuh yang juga tengah berkutat dengan pintu kmar sebelahku. Lebih tepatnya satu orang yang rusuh sendiri membuka pintu kamar sekaligus menahan tubuh seseorang yang sempoyongan.  Sejenak pria asing yang tengah membuka pintu tertegun kaget, sedang laki laki teler disebelahnya mendengus tak suka. Oleng dan sepenuhnya berdiri berkat bergantung pada lelaki disebelahnya.

“ehm..aku teman Daffa. Dia mabuk.” Pria itu membuka suara canggung saat aku masih terdiam dengan tubuh diambang pintu kamar dan mata menyorot kaget.

“biasanya tak pernah begini...” balasku menghujami Daffa dengan pandangan membunuh.

“ada sedikit masalah tadi.” Jawabnya kikuk.

“eii.. kau urus dirimu sana, hus!” mataku memicing tersinggung. Melihat Daffa dan suara telernya, bukanlah kolabirasi yang biasa kukenal.

“maaf , kau siapanya Daffa?”

“hei, hei... aku tak kenal orang ini. Aku muakkkkkkkk padanya.” Si pemuda meringis tak enak meilat mataku seakan meloncat dari tempatnya.

“apa yang kau bicarakan...” tegur si pemuda merasa risih menahan tubuh Daffa yang hendak mendekatiku dengan aura ketidaksukaan.

“ei.. ei.. kau cuma orang bodoh yang tak tahu apa apa. Haha.. kasian bapakmu, penipu.. hiks. Oh.. hidup ini menyenangkan sekali bukan?” Kata random mulai membuatku pusing. Aroma alkohol tercium tajam dari nafas Daffa dan telunjuknya yang mengancung tak sopan tepat di depan wajahku.

“aku muakkk.. muakk melihat kau bodoh..” dia mendorong dorong bahuku.

Mataku beralih pada pemuda yang mengaku teman Daffa tadi, dia mematung ditematnya melihat Daffa lepas kendali. Saat tersadar aku menatapinya, dia mengangkat bahu menyatakan ketidak pahamannya.

“haha.. aku bodoh. Kasian kamu.. yang bodoh juga..” Daffa makin meracau tak jelas. "Hiks.. tapi kau lebih bruntung dariku. Aku.. hiks, bodoh. Hahaha.. bodoh. Deris, aku bodoh...” dan sekonyong konyongnya suara tawa gilanya berubah menjadi tangis putus asa diujung kalimat kacaunya. Tangannya mengcengkram bahuku, menundukkan kepala terguncang.

Aku mencelos. Tak pernah sekalipun Daffa sekacau ini. Tak pernah. Melihat tubuhnya terguncang menahan tangis membuatku bingung sekaligus kuatir. Mataku beralih pada teman Daffa yang tak kutahu namanya berdiri mematung dengan wajah sama bingungnya. Shock lebih tepatnya.

“aku pengecut... pecundang...” ratap Daffa benar benar membuatku teriris.

“tenang... ka- akh” aku terdorong kedinding. Daffa menyentakkan tanganku yang tadi menepuk pungungnya.

Teman Daffa cepat cepat menahan tubuhnya yang sempoyonyan hampir terjengkang kebelakang.

“kau... tak perlu kasian padaku pecundang... hiks, kasihani dirimu sendiri... pergi kau dari muka ku, pergii!” teriak Daffa meninggi. Aku terjajar lagi oleh dorongan asal daffa.  teman Daffa berusaha menenangkannya dengan kelabakan.

“sebaiknya, ku bawa dia kekamarnya...” terang laki laki itu marangkul bahu Daffa yang kini justru besenandung tak jelas.

“ku tak mau melihat wajahnya lagi.. ei, suruh dia pergi, oke?” ciloteh Daffa masih terdengar jelas berlalu didapanku.

Aku menarik nafas. Telalu kaget untuk bisa mencerna semuanya. Alasan Daffa bersikp diluar kendali benar benar tak pernah terbayangkan olehku. Apalagi mabuk. Tidak, meskipun dia bekerja disarangnya minuman seperti itu, aku yakin dia tak pernah sekalipun mencicipi minuman haram itu. Tapi sekarang?

3.08 pagi. sempurna!

Aku mengutuki jam dinding ruang tengah yang dengan seenaknya mengabarkan potongan waktu istirahatku. Biasnya aku bahkan tak kan tau menahu dengan kedatangan Daffa. Huft...

Teman Daffa keluar tak lama kemuadian. Tersenyum canggug, pemuda rambut cepak itu menutup kamar Daffa.

“aku permisi...” pamitnya mengangguk sopan.

Aku tak menjawab apapun, hanya memperhatikan punggungnya yang menjauh menuju pintu keluar dan menutupnya tanpa menguncinya lagi. Suara deru mesin mobil menandakan dia datang dengan menggunakan mobil tadi. Oh tentu saja. Sangat mustahil membawa orang mabuk yang nyaris mendekati pingsan dengan menggunakan sepeda motor.

Memutuskan untuk kembali melanjutkan waktu isirahatku aku kembali kekasurku. Berharap saja aku tak telat bangun nanti. Tidur di jam tanggung seperti ini seperti ranjau di jalan utama.

Rasanya baru beberapa menit memejamkan mata, aku harus kembali terbangun saat seseorang mengguncang guncang tubuhku barbar. Tak tahu sopan santun bahkan nyaris mmebuatku terjengkang.

“hei hei.. kutinggal nih!” ancam oknum sok penting.

Aku membuka mata dan refleks menendang siapapun yang tak bertanggung jawab atas istirahat tenangku. Terdakwa menghindar misuh misuh merutuki dengan suara yang tak terlalu trdengar.

“Abra? “ tatapanku menghoror. “ngapain?”  sentakku tak senang.

“oh, pengeran tidur... berterimakasihlah sedikit. Aku sudah berbaik hati membangunkanmu dan kau hampir membuatku terkapar.” Sindirnya mencak mencak.

Aku melotot. Berterimaksih katanya?

“jangan menatapku begitu!” sergahnya tak terima, “jangan bilang kau tak tahu jam  berapa sekarang?” kecamnya menunjuk wajahku lacang.

Mataku terbelalak. 06.40. detik berikutnya aku menghambur kekamar mandi mengabaikan Abra dan jam diding yang kembali mengkhianatiku. Ranjau di jalan utama dan aku menginjaknya.

Aku memakai seragam kerjaku buru buru, abai pada Abra yang menjalajah setiap sudut kamarku dengan pandang ingin tahu.

“kau tak puya album foto satupun?” decaknya mengamati diding polos kamaku.

Aku berguman tak peuduli merapikan kemeja kerja dan rambutku asal.

“hei kita hidup di zaman modren. Apakau kau tak kenal benda segiempat yang memiliki tombol dan layar bernama ponsel? Setidaknya aku tak perlu repot repot kesini membangunkanmu. Dan satu lagi. Tolong biasakan mengunci rumah saat tidur bro.” Repetnya berisik.

 Sedikit tertegun ingatanku langsung menjawab perihal rumah yang tak kukunci dalam bayangan daffa dan mabuknya.  Bagaimana keadaan Daffa?

Aku memilih tak menangapi lansung pertanyaan abra. Memasang sepatu aku Keluar hanya untuk mendapati kamar Daffa yang terkunci. Abra yang mengikutiku menatapku heran. Mulutnya terbuka seolah hendak mengatakan sesuatu.

“ayo!” sentakku medahuluinya dan keluar. Aku tak ingin pagilu buruk dengan pertanyan standrrnya yang akan meneror kenyamanan kerjaku. Waow, Bagus,  hampir jam tujuh dan kami baru berangkat.

Abra mengekoriku keluar dari kotrakan. Dan ikut berhenti saat langkahku terpancak melihat cahaya matahari pagi menepa bunga yang semalam kutemui. Nafasku tanpa sadar terhenti.

“lho bang Abra kok belum berangkat?”

Suaranya menyapa telingaku, dan seketika pusing dan bising suara Abra sirna begitu saja.

“nih, abang harus membangunkan dulu situkang tidur ini” gerutuan Abra menyadarkanku ntuk berafas. Sedikit kesal aku menyikut Abra disampingku. Setidaknya tolong berikan kesan yang lebih baik, berengsek umpatku dalam diam.

Tiara tertawa geli melihat interaksi kami. Aku terpana. Tawanya terasa lepas. Rambut pnjangnya tak lagi dikucir samping, tapi dikucir agak tinggi dibelakang. Bebrapa anak rambut membingki wajah cantiknya dengan sempurna. Dia hanya memakai kemeja pink lengan pendek dan celana jins berwarna hitam dan seatu kets yang terlihat serasi dimataku. Lalu lebih dari segalanya, dipunggungnya tergantung cantik tas yang tadi malam kuperjuangkan. Tersandang elok dibelakang punggungnya. Tanpa sadar aku tersenyum bangga. Itu tas pilihanku.

“ehem...” Abra berdehem disebelahku. Menarik perhatianku seketika.

“pagi bang Deris...” sapa riang Tiara kembali memikatku. Lupa pada jam dan lupa pada Abra yang mengeluarkan aura asing menebarkan hawa dingin.

“bukannya kuliah pagi? ayo lekas, nanti malah terlambat.”tegur Abra lembut. Berbeda terbalik dengan auranya padaku.

Tiara mengangguk dan hendak beranjak pergi.

“eh.. Tu-tunggu.”

Aku salah tingkah saat suara hatiku langsung terealisasikan begitu saja oleh lidahku. Kurasakan tatapan Abra melubangi pungguku saat Tiara berbalik menatapku penuh tanya.

“eh.. hm, Tiara suka tas nya?” tanyaku bodoh. Mana otak cemerlangku yang selalu membuat bang aulia bangga. Aku bahkan tak memfilter yang terfkirkan olehku  sebelum mengucapkannya.

“suka, suka sekali.” Senyumnya lebar.

Aku ikut tersenyum bangga.

“memangnya kenapa bang?” dan seketika senyumku menghilang begitu saja.

Kulirik Abra disampingku penuh benci, setidaknya dia bisa bilang pada adikknya jika itu tas pilihanku, mengingingat kekeraskepalaannya meningalkan tas itu dari pada membelinya semalam. Abra hanya mengedikkan bahu membalas tatapan membunuhku.

“eh, ti-tidak.” Geragapku. Antara malu dan kelabakan dengan jawabanku. Tak mungkin mengaku ngaku kan? Itu pasti memalukan ditelinga cewek. “abang cukup senang, mengingat bersemangatnya Abra saat memilih tas itu tadi malam.” Jawabku menyindir Abra telak. Target malah measang pose tanpa dosa, terenyum bangga pada adiknya. Sialan!

“benarkah?” wajah Tiara berbinar senang, “makasi bang Abra sayang...” dan menghambur merangkul lengan Abra sayang.

Aku melotot dan menyumpah nyumpah dalam hati. Harusnya pelukan itu untukku kan? Harusnya ucapannya tidak seperti itu, tapi ‘makasi bang Deris sayang’. Manisnya. Harusnya itu untukk- eh tunggu. Apa yang kupikirkan?

“makasi juga bang Deris, sudah menemani bang Abra.” Ucapan tulus itu menyapu segala fikiranku.

Tiara melepas rangkulannya. Dan berlari kecil meningalkan kami. Melambai riang sebelum hilang membaur dalam kerumunan orang yang mulai memenuhi pasar.

“aww, hei, sakit bodoh!” umpatku tak terima saat kepalaku dengan tidak berperikelembutannya dipukul begitu saja.

“jangan menatap adikku begitu. Kau membuatku takut tahu?” cercanya mencak mencak.

Mataku membulat “memangnya kenapa dengan tatapanku, hah?” balasku tak mau kalah.

“kau.. kau menatapnya sperti orang bodoh. Seakan hanya kau dan dia saja yang ada disini. Caramu menatapnya seakan kau hendak memeluknya.”

“eh.. apa?” tanyaku bloon, masih mengusap kepalaku yang tadi dipukulnya.

“....” tatapannya mengintimidasiku. Aku menciut seperti maling yang ketahuan polisi saat maling pos pilisi sendirian.

“ke- kenapa?”

“kau suka adikku?”

Langsung. Aku memucat.

“er.. hmm.. ya?” ucapku mengubah jawaban itu menjadi pertanyaan ragu.

Abra mengambil nafas lelah.

“ahh.. terserah kau saja. Tapi ingat jangan macam macam pada adikku. Jika dia tak suka padamu, maka kau harus menyingkir, oke?”

Aku mengerjap. Bingung dengan perubahan Abra yang begitu tiba tiba.

“oi..  jangan harap aku akan diam saja jika kau membuat adikku terganggu. Mengerti?”

Dalam bingung, aku mengangguk. Satu hal yang bisa kutangkap disini, Abra memebrikanku kesempatan untuk menyukai adiknya.

“sial, kita telat!” teriak Abra frustasi dan berlari begitu saja.

Aku tergugu, sebelum menyusul calon kakak iparku lari. Tak beduli dengan wajah frustasi Abra aku berlari dengan senyum terkembang. Tak masalah jika nanti kami harus lembur karna ketrlambatan ini, yang pasti hatiku sedang sanang. semua masalah bukan lagi masalah besar.
*****

Tiga hari semenjak Daffa pulang mabuk, dan dua hari berlalu semnjak izin Abra padaku untuk menjadi kandidat adik iparnya, hari ini aku pulang siang. Sengaja meminta izin cepat pulang dengan alasan sakit. Sedikit sandiwara dan aku bisa pulang sebelum jam 1 siang sekaligus terpisah dari Abra. Aku batuh jarak dengannnya dulu.

Ponsel.

Aku membeli benda itu setelah melihat Abra yag dengan gampangnya bisa bicara dengan Tiara. Aku juga ingin. Dan hari ini aku berhasil membeli sebuah ponsel sederhana dari gajiku kemaren. Yah.. kehadiran Tiara membuat hidupku sedikit bewarna. Sekarang aku tahu keguaan gaji yang kudapat. Pulsa dan jalan bareng Tiara nantinya.

Jam tiga siang aku sampai di kontrakanku. Selama aku bekerja di rumah makan padang, baru kali inilah aku pulang siang hari. Rasanya sedikit aneh mamasuki ruang tengah yang sunyi ditengah gelimangan cahaya matahari. Panas. Lupakan ceceran nasi goreng di halaman depan yang tadi mengotori sepatuku. Mungkin, seseorang sudah mulai menganggap halaman depan kontrakan kami adalah tempat sampah makanan. Sayang sekali, padahal terlihat enak.

Lelah kududukan tubuhku di bangku panjang depan meja segalaguna, dan lansung mengutak atik ponsel baruku. Ya.. nomor pertama yang ingin kuhubungi adalah nomor Tiara yang tadi kucuri dari ponsel Abra. Mudah. Tapi.. apa yang harus kukatakan. Apakah aku harus langsung menembaknya? Ah.. tidak. Itu terlalu beresiko. Menanyakan kabarnya?eh.. apakah itu terdengar penting untuk menelpon seseorang. Lho, kenapa aku gugup begini.

Aku berkutat dengan pikiranku sendiri, abai pada secangkir kopi yang terlihat masih hangat bagian meja seberangku. Bahkan aku tak terlalu tertarik saat pegerakan terlihat mendekat dan duduk di seberang meja. Aku tahu, tapi fokusku masih teralihkan oleh ponsel mungil digengamanku. ahh.. paling ilusi. Toh bisanya siang gini aku sndirian kan? Eh.. siang?

Aku mendongak, mendapati Daffa meakai kaos oblong dengan rambut setengah kering meminum kopinya tenang. Tak terusik olehku yang misuh misuh sendiri.

Aku manatapnya, menyembunyikan kekagetanku. Ya tentu saja. Ini jadwalnya dirumah. Aku yang datang disaat yang salah. Kami belum pernah bertemu semenjak dia pulang mabuk dan mengataiku pengecut, bodoh dan entahlah. Pagi saat aku hendak mengecek keadaannya dia sudah mengurung diri di kamar. Lalu malamnya saat aku pulang kerja, dia telah berngkat ke tempatnya bekerja. Begitu terus hingga saat ini. Kami dipertmukan dan lihat caranya menkmati kopinya, seolah tak ada aku di sini.

“bagaimana keadaanmu?” tanyaku akhirnya. Memutuskan keheningan saat dia meletakkan cangkir kopinya.

“baik.” Asal. Aku bahkan bisa melihat kernyitan tak sukanya.

“pekerjaanmu?”

“baik.”

“pembunuh Bapak?” tekanku mulai dongkol.

Daffa menghentikan acara minum kopinya. Matanya manatapku tajam. Beku. Aku bisa merasakan beku itu menjalari kulitku. Aku balas memandang datar.

“aku. Tidak. Mau. Tahu.” Ujarnya memberi tekanan pada tiap kata.

Mataku membola tak percaya.

“ap-apa maksudmu?”

“kurasa kau belum tuli mendadak untuk mendengar jawabanku.” Ucapnya ketus.

BRAK!

Aku mengebrak meja marah.

“apa kau lupa tujuan awal kita brengsek?” aku meledak.

Dia menatapiku dingin.

“itu bukan lagi urusanku.”

“kau!” aku mencenkram baju depan kemejanya kasar. Memaksanya berdiri.

“kenapa kau begini, hah?”

Daffa tertawa sumbang. Aku kaget, serta merta melepaskan cengkramanku. Itu tawa yang asing. Dingin dan sekaligus mengerikan.

“itu urusanku.” Ujarnya beku.

Amarahku meledak.

“kau kenapa Daf? Apa yang kau sembunyikan dariku, hah?”

Daffa mendengus meremehkan. Berdiri perahan dan beranjak.

“Daffa abdullah, jangan bersikap pengecut!” teriakku menohok.

Secepat kilat Daffa membalik, dan tahu tahu aku terjajar kedinding dengan nafas tercekat. Kakiku tak menapak lantai meronta saat Daffa mengcengkram krah kemejaku dan mengankatnya dengan satu tangan. Mataku terpaku menatap tatapan mengobarkan api kemarahan dari mata Daffa.

“jangan pernah sandingkan nama menjijikan itu dengan namaku, berengsek.” Geramnya marah.

Aku tediam, antara kaget dan tak mengerti. Namun kebutuhan udara lebih kuprioritaskan difikiranku. Tanganku mencoba melepaskan cengkraman besi Daffa yang seakan berubah jadi monster. Sepanjang aku berteriak tadi tak pernh sekalipun dia menunjukkan emosi berarti. Tapi..

“uhuk uhuk..” aku terbatuk menenangkan nafas terduduk setelah Daffa melepaskan cengkramannya.

Daffa berdiri mejulang dihadapnku dengan aura yang sama sekali asing. Tak kukenali sedikitpun. Manatapiku dengan pandangannya yang kembali mendingin.

“ku peringatkan kau untuk tidak mencampuri urusanku. Urusi uranmu sendiri. Terserah apa yang akan kau lakukan pada bapakmu itu. Tapi... akan kuberikan kau sebuah saran, jangan keget saat kau tahu kebenarannya.”

Aku tersentak. Apa ini. Apa itu artinya Daffa tahu sesuatu yang tak kuketahui. Apa itu artinya bapak memang bukan orang yang baik? Dari caranya tadi, Daffa hanya marah saat aku menyebutkan nama bapak.  Apa itu artinya ada sesuatu diantara mereka?

“tunggu..” cegahku saat Daffa berbalik menuju kamarnya.

Daffa berhenti. Tak membalikkan badannya sedikitpun.

“kau.. apa yang terjadi antara kau dan bapak?” tanyaku tak peduli ancamannya.

Daffa menegang. Namun tetap tak bergeming sedikitpun.

“apa yang membuatmu membenci bapak? Apa bapak melakukan sesuatu pad-“

“cukup!” sergahnya tanpa berbalik,“cukup sampai di sisni keterlibatanmu, ris. Ini urusanku”

Dingin es serasa mengguyur tubuhku. Apa?

Daffa melangkah ringan, mengambil hodie yang tersangkut di dinding, dan melangkah keluar. Mengabaikanku yang masih belum bisa mencerna apapun.
******

Huft.. perubahan Daffa menyisakan pertanyaan pertanyaan sulit untukku. Sikapnya yang berubah dan ujuan kami kesini yang dengan jelas jelas di tentangnya sendiri. Adahal masih kemaren saat dia marah marah padaku karna tak menemukan informasi apa apa mengenai pembunuh bapak dan saudara kami. Ada sesuatu yang jelas jelas disembuyikan Daffa dariku. Apa itu? Apa Daffa mengetahui sesuatu yang membuatnya membenci bapak? Apa yang membuatnya membenci bapak? Informasi apa yang didapatknya higga membuatnya berubah membenci bapak? Segitu bencinya sampai dia tak peduli pada dendamya dulu. Lupa pada saudara saudaranya yang dibantai kejam pada malam itu? Yol? Sten? Arfat? Sumanya? Benci seperti apa itu? Apa yang terjadi?

“hei, tea. Kerja yang betul kau!”

Aku tersentak dari lamunanku. Piring yang di gengamanku belum lagi kucuci, sebaras kugenggam dan aku melamun di hadapan bak cuci piring dipelototi oleh bejibun piring kotor.

“iya iya..”balasku setengah menggerutu. Tak perlu kulihat, yang sekarang berdiri dibelakangku sudah pasti bang bayu. Bos kedua bagiku.

“kau tak apa?” Abra ikut membantuku menyelesaikan tugasku yang menumpuk.
Aku mengangkat bahu tak peduli. Namun saat ingat aku butuh dukungannya untuk memuluskan jalanku meraih hati adiknya, aku jawab sopan pertanyaannya. Mengatakan aku baik baik saja.

Abra mengernyit heran, “tak biasanya kau sopan begitu padaku. kau membuatku takut dengan rencanamu itu.”

Aku membeku. Sial, dari mana dia tahu? Apa dia bisa membaca fikiran seseorang?

“aku tak bisa membaca fikiran. Tapi milihat kau menegang begini, aku tahu kau heran padaku.” sambungnya lagi.

Acuh tak acuh, kulanjutkan pekerjaanku yang sedikit sedikit berkurang. Ingatan Tiara sedikit mmbuatku releks. Buntu yang menyerang kepalaku karna sikap Daffa yang aneh perlahan menghilang.

Hubunganku dengan Tiara semakin mambaik. Terimakasih pada pnsel yang kubeli tempo hari. Aku bisa terus bekomunkasi dengan Tiara. Sms siang hari dan telfonan malam harinya. Seminggu semenjak ponsel menjamah hidupku, aku sudah merasa menjadi orang beruntung didunia karna berkesempatan memiliki benda empat segi ini. Sedikit obrolan ringan dengan tiara lewat ponsel ini membuatku mempunyai tujuan hidup yang lain. Tiara.  Orang yan membuatku merasa harus maju, harus keren dan harus hebat dimatanya. Harus membuatnya merasa bangga padaku.

Seminggu berhubungan aku sedikit banyak tahu mengenai Tiara. Di gadis supel yang bisa membau dengan siapa saja. Cara bicaranya yang ceplas ceplos dan terdengar riang membuat siapa saja  mudah menerima kehadirannya. Dia masih kuliah semester tiga disalah satu universitas di jakarta. Tak terlalu jauh memang dari tempat tiggal kakaknya, namun Tiara lebih memilih kos agar dekat dengan kampusnya. Awalnya aku sedikit was was mengetahui statusnya sebagai mahasiswi, tapi caanya yag tak memilih teman membuatku makin menyukainya. Meski belum ada ikatan diantara kami, namun aku yakin dia juga menyukaikaiku. Terbukti dari tingkahya yang selalu membalas pesan dan mengangkat telfonku.

Namun ada hal yang membuatku sedikit tak tak nyaman.

“besok Tiara ke kontrakannya bang Abra. Mau masak besar. Bang Deris ikut ya? Bawa bang Daffa juga ya. O ya, bang Daffa suka masakan apa bang?”

Daffa. Dia menyebut Daffa dalam tiap sms dan pembicaraan kami. Itu mengganjalku. Meski awalnya aku kaget dan tak terima, hati hati kutanyakan kenapa dia tahu Daffa. Dan lihat, dia dengan santai mengatakan jika tahu Daffa melalui cerita Abra, dan sialnya, sudah beberapa kali bertemu saat di kontrakan. Berpapasan katanya. Tapi tetap saja aku merasa tak tenang. Seakan jarak kami dibatasi oleh Daffa. Aku tak suka itu.

Seperti sms nya yang ini. Aku senang dia akan kekontrakan Abra, tapi tidak dengan pertanyaan terakhirnya. Kenapa dia harus menanyakan kesukaan Daffa bukannya kesukaanku? Apa baiknya si brengsek pengkhianat itu? Apa bagusnya dia dariku? Aku lebih baik kok. Aku leb- apa? Apa yang kufikirkankan? Apa ini yang namanya cemburu? Jika iya, dan dengan mengetahui ini Tiara akan menghilangkan kosa kata Daffa dalam kamusnya, maka aku akan dengan senang hati mengakui hal ini padanya. Tapi tidakkan? Dimana harga diriku sebagai laki laki yang cemburu pada cewek yang tak berani ditembaknya. Tidak. Bukan tak berani. Tapi belum. Iya, belum.

“hei, kau ingin dipanggil tea lagi oleh si bayu itu?” Abra mengagetkanku.

Buru buru kumaskan ponselku, dan membawa gunungan piring kotor ke bak cuci. Tugas terakhirku sebelum diblehkan pulang. Ganti shif dengan pekerja yang lain.

Abra meneruskan memasukan nasi yang telah matang dalam termos besar dekat bang bayu dan bang deni yang bertgas sebakai penakar porsi. Tugas terakhirnya juga sebelum pulang. Kami memang selalu berada di shif yang sama. Menguntungkan, karna kami memang bertetangga, saling mengingatkan dan menegur, meski tak jarang juga bertengkar. dan kami selalu berada di shif pagi, karna yang menjalankan shift malam adalah mereka yang memang tinggal di rumah makan. Yah seperti dua koki dan dua penakar porsi songong senior kami.

Aku lelah. Lelah karna, bekerja sebagi pencuci piring seharian sesai perintah bayu sialan itu. Lelah karna memikirkan keanehan Daffa dan lelah karna topik Daffa. Aku buru buru berjalan keluar, membiarkan Abra mengejar lagkahku sambil mengmpat. Merutuk panjang pendek tentang tak tahu terimakasih, calon ipar tak tahu diri, da gerutuan lain yang membuatku mendengus geli. Setidaknya, ada satu oang yang mendukung aku dan Tiara.

“aku tak pernah milihat Daffa lagi. Aa dia masih tinggal bersamamu?”

Aku melengak, tak nyaman. Sekarang calon kakak iparku juga ikit ikutan membicaraka Daffa. Menarik nafas sabar, aku mengangguk masih denga langkah yang sama.

“dia tak pernah libur ya?” kejarnya lagi.

Aku menggeleng. Semakin mempercepat langkahku. Aku ingin pulang, lalu tidur di kamarku.

“kalian tak sedang bermaslah?”

“kenapa kau bertanya begitu?” tanyaku tak suka. Jangan sampai dia menargetkan adik ipar baru.

“ya, karna kalian tak seakrab dulu lagi. Dulu kupikir kalian saudara kembar yang akan mati jika berpisah.” Abra nyengir tanpa dosa.

Aku menarik nafas. Lebih baik menjelaskan seperlunya agar terbebas dari pertanyaan ini untuk besok besoknya. Abra tipe orang yang takkan berhenti mengocehkan hal yang sama jika dia belum mendapat jawaban yang diinginkan.

“dia bekerja di waktu yang berbeda dengan kita Ab. Tak ada masalah diantara kami selain rutinitas pekerjaan masing masing” jelasku tenang. Setidaknya Abra tiak manargetkan Daffa sebagai kandidat adik ipar lainnya. Aku lega.

Esok malamnya, aku termangu duduk disamping Daffa dan Abra diruang depan kontrakan Abra. Ruang ini tanpa meja maupun bangku panjang. Hanya ruangan lepas dilapisi tikar yang nyaman. Kami duduk bersila menghadap hidangan yang dibuat Tiara sedai siang. Dari baunya tercium sangat harum dan membatku ingin makan seketika, namun melihat siapa yang duduk tak jauh dariku, selera makanku erlahan menghilang.

Sepulang kerja tadi aku mandi dan masuk kamar. Bersiap siap untuk makan malam dengan keluarga kecilku. Dan yang terpenting masakan Tiara. Bertiga. Meski sebanarnya keberadaan Abra hanya mengganggu saja sih, tapi dia kan telah bebaik hati mendukung hubunganku dengan Tiara. Namun semuanya hancur. Saat kumasuki rumah kntrakan Abra, mataku langsung terpaku pada sosok Daffa yang duduk diam di dalam rumah. Tak jauh dari Abra.

Dan disinilah aku sekarang. Memandangi Tiara yang berbinar binar bahagia mnyajikan makanan hasil jerih payahnya. Dan tak hanya sekali dua kali kulihat tatapannya bermakna misterius terarah pada Daffa. Tapi Daffa, bersikap tenang dan acuh tak acuh. Dibandingkan dengan Tiara, Daffa justru lebih bersikap hangat pada Abra. What? Dari awal Daffa terlihat jelas kurang menyukai Abra. Kanapa dia begini? Apa yang direncanakan?

“Kau tak kerja Daf?”

“kerja. Tapi aku izin datang terlambat hari ini. Tiara mengundngku untuk makan disni”

Aku tertohok. Tiara yang mengundangnya?

Tentu saja, Abra tak pernah sekalipun bertemu Daffa. Sedangkan aku, semenjak kejadian dia nyaris membunuhku, tak sekalipun kami bertegur sapa. Oh benar juga. Kami bahkan tak pernah bertemu lagi semenjak kejadian itu.

“ayo makaaaan...” Tiara tersenyum bahagia menyodorkan piring pada Daffa, Abra dan terakhir aku.

Abra memindahkan makanan dalam piringnya rakus. Daffa dengan tenang ikut mengambil ala kadarnya. Aku terguggu. Tiara dengan manisnya menbahkan makanan lain dalam piring Daffa. Dan seketika nafsu makanku lenyap.

“bang Deris Cuma tingga berdua ya sama bang Daffa?”

“bang Daffa kerja dimana bang?”

“... oh, jadi bang Deris belum ketemu pacarnya bang Daffa?”

“... bang Daffa tak punya pacar ya”

“....jadi bang Deris jarang bertemu dengan bang Daffa dong”

“tipe cewek bang Deris juga sama dengan bang Daffa?”

“bang Daffa suka sarapan bereng bang Deris?”

“bang Daffa... bang Daffa.. dan bang Daffa...”

Kenapa aku begitu pikun? Pertanyaan pertanyaan itu seolah mengulang di fikiranku. Ada sakit yang perlahan menjalar. Sakit yang sama saat aku tersadar tujuanku perlahan memudar.

Pandangan yang diberikan Tiara bukanlah tatapan misterius. Itu tatapan cinta bukan? Tatapan yang sama akan kutemukan jika aku bisa melihat tatapan kusendiri pada Tiara. Sama. Sama persis. Tatapan sayang.

“Tiara harap, bang Daffa suka.” Senyum tulusnya memukulku. Telak di ulu hati!

Abra makan dengan lahap. Melupakan sekitarnya. Daffa masih setia dengan tampang datarnya, menyendok makanan dengan tenang sedang Tiara menatapnya penuh damba. Aku? Aku sudah kenyang makan hati terlalu banyak.

Ada luka dan sedikit bahgia disudut hatiku. Aku bahagia melihat bahagia yang terpancar dari mata Tiara. Dan juga aku ikut merasa lega jika Daffa  berhubungan dengan tiaa. Setidaknya Tiara adalah gadis baik baik dan sabar. Ak yakin dia mampu mengrus Daffa dengan baik.

Tiara menoleh padaku, tersenyum manis, sebelum kemudian kembali fokus pada Daffa. Seolah aku hanya tetangga yang kebetulan bepapasan dijalan. Bahkan piringku yang masih kosong, tak menyadarkannya sedikitpun.

“kau tak bisa melihatku ya, Tiara? Bayang Daffa.. menhitamkan kehadiranku rupanya” bisikku lirih. Untuk telingaku sendiri.


To Be Continued






Next episode

“dia menanyakan Anji padaku...”
.....
“pergi dariku. Aku tak tertarik padamu!”
.....
“hiks.. bang Deris.. hiks”
.....
 “kalau kau suka gadis itu ambil saja. Jauhkan dariku!”
....
“bukan kah begitu, Daffa adrian sugranda?”
.....
“aku takkan menyesal memukulmu. Jika dengan menghajarmu lagi membuat kau kembali waras, dengan senang hati akan kulakukan.”

.