“ibu, kenapa ibu menangis?”
Suaraku bergetar tak mengerti.
Wajah teduh itu menatapku sendu. Mengulurkan tangan menyentuh kepalaku sayang.
Tiba tiba kabut menutupi pandanganku. Tangan yang mengelus kepalaku berubah
kasar menjambak rambutku tanpa ampun. Aku berteriak kesakitan.
“jangan menangis. Lelaki
berpantang menagis, bodoh!” bentakakn itu membuatku tersurut.
Bukan suara wanita. Tapi suara
berat laki laki dewasa. Kabut menguak wajahnya. Menyeringai menampakkan wajah
menakutkan dengan luka melintang dari pelipis hingga dagu.
Aku berontak.
Tidak! Tanganku yang berubah
kecil tak memberi perlawanan apapun. Tidak! Tidak!. Jangan bilang tubuhku juga
menjadi anak anak. Ini... aku sudah pernah melalui ini dulu kan?
Aku terhempas begitu saja
ditengah lumpur. Hujan tiba tiba saja mengguyurku tampa ampun. Teriakan dan
sumpah serapah dimana mana. Dan aku remaja.
“lari! Lari!” bang Akbar
berteriak ditengah gemuruh.
Sekuat tenaga aku merangkak.
Mencoba menjauh. Sesak membuatku mati rasa. Putus asa.
“mau kemana, hah?” lelaki
gondrong berjas hitam, menodongkan sejata api tepat ke kepalaku. aku menutup
mata...
Kringggggggg... Kringggggg..
Aku tersentak bangun. Terengah putus asa. Kuputar kepalaku berkeliling.
Mana? mana laki laki itu? Padanganku jatuh pada ruang sempit berantakan. Masih
terlalu remang untukku bisa melihat semua hal di kamar ini. Tapi satu hal yang
dapat ku psatikan, aku bermimpi buruk. Lagi.
Kringgggg kring.. kring...
Kuatur nafasku yang terengah engah dengan keringat
membanjir.
Mimpi itu lagi.
Kringgg kringgg kringgg
Dan pekikan tak sabar alaram sialan itu lagi.
Belum sepenuhnya sadar, kulempar begitu saja alaram itu mencium diding.
Tak kupedulikan suara berserakan setelahnya. Hancurlah.
Aku mengehela nafas berat. Mimpi. Lagi. Kilasan masa kecil dan malam
pembantaian keluargaku. Mimpi yang selalu mengusik malam malam tenangku. Meski
sudah 5 bulan beranjak dari masa itu, tapi mimpi itu tetap menyegarkan
ingatanku. Selalu menjaga ingatan itu seolah itu baru saja terjadi. Baru saja.
Ku pijit kepalaku yang menghentak sakit. Efek tercerabut paksa dari
mimpi buruk kerana pekikan alaram tak bertangung jawab tadi. Aku mendesah. 05.00
WIB. Waktu seharusnya aku bangun mandi, shalat, dan bersiap untuk bekerja. Dan
alaram yang kumaki dengan kata ‘sial’ tadilah yang telah berbaik hati
membangunkanku selama ini, hingga tadi. Yah.. setelah dia berakhir menjadi
pecahan, takkan ada lagi pekikan tak sabarnya membangunkan aku besok.
Bagus!
Satu jam setelahnya, aku sudah bersiap siap untuk berangkat kerja. Abra
berhasil memasukan ku bekerja di rumah makan Padang tempatnya bekerja meski
tanpa ijazah. Awalnya pemilik rumah makan itu sempat sangsi denganku. Namun
seiring berjalan waktu dia mulai mempercayaiku. Beberapa bekerja disana juga
bisa menerimaku dengan baik, karna bagaimana pun mereka juga telah mengenalku
sebelum aku menjadi pekerja disini. Dua bulan terlewat dan sekarang aku sudah
mulai dipercaya melayani tamu, tidak lagi sebagai pencuci piring sepeti pertama
bekerja dulu. Bekerja dari jam tujuh pagi sampai jam 6 sore membuatku cukup
lelah dan lupa pada dunia. Tak ada istilah libur dan tak ada istilah
terperangkap penyelidikan kunci memusingkan wasiat bapak.
Huft.. Daffa? Dia bahkan lebih parah dariku.
Lamunanku terusik oleh suara pintu yang terbuka dari luar.
Baru pulang?
Kulirik jam di dinding kamarku. 6.10 pagi. Terlalu malam untuk kepulangannya
di jam segini.
Saat membuka pintu kamar, pandanganku tersirobok dengan Daffa yang baru
menutup pintu di belakangnya. Sesaat dia menantapku sebelum berlalu mengabaikan,
seolah aku hanya jemuran yang tadi mengganggu pandangannya. Ini yang kubenci.
Jaket bisbol hijaunya terlihat sama lusuhnya dengan wajah Daffa sendiri.
Beberapa helai rambut panjangnya terjatuh kuyu diwajah kelelahannya yang
kentara.
“baru pulang jam segini Daf?” kuajukan pertanyaan konyol yang sebenarnya
sama sekali tak butuh jawaban. Sudah jelas kan?
Daffa tak menghiraukanku sama sekali. Sebelah tangannya terangkat,
menutupi matanya dengan gerakan mengantuk. Sama sekali tak beniat menganggapku
ada.
“Daffa!”sentakku dongkol. Masih pagi, Daffa adalah manusia pertama yang
kutemui sepagi ini, dan dia telah sukses membuat amarahku kepermukaan.
“aku butuh istrahat” jawabanya terdengar tak nyambung sambil berkutat
membuka kunci kamarnya disamping kamarku.
Selalu begitu, tehitung setelah dia bekerja ditempat bernama bar itu.
Ada yang aneh dari sikapnya yang memang sudah aneh sebelum dia menerima
pekerjaan itu.
Aku menatapinya tajam. Tak terpengaruh sedikitpun dengan tatapan membunuhku,
Daffa telah menghilang dibalik daun pintu kamarnya. Suara pintu yang dibanting
menyadarkanku, bahkan Daffa tak perlu menyatakan tak sukanya padaku, cukup
bantingan pintu itu pertanda dia tak menyukai tatapanku.
Aku mendengus dongkol. Jujur saja selama dua bulan bekerja di temptku sekarang, aku tak lagi punya waktu untuk memecahkan misteri kunci bapak. Terlalu
sibuk hingga membuatku sulit bernafas. Sedangkan Daffa yang juga telah dua bulan
bekerja di bar entah mengapa seolah menciptakan tembok tinggi pembatas diantara
kami. Seolah dia tenggelam dalam
dunianya sendiri dan aku bukanlah apa apa. Malangnya, aku bisa mencium gelagat
tak baik darinya. Firasatku mengatakan jika dia menyembunyikan sesuatu dariku.
Entah apa. Tapi dapat kupastikan selama bekerja di bar dia selalu fokus mencari
informasi mengenai Hyena. Dan faktanya, tak ada satu pun informasi yang dibaginya padaku. Ditelan, makan dan dicernanya sendiri. Bisa kurasakn itu, tapi
tak pernah Daffa berniat mengikutcampurkan aku dalam gerakannya. ada apa? Aku
seolah terkurung dalam ketidak tahuan yang membuatku tak enak. Aku harus tahu.
Kami saudara dan yang terbunuh adalah keluarga kami kan?
Perubahan ini sebenarnya mulai terasa seminggu sebelum dia ditawari
pekerjaan oleh temannya. Temannya? Ish... bahkan aku tak tahu dari mana Daffa
kenal dengannya. Setahuku selama di jakarta kami hidup hanya berudua. Berkutat
mencari informasi sana sini tanpa harus menimbulkan kecurigaan. Bekerja serabutan
siang sampai sore dan malamnya kami akan lansung mendiskusi apapun rencana kami
dalam mengungkap identitas hyena dan bapak. Dan untuk pertama kalinya saat itu Daffa
menolak bicara apapun. Aku tak hau kenapa, ditambah hari itu kami bekerja ditempat
yang berbeda. Aku menjadi buruh angkut untuk pedagang sembako dalam pasar
sedangkan Daffa menjadi buruh angkut untuk swalayan yang berada di tepi jalan,
terletak di area luar pasar.
Biasanya kami akan berkumpul pada saat jam makan siang. Tapi tak
kutemukan Daffa menyusulku makan di tempat Abra. Awalnya kupikir dia memang
terlambat, namun sampai aku melanjutkan kerja kembali bahkan matahari
tengelam Daffa tak juga muncul. Aku tak bisa menyembunyikan perasaan kuatirku.
Kami hanya berdua, terpisah, ditambah lagi dalam pengejaran polisi dan kelompok
misterius mematikan. Aku tak bisa menebak kemungkinan mana yang ditemui Daffa.
Padahal paginya tak ada hal aneh yang terlihat pada Daffa. Tak ada yang dapat
kulakukan, selain menunggu.
Jam 9 malam Daffa pulang. Aku sedikit terlonjak saat dia membuka pintu
tanpa basa basi. Belum sempat aku menanyainya, mataku tersirobok dengan
tatapannya. Wajahnya berantakan. Masih memakai pakaian kerja tukang angkutnya.
Namun dimatanya berkilat kemarahan, dendam dan sakit hati. Aku tercekat. Dia
tak pernah sekalipun menunjukan rupa amarah yang seperti itu.
“Daffa, kau..” kalimatku tak terselesaikan, Daffa sudah berjalan cepat
menuju kamarnya, dan membanting pintu kamar dengan segenap tenaga.
Aku hanya bisa melongo, antara lega, heran, dan juga penasaran. Takut?
Ya.. pandangan Daffa mengisyaratkan ketakutan juga, dan itu menulariku. Seakan
ada sesuatu hal buruk yang akan mendekati kami.
Malam itu kuputuskan untuk tidak menanyainya apapun.
Esok paginya Daffa bangun pagi pagi sekali dan pergi sebelum aku
selesai shalat subuh. Aku masih heran dengan sikapnya memutuskan untuk
memberikan dia waktu sendiri. Apapun yang terjadi dia pasti akan mengatakan
juga padaku nantinya. aku masih tetap diam saat Daffa kembali tak nampak makan
siang di rmah makan tempat Abra bekerja. Apapun yang tejadi padanya
sekarang, itu adalah hal yang buruk. Mengingat Daffa tak pernah begini sekalipun. Daffa
pulang setelah lewat magrib. Dia tak langsung masuk kekamarnya alih alih
membanting pintu dia malah duduk di bangku panjang meja segalaguna kami. Duduk
lelah dihadapanku. Ekspresinya lebih parah dari tadi malam. Tenang, layaknya
tenang lautan sebelum badai menggila. Tak mampu kubaca apapun dari tatapan
matanya. Dan aku benci ini.
“kau sudah menemukan petunjuk?” tanya datarnya kala itu.
Aku menggeleng lemah. Namun mataku memicing tak suka. Harusnya itu
pertanyaanku kan?
“kau seperti lupa dengan tujuan kita ke sini.” desisnya membuatku
mengernyit.
“apa maksudmu?” sial. Apa yang dipikirkan si bodoh ini?
“kau tau maksudku. Kau hanya bekerja tak jelas saja tanpa bergerak
sedikitpun. Atau karna kau memang hanyalah anak pungut, lalu tak masalah mereka
sumua terbantai di depan matamu? dan
cukup puas hanya sekedar hidup bersembunyi seperti penakut!”
Aku terheyak. Cukup shock dengan kalimat yang tak mungkin pernah kelar dari Daffa
yang kukenal. Kakak pertamaku.
“kenapa kau diam? Kau bahkan lupa karna siapa kau masih hidup layak
sampai sekarang? Huh, aku lupa, kau memang tak memiliki keluarga awalnya. Tentu
saja kau tak bisa menghargai sebuah keluarga bukan? Kau bahkan tak mersakan ap-“
“Daffa!” Teriakanku melengking, tanpa sadar berdiri dari dudukku.
Mendengar bentakanku, Daffa seolah tersadar, matanya yang memberi
tatapan sinis dan penuh cemoohnya memudar melihatku berdiri tergetar menahan
amarah. Apa yang dibicarakan?
“kau...”aku menggeram. Terlalu emosi untuk bisa mengeluarkan makian.
Tanganku terkepal.
“kau tahu siapa aku. Kau tahu kenapa kita bisa kesini, dan apa saja
yang kulakukan. Jangan bicara seolah aku
hanya tidur dan makan saja di sini” suaraku satu oktaf turun dari nada
teriakanku. tapi tetap lantang di ruang kecil ini.
Daffa membuang muka, menolak tatapan menusukku. Bisa bisanya dia bicara
seperti itu.
“kau yang harusnya menjelaskan di sini” kecamku melempar balik granat.
“apa yang perlu kujelaskan?” tantangnya.
Aku memicing terganggu, “kau menghilang tana jejak, pulang malam tanpa kabar dan
sekarang kau mengulangi hal itu lagi. Apa yang kau sembunyikan dariku?”
“oh, jadi aku harus melapor padamu, begitu”
“bukan begitu!” sergahku kembali emosi. “kau menyembunyikan sesuatu
dariku. jangan bersikap sok jagoan dengan mengadapinya sendiri. Apapun yang kau
temukan, katakan padaku.”
Daffa berdiri dengan gerakan lambat. Pembatas kami saat ini hanyalah
meja panjang serbaguna dengan kopi dingin yang tadi kuminum. Daffa mentapku
tersingung.
“ini tak da kaitannya denganmu” lirihnya menahan emosi.
“kau kenapa sih!”
“sudah. Aku tak mau melanjutkan perdebatan ini. Ku harap kau tak lupa
tujuan kita.” Akhirnya sambil berbalik.
Aku menggeram kesal. Daffa jelas jelas menghindari topik
pembicaraan.
Dan hari hari berikutnya adalah neraka. Daffa dengan seenaknya mendesakku yang kalang kabut mencari informasi ditengah pekerjaanku. Tak mudah. Sungguh tak mudah. Petunjuk kami hanya berupa nama binatang, dan bertanya dengan cara berputar putar agar tidak dicurigai. Beberapa kali memang ada yang berkata tahu, namun selalu berunjung kebuntuan. Sesekali aku sempat mengunjungi perpustakan, tempat perbelanjaan dan tempat yang kuperkirakan memiliki loker pengunjung di dalamnya. Tetap saja nihil. Sedang Daffa sibuk sendiri dengn penyelidikannya. Obrolan perkembangan penyelidikan yang kami adakan setelah magrib selalu berakhir keributan. Ada kalanya aku berniat menghamtam Daffa saja sekalian, dan tak jarang pula aku yang tersudut dalam tekanan karna desakan dan tuntutannya. Setiapa kali aku tersulut emosi, aku akan mengungsi sementara menenangkan diri di tempat Abra –tetangga kami- bekerja. Setiap kali terdampar di sana, aku berharap agar Tuhan tidak dipertemukan aku dengan Daffa diruang tengah kontrakan kami, tak usah sekalian bertegur sapa atau bahkan saling jumpa, jika hanya akan membuatku betambah tertekan.
Dan hari hari berikutnya adalah neraka. Daffa dengan seenaknya mendesakku yang kalang kabut mencari informasi ditengah pekerjaanku. Tak mudah. Sungguh tak mudah. Petunjuk kami hanya berupa nama binatang, dan bertanya dengan cara berputar putar agar tidak dicurigai. Beberapa kali memang ada yang berkata tahu, namun selalu berunjung kebuntuan. Sesekali aku sempat mengunjungi perpustakan, tempat perbelanjaan dan tempat yang kuperkirakan memiliki loker pengunjung di dalamnya. Tetap saja nihil. Sedang Daffa sibuk sendiri dengn penyelidikannya. Obrolan perkembangan penyelidikan yang kami adakan setelah magrib selalu berakhir keributan. Ada kalanya aku berniat menghamtam Daffa saja sekalian, dan tak jarang pula aku yang tersudut dalam tekanan karna desakan dan tuntutannya. Setiapa kali aku tersulut emosi, aku akan mengungsi sementara menenangkan diri di tempat Abra –tetangga kami- bekerja. Setiap kali terdampar di sana, aku berharap agar Tuhan tidak dipertemukan aku dengan Daffa diruang tengah kontrakan kami, tak usah sekalian bertegur sapa atau bahkan saling jumpa, jika hanya akan membuatku betambah tertekan.
Harapanku terkabul seminggu setelah pertengkaran kami yang pertama.
Saat itu dia ditawari bekeja di tempatnya yang sekarang, dan aku bekerja di
rumah makan tempat Abra bekerja. Jadwal kami saling bertubrukan. Mengisi
masing masing sisi siang dan malam. Tak ada bertengkaran, bertegur sapa bahkan
saling jumpa persis harapanku. Bahkan untuk tahu dia masih hidup atau tidak,
aku hanya perlu melihat barang barang di kamar mandi yang selalu berubah letak
setelah terakhir kugunakan. Daffa yang
berngkat kerja dari rumah jam 4 sore dan sampai kos jam 4 pagi benar benar
mencipatkan jarak sempurna unuk keberadaan kami di kontrakan.
Namun semakin kesini, sikap Daffa semakin aneh. Dia bahkan dengan
sengaja menghindariku jika kami kebetulan berada dikontarakan dalam satu waktu.
Awalnya aku mennggapi dengan santai, berfikiran positif karna kesibukannya
membuatnya lelah untuk membicarakan masalah apapun denganku. Namun lama kelamaan
aku semakin merasakan didndin pembatas yang diciptakan Daffa. Dia seolah menjauh
tak tersentuh. Bahkan seringkali dengan terang terangan dia mengabaikanku.
Seperti pagi ini contohnya.
Aku mengurut pelipisku yang mendadak pening karna menggunakan otakku menapaktilas
hidupku beberapa bulan belakang ini. Membangunkan diri dari lamunan, aku melirik
sekilas kamar Daffa sebelum mengunci kamarku sendiri dan keluar dari kontrakan.
Saat hendak keluar mataku tak sengaja melihat ceceran ehm.. er roti sarpan?- di
perkarngan kontrakan kami. Ehm.. kami tak pernah membuat sarapan. Daffa juga tak
mungkin. Dia sudah menjadi langganan tetap pecel ayam tak jauh dari kontrakan
kami. Mereka sendiri yang akan datang mengantarkan pesanan sesuai waktu yang
ditentukan Daffa.
Ah.. mungkin hanya roti orang orang yang lewat, batinku mengabaikan fakta jika roti itu jelas jelas berserakan nyaris di depan pintu. Persis nasi goreng yang kutemukan pagi kemaren, atau mie goreng kemarennya lagi. Beberapa minggu ini aku memang selalu menemukan berbagai makanan yang berserakan diperkarngan kami. Entah siapa yang membuang atau sejak kapan ada disana. Ah... entahlah. Aku tak ingin menambah banyak penyelidikan dalam kehidupan kacauku sekarang. Biarlah...
Ah.. mungkin hanya roti orang orang yang lewat, batinku mengabaikan fakta jika roti itu jelas jelas berserakan nyaris di depan pintu. Persis nasi goreng yang kutemukan pagi kemaren, atau mie goreng kemarennya lagi. Beberapa minggu ini aku memang selalu menemukan berbagai makanan yang berserakan diperkarngan kami. Entah siapa yang membuang atau sejak kapan ada disana. Ah... entahlah. Aku tak ingin menambah banyak penyelidikan dalam kehidupan kacauku sekarang. Biarlah...
Matahari telah menyinari dengan cahaya lemah saat aku menemukan sosok Daffa
di depan kontrakannya berkutat mengikat tali sepatunya.
“oi, bro!” sapanya bersemangat dalam balutan kemeja merah maron seragam
kerja kami. Berlogo gambar adat Sumatera Barat dipunggungnya, dan sebaris nama
di dada sebelah kiri. Pakaian sama yang juga kugunakn saat ini.
Aku berhenti, menungunya selesai tanpa menjawab sapaannya.
“ahhh... akhirnya tanggal satu. Tak sabar merima gajimu ris?” segiran
bodohnya saat kami berjalan santai menuju rumah makan padang tempat kami bekerja.
“lumayan.. “ jawabku asal, kurang semangat karna sisa kejengkelan Daffa
masih mempengaruhi mood ku.
“oh ya, nanti malam temani aku ke toko tas ya, Tiara minta belikan tas
baru.”
Aku tak langsung menjawab. Yah.. memang Abra setiap kali menerima
gaji akan selalu membelikan sesuatu untuk adiknya ini. Berbagai macam peralatan
sekolah. Buku tulis, novel, pakain dan sekarang tas. Aku sedikit iri melihat
kilau bahagianya saat berhasil mendapatkan benda yang diperuntukan untuk adiknya
itu. Ada rasa bangga dan puas disana. Rasa dibutuhkan. Beruntung dia memiliki
adik yang membuat hari harinya berwarna dengan penantian tanggal penerimaan
gaji. Aku? Aku bahkan tak tahu kegunaan gaji yang kudapat selain untuk membayar
kontrakan kami.
“oi... ini masih pagi, kau udah melamun.” Abra menyikut rusukku.
“eh.. ya?”
“eish.. kau tak dengar apa yang kukatakan tadi.” Abra berwajah masam
melihatku.
“ah.. haha. Oke. Nanti kutemani” balaskutak enak.
“sip.”
Aku hanya tersenyum samar. walau memang belum pernah bertemu adik Abra
ini, karna memang mereka tidak tinggal bersama, namun dapat kupastikan gadis
kecil ini akan melonjak kegirangan saat mendapat hadiah yang diberikan Abra.
Dia tentu juga salah satu orang yang menemani Abra menunggu tanggal satu. Menyenangkan.
Andai Arfat masih ada. Haha.. berandai andai lagi.
Kami bukan orang yang pertama kali tiba dirumah makan padang, bebrapa
karyawan lain telah datang duluan. Si bos dan tukang masak telah bekerja
di dapur. Memasak beberapa masakan khas Padang dan bebrapa makanan manis. Diantara karyawan
memang hanya si bos dan dua tukang masak inilah yang asli berasal dari Minang.
Selebihnya berasal dari berbagai daerah yang memang tak terdampar disini.
Da Edi bos kami di sini merangkap sebagi koki utama berasal dari Bukittinggi bersam Da Sutan Da Anam yang juga bertindak sebagai koki. Ketiganya
telah hidup menetap di sini bersama keluarganya. Abra sendiri berasal dari Riau.
Dia luntang lantung menyedihkan hidup di Jakarta sebelum akhirnya bekerja di
rumah maka ini. Bang Bayu dan Bang deni berasal dari Jawa Barat. Mereka berdua
adalah orang yang paling lama bekerja di sini. Agak menyebalkan dan sok jadi
bos diantara kami. Dua lainya terpaut satu dan dua tahun dibawahku, Dimas dan
Rozi, mereka berasal dari Jambi dan Tanggerang. Tapi aku lupa yang mananya.
Lalu dua orang mahluk paling cantik diantara semuanya. Rara dan Yuni dua gadis
sebayaku yang bertugas di konter minuman. Dan terakhir aku, karyawan pengganti
manusia malang yang menjadi satu satunya harapan besarku dulu.
Beberapa malam sebelum aku bekerja, Abra sempat membuatku syok saat
menceritakan seorang teman yang katanya mengenal nama shark dan hyena. Teman
yang sekarang kugantikan kedudukannya dirumah makan padang tempatnya bekerja. Abra
memberikan keterangan yang membuatku tergugu. Antara bingung, marah, kecewa,
percaya dan tidak percaya.
Abra menceritakan kejanggalan sikap teman kerjanya yang terlihat tegang
dan selalu gelisah. Abra yang tidak terlalu dekat dengannya awalnya tidak
mempedulikan sikap pemuda ringkih yang telah dicurigainya telah mengkonsumsi
obat obat terlarang itu. Namun sikapnya yang terlihat ketakutan di manapun
berada dan hanya mau menjadi petugas belakang membuat Abra simpati, dan mulai
bertanya. Ditengah paranoidnya pemuda kucel itu membuat sebuah pengakuan. Dia
ketakutan setengah mati karna tengah diburu oleh kelompok mafia dengan ketua
bernama hyena. Pemuda 30 tahun itu mengaku jika dulunya dia adalah bawahan
seseorang bernama Shark yang merupakan rekan dari hyena. Namun semenjak Shark
pergi, pemuda itu langsung mencuri sejumlah sabu sabu yang digunaknnya sendiri.
Dia kabur dan bekerja nyaman di tempat Abra, sebelum teror hyena membuatnya tak
tenang. Di tengah kekalutannya dia mencritakan apapun pada Abra, dan
pengundurkan diri esok harinya.
Shark sendiri merupakan nama sandi mafia paling berpengruh di pulau
jawa. Dia merupakan dalang dan pengatur rencana arus pasar narkoba di pulau
jawa ini. Mengatur peredaran narkoba dan memproteksi daerah kekuasaannya dengan
tangan besi. Bahkan merambah perdagangan manusia. Dia yang paling ditakuti,
namun menghilang begitu saja, memberikan kesempatan si pemuda untuk meraup
keuntungannya. Dia cukup tahu diri untuk tidak rakus mengambil semua yang dia tahu. Cukup bebrapa kilogram sabu saja yang dilarikan, namun nyawanya terancam punah
oleh rekan shark yang marah mengetahui kerugiannya.
“ shark.. seorang bernama shark
adalah atasannya dulu. Orang yang menjadi penguasa para pengedar di seluruh
pulau jawa ini”
Masih terngiang ucapan Abra yang bagai guyuran es merampas sudut
pandangku. Hampir saja aku menghajar Abra saat itu juga jika saja aku tak mampu
mengendalikan emosiku. Aku memaksa besoknya Abra bolos bekerja dan menemaniku
ke kontrakan pemuda malang yang menjadi harapan tunggalku untuk dapat mengorek
informasi mengenai hyena dan juga bapak. Namun, kami tak penah datang kerumah
itu. Paginya saat aku menemui Abra di kontakannya, pancaran matanya menjeritkan
kengerian. Sekilas, aku tahu rencana kami tak kan terlaksana. Abra menunjukan
koran dengan berita utama tercetak besar dihalaman depan.
Sessok mayat pemuda ditemukan terapung di Sungai Ciliwung
Aku menatap Abra yang membalas dengan tatapn horor. Seolah memaksaku
melanjutkan bacaan berita. Awalnya aku masih belum faham, sebelum kemudina aku
gemetar. Mayat pemuda yang diketahui bernama
Anji berusia 30 ditemukan warga
telah mengapung dengan kondisi mengenaskan. Beberapa luka di tubuh mayat
menandakan jika pemuda tersebut mati dibunuh.
“itu dia ris.. itu dia.”
Aku memandang kosong koran di tanganku.
“dia.. dia dibunuh...”
Dan hancurlah harapan besarku bersama koran yang kucabik cabik ganas.
Aku bahkan belum mengatakan informasi penting ini ke Daffa. Sengaja untuk
memberikan dia sedikit kejutan. Sebagai pembuktian jika aku masih berusaha
mencari informasi mengenai bapak dan pembunuhnya. Tapi lihat sekarang!
Memalukan!
*****
Sikap senang dan girang berlebian tak hanya menjangkiti Abra saja hari
ini, rata rata semua karyawan berada di mood terbaik saat ini. Bahkan bang bayu
yang biasanya menyebalkan dengan semua perangai ala bosnya sedikit berkurang
kadarnya dari pagi tadi. Mungkin akan sedikit berbeda aura dengan si bos yang
jelas jelas akan mengeluarkan nominal yang lumayan untuk para karyawannya.
Seharian bekerja dan disinilah kami sekarang. Toko tas wanita.
Aku melirik Abra yang memilih milih tas dengan semangat. Tak peduli
senyam senyum penjaga toko yang entah berarti apa. Tak ingin menambah lelucon
aku hanya duduk di dekat pintu sambil memperhatikan Abra dari jauh. Untung kami
telah memakai jaket untuk sekedar menyembunyikan identitas tempat kami bekerja
yang terpampang cantik dibagian depan dan punggung kami. Kalau tidak, aku tak
ingin bisik bisik dan senyam senyum mencurigakan mereka yang disini juga
terbawa saat mereka mampir ketempat kami. Bisa sajakan mereka salah satu
pelanggan kami?
Tak beberapa lama kulihat wajah berlipat Abra yang kebingungan
menentukan pilihan. Aku merasakn firasat akan ikut terlibat malu di sini. Diam
diam kuarahkan pandangan kearah lain, pura pura sibuk sendiri.
“oi.. ris!” tu kan. Dia bahkan tak malu berteriak di dalam toko ini
membuat para pengunjung penjaga toko kaget dan mengernyit heran. Lebih
tepatnya geli.
Mempertahankan sikap tadi, menulikan telinga, aku mulai bergerak keluar
toko.
“hei..” teriakan seumpama tarzan tak tahu malu membuat langkahku
terhenti.
Aku membalikkan badan, melihat wajah kesal Abra, hanya sesaat sebelum
kembali sibuk dengan bebrapa tas yang ditunjukan penjaga toko. Memutuskan untuk
tidak membuat Abra semakin mempermalukan diri di sini, yang otomatis juga akan
membuatku malu, aku mendekati dua manusia berbeda ekspresi itu. Satu berekpresi
semangat menunjuk nunjuk tas lain, sedangkan satu lagi jelas jelas berwajah
tesiksa.
“menurutmu bagusan yang mana?” Abra menunjukkan tas tas yang sedang
ditunjukkan penjaga toko.
Aku menoleh enggan, bahkan tak tahu apapun mengenai tas tas wanita yang
ditunjukkan wanita penjaga toko. Beberapa jelas hanya akan muat menampung hp
saja. Sebagian meskipun lumayan besar untuk menampung barang barang penting,
justru memiliki tali pendek, yang hanya muat untuk memasukan lengan saja. Ish..
aneh. Selera perempuan memang aneh. Percuma juga meskipun tas itu mampu
menampung banyak jika lengan tak kan mampu menompangnya.
“aku tak tahu.” Putusku memperlihatkan kebegoanku sendiri.
“sudah kuduga. Setidaknya berikan sedikit penilain. Kira kira kamu akan
suka cewek yang memakai tas yang mana?” tukas Abra tak mau mengalah pada
sikap begoku.
Aku hanya menatapnya datar. Kembali menatap tas yang bejajar di atas
etalase, tas tas yang tadi ditunjuk Abra. Tak ada. Tak ada satu pun yang kusuka
dari tas tas itu. Mengarahkan pandangan berkeliling, mataku tertumpu pada tas
berwarna coklat muda di belakang penjaga toko. Saat berada ditanganku, tas
berukuran sedang itu cukup kuat untuk menahan beban yang berat. Satu tempat
penyimpanan lettop juga ada dibagian dalam tas. Dan lebih penting, tali
penyandangnya beada dibagian belakang. Simple dan efektif.
“aku suka ini” aku menyodorkan tas itu pada Abra, yang menatap dengan
pandangan menolak.
“tidak, aku tak ingin menambah kadar ketomboyan adikku” tolaknya tanpa
rasa bersalah.
Aku melotot, dan sekarang aku berubah menjadi orang yang lebih idiot
lagi oleh ucapannya.
“hei, ini bagus.” Sergahku tak mau kalah. Dia sudah memintaku memilih
tadi, aku tak mau kerja kerasku dalam meimilih yang terbaik dari bejibun tas
norak disini berakhir sia sia. Bahkan tanpa penghargaan sedikitpun.
“pilihkan yang lebih perempuan.” Sungutnya besikukuh.
“ini tas perempuan kok. Sudahlah, pilihanku ini sudah pasti akan disukai
adikmu” balasku lelah. Bukannya sok kenal dengan adiknya atau begaimana, tapi
aku tak ingin berada disini lebih lama lagi jika Abra menolak pilihanku.
Menunggu Abra memiih sama saja dengan menunggu pengantin wanita berdandan. Lama
dan ribet.
Beberapa kali perdebatan, akhirnya tas itu berhasil kami bawa pulang. Abra
terlihat bahagia berjalan di sampingku. Berciloteh bagaimana senangnya sang
adik dengan tas yang dia beli. Mengabaikan bebrapa menit yang lalu dia protes
enggan saat membayar tas itu.
Jam delapan malam kami sampai di kontrakan. Perasaan lelah membuatku
langsung menuju pintu kontrakanku tanpa menyadari keanehan di depan kontrakan Abra.
Aku sudah akan memasuki perkerangan kontrakanku saat Abra menyapa riang makhluk
yang menyonsong kami.
“Tiara! sejak kapan di sini?”
Ku menghentikan langkahku. sosok itu tepat berada didepanku.
Pandangan pertamaku jatuh pada matanya yang sekilas menatapku
tersenyum. Matanya jernihnya cantik dalam bingkai bulu mata lentik di atas dan
bawah. Sinar lampu dari sekelling membuatmata itu makin bersinar. Tingginya
yang hanya sampai bahuku memudahkanku melihat garis senyum manisnya. Kesan
pertama, aku suka memandang lama mata, senyum, lesung pipit dan rambut
panjangnya yang dikucir kesamping. Cantik.
“ris..” Abra menyikutku.
Aku mengalihkan pandangan bloon kearah Abra. Suara kikikan gadis ini
menyadarkanku akan ekspresi memalukan entah seperti apa yang kupasang saat ini.
Mereka telah bicara panjang lebar dari tadi di temani aku yang hanya mematung
ditempatku berdiri.
“kau melamun?” tegur Abra pura pura bodoh.
Aku berdehem sebelum memasang wajah biasa kembali.
“ini kenalkan adikku, Tiara.”
“Tiara..” ucap sang mengulurkan tangan dengan senyum yang membuatku
lupa bernafas.
Aku menerima dengan senyum kakku. Dia adik Abra? Lihat, dia bagaikan
siang dan malam dengan kakaknya. Gadis kecil yang selama ini kubayangkan sebagai
sosok adik bagi Abra menguap begitu saja. Dia lebih seperti gadis dengan
wawasan luas dan kuat. Kesan tomboy dan wajah manisnya membentuk sebuah
kepribadian yang menarik. Kulit kuning langsatnya jelas jelas protes dengan
status adik si hitam arang Abra. Hanya satu yang terasa sama. Cara tersenyum
dan semangat dalam dirinya.
“Deris.”
Tiara menarik tangannya kikuk saat aku tanpa sadar masih mengenggam
tangannya.
“jangan macam macam kau.” Ancamnya Abra membuyarkan efek mabuk yang
tadi menerpaku.
Sial. Sejelas itukah aku terpesona?
“ayo, masuk Ra” lanjutnya lebih lembut kearah Tiara.
Aku mengeragap bingung. Eh.. bukannya Tiara kos ditempat yang berbeda. Tapi
kok..
“hoi..” suara Abra yang telah menuju rumahnya mengagetkanku. “pulang
sana!”usirnya seolah lupa siapa yang menemaninya tadi memepermalukan diri.
Dasar pengkianat.
Sedikit kesal aku memasuki perkaranganku saat Abra dan Tiara telah
menutup pintu kontrakannya. Benar benar tak tahu terimakasih. Langkahku
tertahan saat mataku menangkap penambahan benda lain di halaman depan pintu
kontrakanku. Risol? Oh tuhan. Sekarang apalagi. Pejalan kaki yang sengaja
melemparkan beberapa risol di depan kosanku? Aneh.
****
Tidur nyenyakku tercerabut paksa saat telingaku menagkap bunyi rusuh di
ruang tengah kontrakan. Sial, senyata inikah mimpi mimpi sialan ini menghantuiku?
Aku mengumpat mengusap kasarku wajahku. Berharap aku terjaga sepenuhnya dan
mimpi mimpiitu menuap pergi.
Prang!
“hei, tenang!”
Aku membeku. Jelas ini bukanlah mimpi burukku. Mimpi buruk tak pernah
menjelma nyata seperti ini. Harusnya mereka bertahan dalam bawah sadarku saja.
Ini nyata. Terlalu nyata untuk sebuah mimpi.
“mana kamarmu?”
Suara lelaki itu jelas jelas membuatku menajamkan telinga. Itu bukan
suara Daffa. Aku bergerak waspada menuju pintu kamar. Suara gumaman tak jelas
seseorang membuatku was was. Mabukkah? Daffa?
Secepat kilat aku melompat turun dai ranjangku, tak peduli keadaan
kamar yang masih gelap karna lampu kumatikan saat tidur. Satu sentakan kasar,
pintu kamarku terbuka lebar, bertepatan dengan dua orang rusuh yang juga tengah
berkutat dengan pintu kmar sebelahku. Lebih tepatnya satu orang yang rusuh
sendiri membuka pintu kamar sekaligus menahan tubuh seseorang yang sempoyongan.
Sejenak pria asing yang tengah membuka
pintu tertegun kaget, sedang laki laki teler disebelahnya mendengus tak suka.
Oleng dan sepenuhnya berdiri berkat bergantung pada lelaki disebelahnya.
“ehm..aku teman Daffa. Dia mabuk.” Pria itu membuka suara canggung saat
aku masih terdiam dengan tubuh diambang pintu kamar dan mata menyorot kaget.
“biasanya tak pernah begini...” balasku menghujami Daffa dengan
pandangan membunuh.
“ada sedikit masalah tadi.” Jawabnya kikuk.
“eii.. kau urus dirimu sana, hus!” mataku memicing tersinggung. Melihat Daffa
dan suara telernya, bukanlah kolabirasi yang biasa kukenal.
“maaf , kau siapanya Daffa?”
“hei, hei... aku tak kenal orang ini. Aku muakkkkkkkk padanya.” Si
pemuda meringis tak enak meilat mataku seakan meloncat dari tempatnya.
“apa yang kau bicarakan...” tegur si pemuda merasa risih menahan tubuh Daffa
yang hendak mendekatiku dengan aura ketidaksukaan.
“ei.. ei.. kau cuma orang bodoh yang tak tahu apa apa. Haha.. kasian
bapakmu, penipu.. hiks. Oh.. hidup ini menyenangkan sekali bukan?” Kata random
mulai membuatku pusing. Aroma alkohol tercium tajam dari nafas Daffa dan telunjuknya
yang mengancung tak sopan tepat di depan wajahku.
“aku muakkk.. muakk melihat kau bodoh..” dia mendorong dorong bahuku.
Mataku beralih pada pemuda yang mengaku teman Daffa tadi, dia mematung
ditematnya melihat Daffa lepas kendali. Saat tersadar aku menatapinya, dia
mengangkat bahu menyatakan ketidak pahamannya.
“haha.. aku bodoh. Kasian kamu.. yang bodoh juga..” Daffa makin meracau
tak jelas. "Hiks.. tapi kau lebih bruntung dariku. Aku.. hiks, bodoh. Hahaha..
bodoh. Deris, aku bodoh...” dan sekonyong konyongnya suara tawa gilanya berubah
menjadi tangis putus asa diujung kalimat kacaunya. Tangannya mengcengkram
bahuku, menundukkan kepala terguncang.
Aku mencelos. Tak pernah sekalipun Daffa sekacau ini. Tak pernah. Melihat
tubuhnya terguncang menahan tangis membuatku bingung sekaligus kuatir. Mataku
beralih pada teman Daffa yang tak kutahu namanya berdiri mematung dengan
wajah sama bingungnya. Shock lebih tepatnya.
“aku pengecut... pecundang...” ratap Daffa benar benar membuatku
teriris.
“tenang... ka- akh” aku terdorong kedinding. Daffa menyentakkan
tanganku yang tadi menepuk pungungnya.
Teman Daffa cepat cepat menahan tubuhnya yang sempoyonyan hampir
terjengkang kebelakang.
“kau... tak perlu kasian padaku pecundang... hiks, kasihani dirimu
sendiri... pergi kau dari muka ku, pergii!” teriak Daffa meninggi. Aku
terjajar lagi oleh dorongan asal daffa. teman Daffa berusaha menenangkannya dengan kelabakan.
“sebaiknya, ku bawa dia kekamarnya...” terang laki laki itu marangkul
bahu Daffa yang kini justru besenandung tak jelas.
“ku tak mau melihat wajahnya lagi.. ei, suruh dia pergi, oke?” ciloteh Daffa
masih terdengar jelas berlalu didapanku.
Aku menarik nafas. Telalu kaget untuk bisa mencerna semuanya. Alasan Daffa
bersikp diluar kendali benar benar tak pernah terbayangkan olehku. Apalagi mabuk.
Tidak, meskipun dia bekerja disarangnya minuman seperti itu, aku yakin dia tak
pernah sekalipun mencicipi minuman haram itu. Tapi sekarang?
3.08 pagi. sempurna!
Aku mengutuki jam dinding ruang tengah yang dengan seenaknya
mengabarkan potongan waktu istirahatku. Biasnya aku bahkan tak kan tau menahu
dengan kedatangan Daffa. Huft...
Teman Daffa keluar tak lama kemuadian. Tersenyum canggug, pemuda rambut
cepak itu menutup kamar Daffa.
“aku permisi...” pamitnya mengangguk sopan.
Aku tak menjawab apapun, hanya memperhatikan punggungnya yang menjauh
menuju pintu keluar dan menutupnya tanpa menguncinya lagi. Suara deru mesin
mobil menandakan dia datang dengan menggunakan mobil tadi. Oh tentu saja. Sangat
mustahil membawa orang mabuk yang nyaris mendekati pingsan dengan menggunakan
sepeda motor.
Memutuskan untuk kembali melanjutkan waktu isirahatku aku kembali
kekasurku. Berharap saja aku tak telat bangun nanti. Tidur di jam tanggung seperti ini
seperti ranjau di jalan utama.
Rasanya baru beberapa menit memejamkan mata, aku harus kembali
terbangun saat seseorang mengguncang guncang tubuhku barbar. Tak tahu sopan
santun bahkan nyaris mmebuatku terjengkang.
“hei hei.. kutinggal nih!” ancam oknum sok penting.
Aku membuka mata dan refleks menendang siapapun yang tak bertanggung
jawab atas istirahat tenangku. Terdakwa menghindar misuh misuh merutuki dengan
suara yang tak terlalu trdengar.
“Abra? “ tatapanku menghoror. “ngapain?”
sentakku tak senang.
“oh, pengeran tidur... berterimakasihlah sedikit. Aku sudah berbaik
hati membangunkanmu dan kau hampir membuatku terkapar.” Sindirnya mencak mencak.
Aku melotot. Berterimaksih katanya?
“jangan menatapku begitu!” sergahnya tak terima, “jangan bilang kau tak
tahu jam berapa sekarang?” kecamnya
menunjuk wajahku lacang.
Mataku terbelalak. 06.40. detik berikutnya aku menghambur kekamar mandi
mengabaikan Abra dan jam diding yang kembali mengkhianatiku. Ranjau di jalan
utama dan aku menginjaknya.
Aku memakai seragam kerjaku buru buru, abai pada Abra yang menjalajah
setiap sudut kamarku dengan pandang ingin tahu.
“kau tak puya album foto satupun?” decaknya mengamati diding polos
kamaku.
Aku berguman tak peuduli merapikan kemeja kerja dan rambutku asal.
“hei kita hidup di zaman modren. Apakau kau tak kenal benda segiempat
yang memiliki tombol dan layar bernama ponsel? Setidaknya aku tak perlu repot repot
kesini membangunkanmu. Dan satu lagi. Tolong biasakan mengunci rumah saat tidur
bro.” Repetnya berisik.
Sedikit tertegun ingatanku langsung menjawab perihal rumah yang tak kukunci dalam bayangan daffa dan mabuknya. Bagaimana keadaan Daffa?
Sedikit tertegun ingatanku langsung menjawab perihal rumah yang tak kukunci dalam bayangan daffa dan mabuknya. Bagaimana keadaan Daffa?
Aku memilih tak menangapi lansung pertanyaan abra. Memasang sepatu aku Keluar hanya untuk
mendapati kamar Daffa yang terkunci. Abra yang mengikutiku menatapku heran.
Mulutnya terbuka seolah hendak mengatakan sesuatu.
“ayo!” sentakku medahuluinya dan keluar. Aku tak ingin pagilu buruk
dengan pertanyan standrrnya yang akan meneror kenyamanan kerjaku. Waow, Bagus, hampir jam tujuh dan kami baru berangkat.
Abra mengekoriku keluar dari kotrakan. Dan ikut berhenti saat langkahku
terpancak melihat cahaya matahari pagi menepa bunga yang semalam kutemui. Nafasku
tanpa sadar terhenti.
“lho bang Abra kok belum berangkat?”
Suaranya menyapa telingaku, dan seketika pusing dan bising suara Abra
sirna begitu saja.
“nih, abang harus membangunkan dulu situkang tidur ini” gerutuan Abra
menyadarkanku ntuk berafas. Sedikit kesal aku menyikut Abra disampingku.
Setidaknya tolong berikan kesan yang lebih baik, berengsek umpatku dalam diam.
Tiara tertawa geli melihat interaksi kami. Aku terpana. Tawanya terasa
lepas. Rambut pnjangnya tak lagi dikucir samping, tapi dikucir agak tinggi
dibelakang. Bebrapa anak rambut membingki wajah cantiknya dengan sempurna. Dia
hanya memakai kemeja pink lengan pendek dan celana jins berwarna hitam dan
seatu kets yang terlihat serasi dimataku. Lalu lebih dari segalanya,
dipunggungnya tergantung cantik tas yang tadi malam kuperjuangkan. Tersandang
elok dibelakang punggungnya. Tanpa sadar aku tersenyum bangga. Itu tas
pilihanku.
“ehem...” Abra berdehem disebelahku. Menarik perhatianku seketika.
“pagi bang Deris...” sapa riang Tiara kembali memikatku. Lupa pada jam
dan lupa pada Abra yang mengeluarkan aura asing menebarkan hawa dingin.
“bukannya kuliah pagi? ayo lekas, nanti malah terlambat.”tegur Abra
lembut. Berbeda terbalik dengan auranya padaku.
Tiara mengangguk dan hendak beranjak pergi.
“eh.. Tu-tunggu.”
Aku salah tingkah saat suara hatiku langsung terealisasikan begitu saja
oleh lidahku. Kurasakan tatapan Abra melubangi pungguku saat Tiara berbalik
menatapku penuh tanya.
“eh.. hm, Tiara suka tas nya?” tanyaku bodoh. Mana otak cemerlangku
yang selalu membuat bang aulia bangga. Aku bahkan tak memfilter yang terfkirkan
olehku sebelum mengucapkannya.
“suka, suka sekali.” Senyumnya lebar.
Aku ikut tersenyum bangga.
“memangnya kenapa bang?” dan seketika senyumku menghilang begitu saja.
Kulirik Abra disampingku penuh benci, setidaknya dia bisa bilang pada
adikknya jika itu tas pilihanku, mengingingat kekeraskepalaannya meningalkan
tas itu dari pada membelinya semalam. Abra hanya mengedikkan bahu membalas tatapan
membunuhku.
“eh, ti-tidak.” Geragapku. Antara malu dan kelabakan dengan jawabanku.
Tak mungkin mengaku ngaku kan? Itu pasti memalukan ditelinga cewek. “abang cukup
senang, mengingat bersemangatnya Abra saat memilih tas itu tadi malam.” Jawabku
menyindir Abra telak. Target malah measang pose tanpa dosa, terenyum bangga
pada adiknya. Sialan!
“benarkah?” wajah Tiara berbinar senang, “makasi bang Abra sayang...”
dan menghambur merangkul lengan Abra sayang.
Aku melotot dan menyumpah nyumpah dalam hati. Harusnya pelukan itu
untukku kan? Harusnya ucapannya tidak seperti itu, tapi ‘makasi bang Deris
sayang’. Manisnya. Harusnya itu untukk- eh tunggu. Apa yang kupikirkan?
“makasi juga bang Deris, sudah menemani bang Abra.” Ucapan tulus itu
menyapu segala fikiranku.
Tiara melepas rangkulannya. Dan berlari kecil meningalkan kami. Melambai
riang sebelum hilang membaur dalam kerumunan orang yang mulai memenuhi pasar.
“aww, hei, sakit bodoh!” umpatku tak terima saat kepalaku dengan tidak
berperikelembutannya dipukul begitu saja.
“jangan menatap adikku begitu. Kau membuatku takut tahu?” cercanya
mencak mencak.
Mataku membulat “memangnya kenapa dengan tatapanku, hah?” balasku tak
mau kalah.
“kau.. kau menatapnya sperti orang bodoh. Seakan hanya kau dan dia saja
yang ada disini. Caramu menatapnya seakan kau hendak memeluknya.”
“eh.. apa?” tanyaku bloon, masih mengusap kepalaku yang tadi dipukulnya.
“....” tatapannya mengintimidasiku. Aku menciut seperti maling yang
ketahuan polisi saat maling pos pilisi sendirian.
“ke- kenapa?”
“kau suka adikku?”
Langsung. Aku memucat.
“er.. hmm.. ya?” ucapku mengubah jawaban itu menjadi pertanyaan ragu.
Abra mengambil nafas lelah.
“ahh.. terserah kau saja. Tapi ingat jangan macam macam pada adikku.
Jika dia tak suka padamu, maka kau harus menyingkir, oke?”
Aku mengerjap. Bingung dengan perubahan Abra yang begitu tiba tiba.
“oi.. jangan harap aku akan diam
saja jika kau membuat adikku terganggu. Mengerti?”
Dalam bingung, aku mengangguk. Satu hal yang bisa kutangkap disini, Abra
memebrikanku kesempatan untuk menyukai adiknya.
“sial, kita telat!” teriak Abra frustasi dan berlari begitu saja.
Aku tergugu, sebelum menyusul calon kakak iparku lari. Tak beduli
dengan wajah frustasi Abra aku berlari dengan senyum terkembang. Tak masalah
jika nanti kami harus lembur karna ketrlambatan ini, yang pasti hatiku sedang
sanang. semua masalah bukan lagi masalah besar.
*****
Tiga hari semenjak Daffa pulang mabuk, dan dua hari berlalu semnjak
izin Abra padaku untuk menjadi kandidat adik iparnya, hari ini aku pulang
siang. Sengaja meminta izin cepat pulang dengan alasan sakit. Sedikit sandiwara
dan aku bisa pulang sebelum jam 1 siang sekaligus terpisah dari Abra. Aku batuh
jarak dengannnya dulu.
Ponsel.
Aku membeli benda itu setelah melihat Abra yag dengan gampangnya bisa
bicara dengan Tiara. Aku juga ingin. Dan hari ini aku berhasil membeli sebuah
ponsel sederhana dari gajiku kemaren. Yah.. kehadiran Tiara membuat hidupku
sedikit bewarna. Sekarang aku tahu keguaan gaji yang kudapat. Pulsa dan jalan
bareng Tiara nantinya.
Jam tiga siang aku sampai di kontrakanku. Selama aku bekerja di rumah
makan padang, baru kali inilah aku pulang siang hari. Rasanya sedikit aneh
mamasuki ruang tengah yang sunyi ditengah gelimangan cahaya matahari. Panas.
Lupakan ceceran nasi goreng di halaman depan yang tadi mengotori sepatuku.
Mungkin, seseorang sudah mulai menganggap halaman depan kontrakan kami adalah
tempat sampah makanan. Sayang sekali, padahal terlihat enak.
Lelah kududukan tubuhku di bangku panjang depan meja segalaguna, dan
lansung mengutak atik ponsel baruku. Ya.. nomor pertama yang ingin kuhubungi
adalah nomor Tiara yang tadi kucuri dari ponsel Abra. Mudah. Tapi.. apa yang
harus kukatakan. Apakah aku harus langsung menembaknya? Ah.. tidak. Itu terlalu
beresiko. Menanyakan kabarnya?eh.. apakah itu terdengar penting untuk menelpon
seseorang. Lho, kenapa aku gugup begini.
Aku berkutat dengan pikiranku sendiri, abai pada secangkir kopi yang
terlihat masih hangat bagian meja seberangku. Bahkan aku tak terlalu
tertarik saat pegerakan terlihat mendekat dan duduk di seberang meja. Aku tahu,
tapi fokusku masih teralihkan oleh ponsel mungil digengamanku. ahh.. paling
ilusi. Toh bisanya siang gini aku sndirian kan? Eh.. siang?
Aku mendongak, mendapati Daffa meakai kaos oblong dengan rambut
setengah kering meminum kopinya tenang. Tak terusik olehku yang misuh misuh
sendiri.
Aku manatapnya, menyembunyikan kekagetanku. Ya tentu saja. Ini
jadwalnya dirumah. Aku yang datang disaat yang salah. Kami belum pernah bertemu
semenjak dia pulang mabuk dan mengataiku pengecut, bodoh dan entahlah. Pagi
saat aku hendak mengecek keadaannya dia sudah mengurung diri di kamar. Lalu
malamnya saat aku pulang kerja, dia telah berngkat ke tempatnya bekerja. Begitu
terus hingga saat ini. Kami dipertmukan dan lihat caranya menkmati kopinya,
seolah tak ada aku di sini.
“bagaimana keadaanmu?” tanyaku akhirnya. Memutuskan keheningan saat dia
meletakkan cangkir kopinya.
“baik.” Asal. Aku bahkan bisa melihat kernyitan tak sukanya.
“pekerjaanmu?”
“baik.”
“pembunuh Bapak?” tekanku mulai dongkol.
Daffa menghentikan acara minum kopinya. Matanya manatapku tajam. Beku.
Aku bisa merasakan beku itu menjalari kulitku. Aku balas memandang datar.
“aku. Tidak. Mau. Tahu.” Ujarnya memberi tekanan pada tiap kata.
Mataku membola tak percaya.
“ap-apa maksudmu?”
“kurasa kau belum tuli mendadak untuk mendengar jawabanku.” Ucapnya
ketus.
BRAK!
Aku mengebrak meja marah.
“apa kau lupa tujuan awal kita brengsek?” aku meledak.
Dia menatapiku dingin.
“itu bukan lagi urusanku.”
“kau!” aku mencenkram baju depan kemejanya kasar. Memaksanya berdiri.
“kenapa kau begini, hah?”
Daffa tertawa sumbang. Aku kaget, serta merta melepaskan cengkramanku.
Itu tawa yang asing. Dingin dan sekaligus mengerikan.
“itu urusanku.” Ujarnya beku.
Amarahku meledak.
“kau kenapa Daf? Apa yang kau sembunyikan dariku, hah?”
Daffa mendengus meremehkan. Berdiri perahan dan beranjak.
“Daffa abdullah, jangan bersikap pengecut!” teriakku menohok.
Secepat kilat Daffa membalik, dan tahu tahu aku terjajar kedinding
dengan nafas tercekat. Kakiku tak menapak lantai meronta saat Daffa
mengcengkram krah kemejaku dan mengankatnya dengan satu tangan. Mataku terpaku
menatap tatapan mengobarkan api kemarahan dari mata Daffa.
“jangan pernah sandingkan nama menjijikan itu dengan namaku,
berengsek.” Geramnya marah.
Aku tediam, antara kaget dan tak mengerti. Namun kebutuhan udara lebih
kuprioritaskan difikiranku. Tanganku mencoba melepaskan cengkraman besi Daffa
yang seakan berubah jadi monster. Sepanjang aku berteriak tadi tak pernh
sekalipun dia menunjukkan emosi berarti. Tapi..
“uhuk uhuk..” aku terbatuk menenangkan nafas terduduk setelah Daffa
melepaskan cengkramannya.
Daffa berdiri mejulang dihadapnku dengan aura yang sama sekali asing.
Tak kukenali sedikitpun. Manatapiku dengan pandangannya yang kembali mendingin.
“ku peringatkan kau untuk tidak mencampuri urusanku. Urusi uranmu
sendiri. Terserah apa yang akan kau lakukan pada bapakmu itu. Tapi... akan
kuberikan kau sebuah saran, jangan keget saat kau tahu kebenarannya.”
Aku tersentak. Apa ini. Apa itu artinya Daffa tahu sesuatu yang tak
kuketahui. Apa itu artinya bapak memang bukan orang yang baik? Dari caranya
tadi, Daffa hanya marah saat aku menyebutkan nama bapak. Apa itu artinya ada sesuatu diantara mereka?
“tunggu..” cegahku saat Daffa berbalik menuju kamarnya.
Daffa berhenti. Tak membalikkan badannya sedikitpun.
“kau.. apa yang terjadi antara kau dan bapak?” tanyaku tak peduli
ancamannya.
Daffa menegang. Namun tetap tak bergeming sedikitpun.
“apa yang membuatmu membenci bapak? Apa bapak melakukan sesuatu pad-“
“cukup!” sergahnya tanpa berbalik,“cukup sampai di sisni
keterlibatanmu, ris. Ini urusanku”
Dingin es serasa mengguyur tubuhku. Apa?
Daffa melangkah ringan, mengambil hodie yang tersangkut di dinding, dan
melangkah keluar. Mengabaikanku yang masih belum bisa mencerna apapun.
******
Huft.. perubahan Daffa menyisakan pertanyaan pertanyaan sulit untukku.
Sikapnya yang berubah dan ujuan kami kesini yang dengan jelas jelas di
tentangnya sendiri. Adahal masih kemaren saat dia marah marah padaku karna tak
menemukan informasi apa apa mengenai pembunuh bapak dan saudara kami. Ada
sesuatu yang jelas jelas disembuyikan Daffa dariku. Apa itu? Apa Daffa
mengetahui sesuatu yang membuatnya membenci bapak? Apa yang membuatnya membenci
bapak? Informasi apa yang didapatknya higga membuatnya berubah membenci bapak?
Segitu bencinya sampai dia tak peduli pada dendamya dulu. Lupa pada saudara
saudaranya yang dibantai kejam pada malam itu? Yol? Sten? Arfat? Sumanya? Benci
seperti apa itu? Apa yang terjadi?
“hei, tea. Kerja yang betul
kau!”
Aku tersentak dari lamunanku. Piring yang di gengamanku belum lagi kucuci,
sebaras kugenggam dan aku melamun di hadapan bak cuci piring dipelototi oleh bejibun
piring kotor.
“iya iya..”balasku setengah menggerutu. Tak perlu kulihat, yang
sekarang berdiri dibelakangku sudah pasti bang bayu. Bos kedua bagiku.
“kau tak apa?” Abra ikut membantuku menyelesaikan tugasku yang
menumpuk.
Aku mengangkat bahu tak peduli. Namun saat ingat aku butuh dukungannya
untuk memuluskan jalanku meraih hati adiknya, aku jawab sopan pertanyaannya.
Mengatakan aku baik baik saja.
Abra mengernyit heran, “tak biasanya kau sopan begitu padaku. kau
membuatku takut dengan rencanamu itu.”
Aku membeku. Sial, dari mana dia tahu? Apa dia bisa membaca fikiran
seseorang?
“aku tak bisa membaca fikiran. Tapi milihat kau menegang begini, aku
tahu kau heran padaku.” sambungnya lagi.
Acuh tak acuh, kulanjutkan pekerjaanku yang sedikit sedikit berkurang.
Ingatan Tiara sedikit mmbuatku releks. Buntu yang menyerang kepalaku karna sikap
Daffa yang aneh perlahan menghilang.
Hubunganku dengan Tiara semakin mambaik. Terimakasih pada pnsel yang
kubeli tempo hari. Aku bisa terus bekomunkasi dengan Tiara. Sms siang hari dan
telfonan malam harinya. Seminggu semenjak ponsel menjamah hidupku, aku sudah
merasa menjadi orang beruntung didunia karna berkesempatan memiliki benda empat
segi ini. Sedikit obrolan ringan dengan tiara lewat ponsel ini membuatku mempunyai tujuan hidup yang
lain. Tiara. Orang yan membuatku merasa
harus maju, harus keren dan harus hebat dimatanya. Harus membuatnya merasa
bangga padaku.
Seminggu berhubungan aku sedikit banyak tahu mengenai Tiara. Di gadis
supel yang bisa membau dengan siapa saja. Cara bicaranya yang ceplas ceplos dan
terdengar riang membuat siapa saja mudah
menerima kehadirannya. Dia masih kuliah semester tiga disalah satu universitas
di jakarta. Tak terlalu jauh memang dari tempat tiggal kakaknya, namun Tiara
lebih memilih kos agar dekat dengan kampusnya. Awalnya aku sedikit was was
mengetahui statusnya sebagai mahasiswi, tapi caanya yag tak memilih teman
membuatku makin menyukainya. Meski belum ada ikatan diantara kami, namun aku
yakin dia juga menyukaikaiku. Terbukti dari tingkahya yang selalu membalas
pesan dan mengangkat telfonku.
Namun ada hal yang membuatku sedikit tak tak nyaman.
“besok Tiara ke kontrakannya bang
Abra. Mau masak besar. Bang Deris ikut ya? Bawa bang Daffa juga ya. O ya, bang Daffa
suka masakan apa bang?”
Daffa. Dia menyebut Daffa dalam tiap sms dan pembicaraan kami. Itu
mengganjalku. Meski awalnya aku kaget dan tak terima, hati hati kutanyakan
kenapa dia tahu Daffa. Dan lihat, dia dengan santai mengatakan jika tahu Daffa
melalui cerita Abra, dan sialnya, sudah beberapa kali bertemu saat di kontrakan.
Berpapasan katanya. Tapi tetap saja aku merasa tak tenang. Seakan jarak kami
dibatasi oleh Daffa. Aku tak suka itu.
Seperti sms nya yang ini. Aku senang dia akan kekontrakan Abra, tapi
tidak dengan pertanyaan terakhirnya. Kenapa dia harus menanyakan kesukaan Daffa
bukannya kesukaanku? Apa baiknya si brengsek pengkhianat itu? Apa bagusnya dia
dariku? Aku lebih baik kok. Aku leb- apa? Apa yang kufikirkankan? Apa ini yang
namanya cemburu? Jika iya, dan dengan mengetahui ini Tiara akan menghilangkan
kosa kata Daffa dalam kamusnya, maka aku akan dengan senang hati mengakui hal
ini padanya. Tapi tidakkan? Dimana harga diriku sebagai laki laki yang cemburu pada
cewek yang tak berani ditembaknya. Tidak. Bukan tak berani. Tapi belum. Iya,
belum.
“hei, kau ingin dipanggil tea
lagi oleh si bayu itu?” Abra mengagetkanku.
Buru buru kumaskan ponselku, dan membawa gunungan piring kotor ke bak
cuci. Tugas terakhirku sebelum diblehkan pulang. Ganti shif dengan pekerja yang
lain.
Abra meneruskan memasukan nasi yang telah matang dalam termos besar
dekat bang bayu dan bang deni yang bertgas sebakai penakar porsi. Tugas
terakhirnya juga sebelum pulang. Kami memang selalu berada di shif yang sama.
Menguntungkan, karna kami memang bertetangga, saling mengingatkan dan menegur,
meski tak jarang juga bertengkar. dan kami selalu berada di shif pagi, karna
yang menjalankan shift malam adalah mereka yang memang tinggal di rumah makan.
Yah seperti dua koki dan dua penakar porsi songong senior kami.
Aku lelah. Lelah karna, bekerja sebagi pencuci piring seharian sesai
perintah bayu sialan itu. Lelah karna memikirkan keanehan Daffa dan lelah karna
topik Daffa. Aku buru buru berjalan keluar, membiarkan Abra mengejar lagkahku
sambil mengmpat. Merutuk panjang pendek tentang tak tahu terimakasih, calon
ipar tak tahu diri, da gerutuan lain yang membuatku mendengus geli. Setidaknya,
ada satu oang yang mendukung aku dan Tiara.
“aku tak pernah milihat Daffa lagi. Aa dia masih tinggal bersamamu?”
Aku melengak, tak nyaman. Sekarang calon kakak iparku juga ikit ikutan
membicaraka Daffa. Menarik nafas sabar, aku mengangguk masih denga langkah yang
sama.
“dia tak pernah libur ya?” kejarnya lagi.
Aku menggeleng. Semakin mempercepat langkahku. Aku ingin pulang, lalu
tidur di kamarku.
“kalian tak sedang bermaslah?”
“kenapa kau bertanya begitu?” tanyaku tak suka. Jangan sampai dia
menargetkan adik ipar baru.
“ya, karna kalian tak seakrab dulu lagi. Dulu kupikir kalian saudara
kembar yang akan mati jika berpisah.” Abra nyengir tanpa dosa.
Aku menarik nafas. Lebih baik menjelaskan seperlunya agar terbebas dari
pertanyaan ini untuk besok besoknya. Abra tipe orang yang takkan berhenti
mengocehkan hal yang sama jika dia belum mendapat jawaban yang diinginkan.
“dia bekerja di waktu yang berbeda dengan kita Ab. Tak ada masalah
diantara kami selain rutinitas pekerjaan masing masing” jelasku tenang.
Setidaknya Abra tiak manargetkan Daffa sebagai kandidat adik ipar lainnya. Aku
lega.
Esok malamnya, aku termangu duduk disamping Daffa dan Abra diruang
depan kontrakan Abra. Ruang ini tanpa meja maupun bangku panjang. Hanya ruangan
lepas dilapisi tikar yang nyaman. Kami duduk bersila menghadap hidangan yang dibuat
Tiara sedai siang. Dari baunya tercium sangat harum dan membatku ingin makan
seketika, namun melihat siapa yang duduk tak jauh dariku, selera makanku
erlahan menghilang.
Sepulang kerja tadi aku mandi dan masuk kamar. Bersiap siap untuk makan
malam dengan keluarga kecilku. Dan yang terpenting masakan Tiara. Bertiga.
Meski sebanarnya keberadaan Abra hanya mengganggu saja sih, tapi dia kan telah
bebaik hati mendukung hubunganku dengan Tiara. Namun semuanya hancur. Saat
kumasuki rumah kntrakan Abra, mataku langsung terpaku pada sosok Daffa yang
duduk diam di dalam rumah. Tak jauh dari Abra.
Dan disinilah aku sekarang. Memandangi Tiara yang berbinar binar
bahagia mnyajikan makanan hasil jerih payahnya. Dan tak hanya sekali dua kali
kulihat tatapannya bermakna misterius terarah pada Daffa. Tapi Daffa, bersikap
tenang dan acuh tak acuh. Dibandingkan dengan Tiara, Daffa justru lebih
bersikap hangat pada Abra. What? Dari
awal Daffa terlihat jelas kurang menyukai Abra. Kanapa dia begini? Apa yang
direncanakan?
“Kau tak kerja Daf?”
“kerja. Tapi aku izin datang terlambat hari ini. Tiara mengundngku
untuk makan disni”
Aku tertohok. Tiara yang mengundangnya?
Tentu saja, Abra tak pernah sekalipun bertemu Daffa. Sedangkan aku,
semenjak kejadian dia nyaris membunuhku, tak sekalipun kami bertegur sapa. Oh
benar juga. Kami bahkan tak pernah bertemu lagi semenjak kejadian itu.
“ayo makaaaan...” Tiara tersenyum bahagia menyodorkan piring pada Daffa,
Abra dan terakhir aku.
Abra memindahkan makanan dalam piringnya rakus. Daffa dengan tenang
ikut mengambil ala kadarnya. Aku terguggu. Tiara dengan manisnya menbahkan
makanan lain dalam piring Daffa. Dan seketika nafsu makanku lenyap.
“bang Deris Cuma tingga berdua ya
sama bang Daffa?”
“bang Daffa kerja dimana bang?”
“... oh, jadi bang Deris belum
ketemu pacarnya bang Daffa?”
“... bang Daffa tak punya pacar
ya”
“....jadi bang Deris jarang
bertemu dengan bang Daffa dong”
“tipe cewek bang Deris juga sama
dengan bang Daffa?”
“bang Daffa suka sarapan bereng
bang Deris?”
“bang Daffa... bang Daffa.. dan
bang Daffa...”
Kenapa aku begitu pikun? Pertanyaan pertanyaan itu seolah mengulang di
fikiranku. Ada sakit yang perlahan menjalar. Sakit yang sama saat aku tersadar
tujuanku perlahan memudar.
Pandangan yang diberikan Tiara bukanlah tatapan misterius. Itu tatapan
cinta bukan? Tatapan yang sama akan kutemukan jika aku bisa melihat tatapan
kusendiri pada Tiara. Sama. Sama persis. Tatapan sayang.
“Tiara harap, bang Daffa suka.” Senyum tulusnya memukulku. Telak di ulu
hati!
Abra makan dengan lahap. Melupakan sekitarnya. Daffa masih setia dengan
tampang datarnya, menyendok makanan dengan tenang sedang Tiara menatapnya penuh
damba. Aku? Aku sudah kenyang makan hati terlalu banyak.
Ada luka dan sedikit bahgia disudut hatiku. Aku bahagia melihat bahagia
yang terpancar dari mata Tiara. Dan juga aku ikut merasa lega jika Daffa berhubungan dengan tiaa. Setidaknya Tiara
adalah gadis baik baik dan sabar. Ak yakin dia mampu mengrus Daffa dengan baik.
Tiara menoleh padaku, tersenyum manis, sebelum kemudian kembali fokus
pada Daffa. Seolah aku hanya tetangga yang kebetulan bepapasan dijalan. Bahkan
piringku yang masih kosong, tak menyadarkannya sedikitpun.
“kau tak bisa melihatku ya, Tiara? Bayang Daffa.. menhitamkan
kehadiranku rupanya” bisikku lirih. Untuk telingaku sendiri.
To Be Continued
Next episode
“dia
menanyakan Anji padaku...”
.....
“pergi dariku.
Aku tak tertarik padamu!”
.....
“hiks.. bang Deris..
hiks”
.....
“kalau kau suka gadis itu ambil saja. Jauhkan
dariku!”
....
“bukan kah
begitu, Daffa adrian sugranda?”
.....
“aku takkan
menyesal memukulmu. Jika dengan menghajarmu lagi membuat kau kembali waras,
dengan senang hati akan kulakukan.”
.